Akhirnya, Kau Pulang…

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Setiap malam, selepas shalat Isya, Mak Nur selalu duduk di teras rumah sambil memandangi gelapnya langit dan mengobati kerinduan Mak pada putri sulungnya yang sudah hampir lima tahun meninggalkan rumah.

Mata tua yang lelah itu, tak pernah berhenti meneteskan air, entah berapa hektar perkebunan di Desa Ngandong yang sudah dibasahi oleh air mata Mak, bila setiap malam Mak selalu menangis. Jika saja kursi bambu tua yang setia menemani Mak bisa bicara, mungkin dia akan berkata ”Sudahlah Mak Nur, apapun yang terjadi telah diatur oleh Gusti Allah, jadi Mak tak perlulah berlarut-larut dalam kesedihan,” tapi tetap, kursi hanyalah kursi, benda mati yang sedikitpun tak bisa merasakan kepedihan hati Mak. Sekali-dua kali angin bertiup lembut, membelai pipi yang sudah mengerut, menyapa halus air mata yang mengalir bak Sungai Nil di hamparan wajah Mak. Ya…air itu mengering diterpa angin, angan Mak sudah jauh terbang, mengingat masa seperempat abad yang lalu, saat Bapak masih hidup…saat si sulung masih dalam ayunan sarung. Masa-masa yang indah bagi Mak untuk dikenang, khayal Mak terus melayang jauh dan jauh, meninggalkan senyum tipis di bibir.

Lima ratus meter dari rumah, tepatnya di Masjid Shadaqah, si bungsu baru saja selesai mengaji. Bersalaman dengan pak Ustadz dan berpamitan pulang. Bersama anak-anak desa dan lampu obor Salmah pulang ke rumah. Dalam perjalanan, gelak canda terus keluar dari mulut Salmah dan anak-anak desa. Memang sudah menjadi kebiasaan di desa ini, setiap anak yang mengaji malam di Masjid, ketika pulang harus berjalan bersama untuk menghindari bahaya yang mengancam. Maklum, mereka harus melewati perkebunan karet untuk bisa sampai ke rumah ditambah lagi suasana di perkebunan itu sangat menyeramkan. Jadi, tidak ada yang boleh sok pemberani dan menakuti temannya karena bisa kualat nanti. Salmah, si bungsu sudah berumur lima belas tahun sekarang, tumbuh menjadi kembang desa yang menawan. Walaupun usianya tidak tergolong anak kecil lagi, ia tetap tidak malu jika harus mengaji di Masjid, bahkan Salmah adalah murid perempuan Pak Ustadz yang paling tua, selain kak Ridho yang berusia dua tahun lebih tua dari Salmah. Sebab yang ikut mengaji di Masjid umurnya di bawah dua belas tahun, dan teman-teman Salmah yang sepantaran pun sudah berhenti mengaji karena mereka mulai sibuk dengan masa remaja mereka atau istilah kerennya pacaran. Tapi tidak untuk Sal, baginya menuntut ilmu agama itu tidak akan pernah terputus sampai kapanpun, bahkan sampai menutup mata.

”Kak, aku pulang dulu”, Sinta berpamitan.

Satu-persatu anak sampai di rumah masing-masing, tinggal Salmah dan Kak Ridho yang masih berjalan. Rumah Salmah ada di ujung desa, sekitar empat puluh meter lagi. Rumah Kak Ridho sudah hampir dekat, namun seperti biasanya karena Salmah perempuan, Kak Ridho mengantarkan Salmah sampai ke teras rumah, agar keselamatan Salmah terjamin. Setelah Salmah benar-benar sampai di rumah, Kak Ridho baru pulang.

”Assalammu’alaikum, Mak, Sal pulang!” ucap Salmah.

Seketika itu juga lamunan Mak buyar, Mak segera mengusap matanya dan menukar raut wajahnya menjadi lebih berseri, agar Salmah tak khawatir melihatnya.

