Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Belajar Spirit dari Ammar Bugis, Sang Penakluk Kemustahilan

Belajar Spirit dari Ammar Bugis, Sang Penakluk Kemustahilan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Ini sebuah kisah tentang Ammar Bugis. Membaca kisahnya membuatku tergerak untuk menuliskan dan membagikannya. Sebuah pelajaran tentang kemauan, semangat, ridha dan rasa syukur. Membaca kisahnya seperti embun sejuk menetesi hati. Mungkin sebagian orang sudah mengenal tentang sosok beliau. Buku yang ditulisnya Qohir Al Mustahil telah diterjemahkan berjudul Penakluk Kemustahilan; Perjuangan Pemuda Berkebutuhan Khusus Melampaui Keterbatasan. Mendengar dan membaca namanya tentu Anda akan mengira beliau adalah orang Indonesia yang berasal dari salah satu suku di Sulawesi Selatan. Ya, Bugis adalah salah satu suku di Sulawesi Selatan. Tentunya Anda tidak salah, karena ternyata beliau memang masih memiliki nasab dari suku ini. Kakek buyutnya bernama Syaikh Abdul Muthalib berasal dari Makassar adalah suku Bugis. Membaca kisah hidupnya di sebuah majalah membuat saya merasa malu. Ya, pantaslah kita merasa malu kepadanya. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang akan kamu dustakan?

Pria yang lahir di Wisconsin, Amerika Serikat, 19 Shafar 1407H/22 Oktober 1986 ini harus menerima kenyataan hidup berada di atas kereta dorong yang biasanya digunakan untuk bayi. Dari keseluruhan organ tubuhnya, hanya mata, mulut, dan telinga yang bisa digerakkan. Sedangkan tangan dan kakinya tidak tumbuh sebagaimana usianya. Sepintas lalu Anda hanya akan melihatnya sebagai orang yang tak berdaya, tak punya semangat hidup dan juga tak punya harapan hidup. Tapi, Ammar tidak merasakan dirinya cacat. Bahkan dengan yakin ia mengatakan, cacat sebenarnya bukan terletak pada kekurangan fisik maupun kelumpuhan jasad.

Ya… hidupnya memang berada di atas kereta bayi namun, spirit dan semangat membahana melanglang jauh melampaui keterbatasannya. Meskipun mengalami kelumpuhan total, tapi tidak menghalanginya untuk tetap terus menimba ilmu pengetahuan dan melawan segala rintangan dan tantangan. Ia menjadi teladan dalam semangat, tekad dan kemauan yang kuat. Ammar memandang bahwa orang cacat sesungguhnya adalah cacat dalam cara berpikir dan cacat hati. Kelumpuhan sesungguhnya adalah kelumpuhan iman dan akal. Orang-orang normal adalah orang-orang yang mau dekat dengan Quran, mempelajari Quran, membaca Quran, dan mau mengamalkan Quran. Sedangkan orang-orang cacat yang sesungguhnya adalah yang tidak mau dekat dengan Al-Quran, tidak mau membaca, tidak mempelajari  dan tidak mengamalkan Quran. Benar, ucapan itu lalu ia buktikan dalam kehidupannya. Pria yang telah hafal al-Quran di usia 13 tahun itu berhasil menyelesaikan kuliahnya di jurusan Jurnalistik Fakultas Sastra dan Humaniora Universitas King Abdul Aziz dengan nilai cumlaude. Dan mendapatkan penghargaan langsung dari Gubernur Mekah dan Wilayah Barat Amir Khalid bin Faishal. Bahkan ia juga tetap melakukan kegiatan meliput berita olahraga untuk Harian Al-Madinah, tempat ia bekerja. Saat meliput berita ia hanya mengandalkan ingatan yang Allah karuniakan padanya.

Sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, waktu itu ia dan keluarganya masih tinggal di Amerika, ia sekelas dengan orang-orang normal lainnya. Tetapi, ia mampu menjadi yang terbaik di sana, padahal dialah satu-satunya ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Hal yang mengagumkan dari pelayanan sekolahnya di Amerika Serikat adalah sekolah itu benar-benar memberikan pelayanan bagi Anak Berkebutuhan Khusus seperti dirinya. Sekolah memberikan pelayanan yang baik, ada yang menyuapi, mendorong kereta, mengantarkan pulang dan memberikan layanan pelajaran tambahan khusus buat Ammar. Pernah suatu ketika, ia tidak masuk sekolah karena sakit dan kesulitan bernafas. Sekolahnya menelpon, takut kalau-kalau tidak memberikan layanan yang baik, ibunya menjelaskan tentang keadaan anaknya lalu Salah satu guru perempuan melakukan tindakan sosial datang setiap hari ke rumah Ammar tanpa dibayar untuk memberinya pelajaran yang terlewatkan.

Keyakinan bahwa dirinya bukanlah orang cacat tapi orang muslim itu saat dirinya masih berusia 7 tahun (tamyiz). Pria yang menambatkan cintanya pada Ummu Yusuf itu merasa bahwa dirinya adalah orang normal sebagaimana teman-temannya yang lain. Tidak merasa sebagai orang yang cacat. Keyakinan itu tumbuh saat seorang anak kecil yang datang, sambil mengatakan, “kenapa kamu tidak bisa berjalan dan bergerak?”

Maka Ammar Bugis pun balik bertanya kepadanya, “Mengapa kamu bisa berjalan dan bergerak?”

Anak itu menjawab, “Allah telah menciptakan saya bisa berjalan dan bergerak.”

Lalu Ammar pun berkata, “sama saja, Allah telah menciptakan saya tak bisa bergerak dan berjalan”.

Keyakinan itulah yang membuatnya tak pernah merasa minder dan berbeda.

Referensi: Majalah Hidayatullah, Edisi II/XXV/Maret 2013

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Prakstisi pendidikan, guru bantu di sekolah pelosok SDN 29 Manggelewa, Dompu NTB (Sekolah Guru Indonesia angkatan 4, Dompet Dhuafa). Pembelajar. Ingin seperti padi. Makin berisi makin merunduk

Lihat Juga

Milad ke-19 PKPU, Human Initiative: Spirit of Humanity

Figure
Organization