”Wa’alaikumsalam, eh cantik Mak sudah pulang! Diantar sama siapa?” tanya Mak.

”Sama Kak Ridho, Mak”.

”Mak, hari ini Sal sudah menamatkan Al-Qur’an, Pak Ustadz bilang mulai besok Sal boleh jadi guru ngaji,” sambung Salmah.

”Syukurlah nak, Mak senang mendengarnya. Sekarang ganti baju, ayo kita makan, Mak tunggu di dapur,”

”Iya Mak,” jawab si bungsu penuh rasa hormat.

 

***

Hanya berselisih waktu tujuh jam dari Desa Ngandong, terletak di seberang pulau, tepat pukul tiga pagi di sini. Namun tetap saja hiruk pikuk tangisan dan tembakan terus terdengar. Tidak ada yang namanya ketenangan walaupun saat dini hari. Dan suasana inilah yang terus dialami si sulung, Hasyaf.

Lima tahun lalu ia berangkat meninggalkan Mak Nur dan adik tercinta demi mewujudkan impiannya mengabdi pada warga seberang yang sedikit pun tak pernah menikmati indahnya hidup tanpa peperangan. Pusat kota, yang kini merupakan lahan empuk bagi musuh seolah menjadi saksi ketegaran Hasyaf dalam merajut benang keberaniannya. Hasyaf kini berusia seperempat abad, lebih tua 10 tahun dari adiknya. Dokter muda yang baru saja menamatkan kuliah di salah-satu perguruan tinggi negeri ini, bercita-cita menjadi ibu untuk anak-anak yang kehilangan orang tua mereka, menjadi teman bagi wanita-wanita yang telah kehilangan semangat juang mereka, dan menjadi bidadari cantik di samping ibu-ibu yang telah kehilangan berlian hidup mereka, sungguh cita-cita yang mulia untuk generasi sekarang. Dan akhirnya mimpi itu terealisasikan, Hasyaf menggapai semua itu di pusat kota seberang. Sebuah kota kecil yang menjadi korban pemerkosaan musuh. Menyandang nama relawan dari Indonesia bukanlah hal yang mudah, butuh keberanian, tekad yang bulat, dan doa restu dari orang tua agar bisa menjalani semuanya dengan baik.

Tepat pukul 03.40, Hasyaf baru saja selesai menunaikan shalat malam, air mata mengucur lembut di pipi gadis pemberani ini, sambil mengangkat tangan, ia berdoa dan meluapkan seluruh kerinduannya pada Mak di kampung. Merasa bersalah karena sudah tak menghubungi keluarga di kampung sejak enam bulan terakhir. Deras, semakin deras air mata itu berjatuhan, membasahi seluruh bagian mukanya dan mengguling membulat di atas sajadah, sebuah butiran air yang menjadi saksi kerinduan si sulung. Seketika detik jam yang bergulir seakan berhenti, hening, suara bising di luar semuanya hilang. Gemericik air mulai turun dari langit, membasahi jalan-jalan di pusat kota juga rumah tempat Hasyaf kini sedang berdoa. Semakin lebat dan terus lebat, berhamburan jatuh ke bumi, hujan menyelimuti kota malam itu. Hujan pertama sepanjang dua tahun ini. Pelan. Bibir Hasy pun berhenti bergerak, terpaku oleh hujan yang turun. Hujan yang telah lama dirindukan oleh masyarakat. Hujan pembawa rahmat dari Sang Kuasa. Doa pun dihentikan oleh Hasyaf, beranjak meninggalkan sajadahnya menuju ke arah jendela untuk melihat pemandangan di luar rumah. Sungguh menakjubkan, musuh menarik mundur pasukan tentara dari benteng pertahanan, kembali menuju camp-camp dilepas perbatasan. Hasyaf menarik nafas lega untuk yang pertama kalinya, ”Terima kasih Ya Rabb”, kalimat itu terus bergema di hatinya.

 

***

Di meja makan, Mak telah siap menghidangkan makanan, kebetulan malam ini Mak membuat pepes ikan kesukaan si sulung.

”Sal, cepat ganti bajunya, nak!”, teriak Mak.

”Iya, Sal udah siap kok”.

Si bungsu pun menuju meja makan, untuk mengisi tenaga yang sehari ini sudah banyak terkuras, ditariknya kursi dan duduk di samping Mak.

”Mak, ini pepes kesukaan kakak, kan?”

”Iya,” jawab Mak lirih.

Seperti biasanya, jika disinggung tentang Hasyaf mata Mak langsung berkaca-kaca.

”Mak, maafkan Sal ya? Sal lupa Mak,”

”Udah nggak apa-apa, lanjutin gih makannya.”

”Mak sedih ya? Kalau ingat Kak Hasy.” sambil menghantar si putih masuk ke dalam mulutnya.

Nggak, Mak cuma khawatir, apakah kakakmu baik-baik saja. Sudah enam bulan dia tidak beri kabar ke mari.”

Air mata Mak Nur mengucur deras, sesak menahan tangis. Salmah pun menghentikan suapannya lalu berdiri menuju kursi Mak. Sambil mengelus-elus pundak Mak, Salmah berkata

”Mak harus yakin dong dengan perlindungan dari Allah, kan Kak Hasy pergi atas restu dari Mak. Ya dia pasti akan dijagalah Mak. Yang penting Mak terus berdoa agar Kak Hasy baik-baik saja dan dengan segera bisa kembali lagi ke tengah-tengah kita.”

”Tapi Sal, Mak masih belum bisa tenang kalau tidak tahu kabar kakak mu!”

”Mak, coba sekarang lihat Sal. Kak Hasy itu pergi untuk tugas yang mulia Mak! Untuk menyelamatkan saudara-saudara kita yang ada di luar sana, Mak harus yakin bahwa Allah akan melindungi Kak Hasy. Kan Mak yang mengajarkan kepada kami kalau Allah itu Maha Luas perlindungannya.”

Ucap Salmah untuk menenangkan hati Mak yang galau, walaupun perasaannya saat ini juga sama, perasaan rindu yang teramat pada sang kakak.

”Sekarang Sal antar Mak ke kamar, biar meja makan Sal yang beresin!”

 

Akhirnya makan malam pun selesai dengan cara yang tidak mengenakkan, semuanya bercampur kesedihan dan air mata, jauh dari perkiraan Mak sebelumnya, kalau mereka akan makan lahap malam ini. Mak pun tidur di ranjangnya dan Salmah tidur di kamar sebelah. Harapan mereka berdua sama, ingin mendengar kabar bahwa Hasyaf masih hidup, ya…..itu saja.

***

Bila di sana orang-orang sudah terlelap, di sini fajar baru saja menyingsing. Pukul tujuh, Hasyaf yang sedari tadi sudah siap dengan peralatan medisnya, pergi meninggalkan rumah menuju tenda-tenda darurat di daerah perbatasan. Melangkahkan kaki dengan niat mulia, berjalan bergegas sebelum tertangkap oleh tentara pengintai. Jejak kakinya tertekan lembut di jalan setapak, tapi tetap memberikan kesan tegas. Menggoyangkan rerumputan di sekitar jalan, lunglai berayun menjatuhkan air embun.

Damai terasa langkah itu pagi ini, Hasyaf pun sampai di tempat tujuannya. Dibukanya pintu tenda dan dilihatnya suasana yang mencengangkan. Tak ada satu pun orang di dalam tenda itu, Hasy berangsur ke tenda yang lain, tapi tetap jawaban yang sama ia dapati. Anehnya lagi, di luar suasananya juga sangat sunyi, seperti tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Hasy menghentikan langkahnya, badannya menggigil, mukanya pucat, dan sejuta pertanyaan berkecamuk di dalam benaknya. Apa yang terjadi? Ke mana perginya orang-orang? Usaikah peperangan ini? Siapa yang menang? Atau…..atau hujan semalamkah yang menyebabkan hilangnya orang-orang?

Hasy termenung, menelan ludah, kali ini cukup ketakutan. Sekali-dua kali ia mencoba untuk tenang. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sejenak ia berusaha mengumpulkan tenaga yang masih tersisa, dan tanpa pikir panjang ia memutar arah sambil menyandang erat backranselnya yang sedari tadi belum dilepas.

Hasy kembali pulang ke rumah, berjalan gontai sejauh dua puluh meter dari tenda pengungsian. Sepanjang jalan hatinya selalu saja bertanya-tanya tentang keadaan yang baru ia saksikan. Dengan kebingungan yang menggema, Hasy tiba di rumah. Melepas backranselnya dan termenung sejenak di depan pintu. Ditariknya kursi dan duduk menghadap ke arah jendela, sambil menggenggam erat handphonenya, Hasy berharap rekan kerjanya menghubungi ia untuk memberikan keterangan tentang kejadian di tenda itu.

Saat ia duduk di depan jendela, terlintas kembali dalam ingatannya tentang Mak di kampung. Membuat nafasnya semakin sesak, tak sanggup ia bagi pikiran yang menggalaukan hatinya, akhirnya ia tak sadarkan diri. Ketika Hasy tergeletak tak berdaya, telepon seluler di tangannya itu berdering, mengisyaratkan ada panggilan. Ya…panggilan yang sedari tadi ia nanti-nanti. Ternyata benar, panggilan itu memang dari rekan kerjanya. Tiga sampai lima kali telepon itu berbunyi setiap lima menit, tapi tetap tak ada jawaban dari Hasy. Setelah seperempat jam lamanya, panggilan itu pun terputus, ruangan itu kembali sunyi, Hasy hanya seorang diri di kamar dan belum juga siuman.

***

Usai shalat Subuh, Sal membantu Mak mencari melinjo di belakang rumah. Biasanya mereka bertiga dengan Hasy, namun kini si sulung telah pergi. Membuat pekerjaan Mak semakin berat, ditambah lagi dengan usia Mak yang mulai lanjut, cukup susah untuk bekerja terlalu berat. Tapi si bungsu tak membiarkan Mak dalam kondisi seperti itu, ia rela sebagian besar waktunya dihabiskan untuk membantu Mak makanya sebelum berangkat ke sekolah ia menyelesaikan pekerjaan ini.

”Kalau boleh Sal berhenti sekolah aja ya?”

”Tidak, kamu harus tetap sekolah!” timpal Mak Nur.

”Tapi, Sal nggak tega kalau terus melihat Mak khawatir memikirkan biaya Sal. Lagi pula Mak harus bekerja membanting tulang seperti ini.”

”Sal, dengarkan Mak! Apapun yang terjadi Mak tidak akan membiarkan anak-anak Mak berhenti sekolah. Mak ingin kamu menjadi orang besar dan berhasil, seperti kakakmu yang dokter sekarang.”

”Mak, dulu mungkin kita bisa, tapi kehidupan kita sekarang semenjak Bapak meninggal sudah berubah drastis Mak! Sal Cuma nggak ingin Mak menderita di hari tua.

”Baiknya Sal, jangan bahas hal ini lagi. Hari sudah terang, sekarang ganti baju dan berangkat sekolah.”

 

Salmah bungkam seribu bahasa, ia berusaha mematuhi ucapan Mak untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Tinggal Mak sendiri di belakang rumah, sebenarnya pikiran Mak sama dengan Sal, semenjak Bapak meninggal empat tahun lalu, kehidupan mereka mulai terganggu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Mak terpaksa menjadi buruh di perkebunan karet milik perusahaan swasta yang lahannya ada di desa itu. Bahkan sepulang sekolah, Sal ikut membantu Mak mengambil getah karet. Tapi dari dulu Mak sudah bertekad, ia tidak ingin kedua putrinya itu hidup susah seperti dirinya. Sekolah mereka harus sampai, jangan terputus seperti anak-anak desa yang lain. Bagaimanapun susahnya, Salmah harus tetap menjadi sarjana.

”Mak, Sal pergi dulu! Assalammu’alaikum.”

”Wa’alaikumsalam! Hati-hati nak, jawab Mak.

Saat Sal sudah berangkat sekolah, Mak juga sudah selesai mengumpulkan melinjo. Buah itu akan dibuat emping dan dijual ke pasar untuk menambah pendapatan. Usai melakukan pekerjaan itu Mak masuk ke dalam rumah, mengganti baju bersiap menuju ke perkebunan. Namun, spontan jantung Mak berdegub kencang

Seperti ada hal buruk yang sedang terjadi. Mak mencoba untuk tetap tenang, duduk perlahan di lantai dapur. Tanpa sadar hati Mak lirih berucap, ”Hasy, kau pasti kuat, Mak yakin kau akan pulang untuk Mak, nak!”. Air mata Mak pun mengalir di pipinya. Ia kembali berdiri dan memaksa tubuhnya berjalan ke perkebunan walau tertatih-tatih.

***

 

Seolah telah diatur, tanpa bantuan siapapun setelah 12 jam, Hasy akhirnya sadar. Ia terbangun karena merasa bisikan Mak begitu dekat dan mesra di telinganya. Entah siapa yang melakukan…..tapi itulah yang terjadi pada Hasy. Hatinya dan hati Mak Nur seperti menyatu, membentuk kekuatan cinta yang amat besar, tak peduli sejauh apapun jarak memisahkan raga mereka. Hasy lupa dengan telepon genggamnya, ia tak lagi memikirkan peristiwa di pengungsian itu. Di ruang dadanya hanya Mak dan si bungsu, Salmah. Hasy ingin sekali pulang, tapi ia tidak bisa, tugasnya banyak di sini. Ia berdiri perlahan, meneguk segelas air putih yang ada di atas meja dan mengambil secarik kertas. Lalu ia duduk di kursi sambil menulis semua kerinduan yang ia rasakan. Surat itu ia kirim melalui biro pos pusat kota dan baru sampai setelah pengiriman selama delapan hari. Ia berharap Mak mengerti keadaannya sekarang.

***

Tak terasa memang delapan hari sudah berlalu, surat yang ditulis oleh Hasy kini telah sampai di tangan Mak. Tadi sekitar pukul tujuh malam surat itu diantar ke rumah Hasy di desa oleh Pak Sarbino, tukang pos kabupaten yang sudah jadi langganan Mak sejak lima belas tahun lalu. Mungkin ini surat terakhir yang diantar Pak Sarbino ke rumah, soalnya Bapak minggu depan sudah pensiun, maklum umur Pak Sar sudah lebih tua dari Mak.

Usai shalat Isya, Mak mengambil surat yang satu jam lalu diberikan oleh Pak Sarbino di bawah bantal tidurnya. Ia memang sengaja tidak membaca surat itu duluan karena ia ingin si bungsu juga menyaksikannya. Dengan perasaan cemas bercampur bahagia Mak tetap menggenggam erat amplop merah muda itu. Ketika Sal telah pulang dari masjid, barulah Mak membaca surat itu di depannya, mereka berdua duduk di kursi ”meja makan” tempat yang juga pernah menjadi saksi kerinduan mereka pada Hasy, Mak tak kuasa menahan isak, ia terus menangis mengikuti kata demi kata yang ditulis oleh putri sulungnya. Sal juga ikut menangis, tapi itu tangis kebahagiaan. Ya… dalam suratnya, Hasy berjanji akan segera pulang jika ia sudah menyelesaikan tugasnya di sana. Kali ini meja makan juga menjadi tempat tumpahnya air mata Mak dan Sal, tapi dalam suasana yang berbeda, tangisan yang sekarang adalah tangisan kebahagiaan. Syukur tak henti-hentinya terucap dari bibir mereka. Malam itu, kebahagiaan hanya milik mereka berdua tak ingin rasanya mereka membagi itu dengan siapapun.

***

            Hasyaf, kini sedang terjepit dalam keadaan yang parah. Delapan hari sudah berlalu tapi pertentangan yang terjadi semakin saja meruak antara pasukan pembela dan musuh. Tak bisa lagi rasanya peperangan ini dihentikan, modusnya sudah terlalu mengakar hingga susah untuk dicarikan jalan damai. Harapannya untuk pulang ke desa pupus sudah, setiap detik begitu banyak korban yang berjatuhan, dan Hasy harus mengorbankan segalanya demi menyelamatkan mereka yang terluka, memang itulah yang ia cita-citakan sejak lama. Hilang sudah khayalannya tentang Mak, dalam bola matanya hanya ada darah dan api. Dengan kemauan keras yang ia miliki Hasy berani maju menjemput korban yang tergeletak di zona rawan bom, dan cuma dia yang nekad melakukan itu. Rekannya sesama dokter hanya mampu terkesima melihat kesigapan dan keberanian yang ia miliki.

Kepuasan mungkin boleh dirasakan Hasyaf, karena tugasnya ia jalankan dengan baik.

”Hasy, apa kau masih sanggup untuk mengevakuasi mereka semua?”

”Sanggup ketua, aku akan lakukan apapun untuk membantu mereka!”

Jawab Hasyaf.

” tapi jangan terlalu kau paksakan dirimu!”

”tenang saja, jangan khawatirkan aku, hidup dan matiku hanya milik Tuhan!”

”berani sekali anak ini!” gerutu Roman, ketua relawan dokter dari Indonesia.

Begitulah Hasy, ia semangat sekali dalam mengemban tugasnya. Karena ia sadar, pengabdian itu adalah jasa terbesar yang bisa diberikan untuk siapa saja. Selang beberapa jam Hasy mulai merasa lelah, ia beristirahat sejenak suntuk menunaikan shalat Zhuhur.

”Hasy, kau sakit? Muka mu pucat sekali!” tanya Rahma, rekannya.

”tidak. Aku cuma kelelahan dan butuh istirahat sebentar.” jawab Hasy.

”kalau ada apa-apa kau bilang padaku ya?”

”pasti sobat,

Usai berwudhu, Hasy melanjutkan langkahnya menuju tempat shalat. Aneh sekali, shalat Hasy kali ini khusyuk dan tenang. Tak pernah ia terlihat seperti itu sebelumnya, wajahnya begitu damai dan indah. Menghanyutkan.

Setelah selesai shalat Hasy kembali bekerja, dengan wajah yang masih pucat ia tetap mencoba untuk semangat. Ia berharap perang ini akan segera usai, agar ia bisa kembali berkumpul dengan Mak di kampung. Hasy, hanyut dalam lamunannya sejenak.

Dan tiba-tiba terdengar ledakkan bom yang keras, sungguh sangat keras. Disusul dengan teriakkan penduduk yang panik dan hilang akal. Ketika semua orang heboh menyelamatkan diri masing-masing, Hasy melihat sesosok tubuh yang terhimpit runtuhan tenda, ia membalik badannya dan berusaha menolong orang yang malang itu. Perasaan Hasy saat itu takut, sangat takut sekali. Tapi entah apa yang mendorongnya, ia tetap mendekati orang yang tertimbun itu. Dilihatnya sosok itu, dan sepertinya seusia dengan Mak, air mata Hasy langsung berderai jatuh. Ia ingat janjinya untuk pulang, tapi apa daya di sini banyak orang yang membutuhkan bantuannya. Perlahan ia angkat tubuh lemas itu dan memindahkannya ke tempat aman. Ia berhasil.

Tak lama ledakan kedua menyusul, nampaknya ini akhir dari perjuangan Hasy, percikan bom mengenai tubuhnya, ia terlempar jauh ke tanah. Banyak orang yang menyaksikannya terkejut, tak mereka sangka Hasy akan terkena serangan mematikan itu. Masih bernyawa, Hasy masih bernyawa tapi nafasnya mulai tersengal-sengal. Rahma segera mengejar tubuh Hasy yang terpental jauh itu, dengan beruraian air mata Rahma memangku sobatnya. Dingin. Tangan Hasy seperti es, mukanya pucat tapi begitu cantik. Dengan nafas yang tersengal Hasy lirih berucap

”Rah….m..a, antar…kan… ja..sad..ku.. ke… In..done.sia ya!”

”Hasy, kau tak boleh berkata seperti itu, kami pasti mengobatimu.”

”Ta..k usah Rah…ma, a…a..aku sudah te..mukan ob..at.ku kok.”

”Hasy, kau bicara apa? Sadar Hasy, sadar!”

Nafas mulai terputus-putus dan akhirnya berhenti, lembut, genggaman Rahma di lepas oleh Hasy, dan detak nadi itu hilang untuk selamanya. Ya, berhenti dan tak ada lagi. Dalam pangkuan temannya Hasyaf kini terbujur kaku.

”Hasyaf…. Hasyaf…!” Rahma terus meneriaki nama temannya itu. Walaupun ia tahu Hasyaf tak akan bisa menjawab lagi. Gadis pemberani kini hanya tinggal nama. Sebuah nama yang mungkin akan terus terpatri di hati teman-temannya.

 

***

            Entah mimpi apa semalam, Mak dikejutkan dengan berita yang sebelumnya tak pernah ia duga, janji hari ini untuk menjemput putri sulungnya di kabupaten sirna. Kabar mengerikan pagi itu datang dari seorang kepala rumah sakit daerah yang mengatakan bahwa sekitar empat jam lagi jasad Hasyaf akan sampai di Desa Ngandong.

Tak tahu lagi apa yang harus Mak lakukan, ia tak bisa menangis, tak bisa berkata-kata dan bahkan tak bisa pingsan. Bingung. Mak sungguh sangat bingung, rindunya kini berujung sudah.

Sedangkan Salmah, dari sekolah berlari-lari pulang ke rumah. Tak peduli pelajaran sudah habis atau belum. Tak ia hiraukan lagi luka kakinya berlari tanpa sepatu. Ia hilang kendali, tak percaya itu semua terjadi pada kakaknya setelah semua janji yang ditulis kakaknya. Kini Salmah tiba di pintu rumah. Terpaku melihat banyak orang yang membaca Yasin. Tidak. Ini tidak mimpi, kak Hasy benar-benar sudah pulang tapi bukan untuk berkumpul bersama lagi. Dicarinya Mak dan dipeluknya Mak erat-erat, tanpa setetes air pun yang keluar dari mata mereka. Aneh, sungguh sangat aneh, ketika peristiwa ini terjadi mereka tak ingin menangis menyambut Hasyaf, karena mereka tahu Hasyaf tak suka diperlakukan seperti itu.

Jasad Hasyaf kini tiba di rumah. Setelah dibaringkan, Mak mencium dengan sangat lembut kening bidadari cantik itu sambil berucap

”Kau tepati janji mu, nak! Kau pulang untuk Mak!”

***

Pemakaman, seperti umumnya tetap saja menyeramkan. Tapi tidak saat jasad Hasyaf dikebumikan. Angin bertiup begitu lambat, dedaunan berayun indah gemulai, dan tanah pun terasa segar untuk ditapaki. Tidak ada yang menangis di pemakaman ini, karena mereka semua ikhlas dengan takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Ini mungkin memang yang terbaik untuk Mak dan Salmah.

’Terima kasih pahlawan, kau buktikan ketangguhan mu!” hati Sal bergumam lembut.

”Selamat jalan.”

Mahasiswi Psikologi Unand. Ingin menjadi penulis inspiratif. Saat ini sedang menggarap satu buku nonfiksi bergenre psikologi, dan 2 novel.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...