Topic
Home / Berita / Silaturahim / Balada Rasim, Pengrajin Gerabah

Balada Rasim, Pengrajin Gerabah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – Tiap kali Rasim membuka pintu rumahnya di pagi hari, matanya berkaca-kaca memandang lahan yang kini sudah tidak lagi digunakan sebagai tempat pembuatan dan pembakaran (ngobong) gerabah. Pasalnya, tanah seluas 140 meter yang berada persis di depan rumahnya itu, sejak tiga bulan lalu sudah bukan miliknya lagi.

Masih segar dalam ingatan, sejak empat tahun lalu, ia mewarisi usaha gerabah dari ayahnya yang meninggal pada 2010. Gerabahnya laris manis saat musim tanam padi tiba. Dalam sebulan ia dapat membuat dan menjual gerabah berbagai varian dan ukuran sebanyak  7.000 unit dengan total keuntungan sekitar Rp 4 juta hingga Rp 4,5 juta rupiah.

Namun, bila musim panen tiba, penjualannya sepi lantaran para buruh pengadaan barang mentah beralih profesi menjadi buruh panen padi. Atau saat bulan Dzulqa’dah (Cirebon: Kapit) penjualannya kembali sepi lantaran adat di sana meyakini pada bulan tersebut tidak boleh hajatan, membangun rumah dan beraktivitas lainnya yang pada umumnya menggunakan alat-alat gerabah.

“Kalau sudah seperti itu, dapat memproduksi seperempatnya saja sudah sangat bagus,” ungkap lelaki yang menanggung delapan anggota keluarga (satu istri, empat anak, satu adik, satu kakak dan satu ibu).

Meski demikian, warga Blok Posong, RT/RW 02/01Desa Astana Mukti Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tetap bersyukur dan bangga sebagai pengrajin gerabah di keluarga besarnya.

Masalah muncul ketika seorang pamannya tiba-tiba pada malam Idul Fitri 1434 H menggugat rumah yang ditinggalinya. Setelah mendapat penjelasan bahwa rumah peninggalan almarhum ayah Rasim sebenarnya milik sang paman, Rasim pun mengalah dan menyerahkan kepemilikan rumah peninggalan orang tuanya kepada pamannya tersebut.  Rasim sempat berpesan bila sang paman ingin menjualnya, maka tawarkan dulu pada dirinya sebelum kepada orang lain.

Tapi yang terjadi, pamannya justru sudah menjual tanah itu kepada orang lain tanpa sepengetahuan Rasim. Ia pun segera memohon pembeli rumahnya ini, menjual kembali rumah itu kepada Rasim. Namun betapa kagetnya Rasim karena pemilik rumah baru hanya bersedia melepas rumah itu dengan harga dua kali lipat dan kontan. Tidak ingin kehilangan rumah yang dihuninya sejak lahir, Rasim pun dengan terpaksa menjual lokasi ngobong gerabah tersebut untuk menebus rumah.

Akhirnya rumah menjadi milik Rasim tapi konsekuensinya tempat ngobong hilang jadi milik orang lain. Ia pun kebingungan karena sudah tidak punya tempat usaha lagi.

“Sampai saat ini produksi gerabah berhenti, padahal pasar sudah menanyakan barang dagangan, sementara tempat pembakaran sudah tidak punya,” ungkapnya.

Yang ada di benak lelaki jebolan kelas tiga SD tersebut adalah berproduksi gerabah lagi karena pangsa pasarnya masih ada dengan cara menyewa tempat ngobong gerabah. Namun yang menjadi kendalanya adalah ketiadaan dana untuk menyewa lahan dan biaya operasional bulan pertama bagi keempat anak buahnya.

Menurutnya, biaya sewa lahan pertiga tahun Rp 2 juta. Sedangkan biaya operasional keempat anak buahnya agar mau bekerja kembali membuat gerabah adalah Rp 500 ribu per orang.

Rasim tidak memiliki dana sebesar itu, bahkan untuk memenuhi biaya makan sehari-hari saja terpaksa berutang pada tetangga.

Untuk meringankan bebannya, melalui program Zakat Peer to Peer, Badan Wakaf Al-Qur’an (BWA) menggalang dana zakat untuk membantu penghidupannya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Badan Wakaf Al Qur'an (BWA) adalah organisasi nirlaba (non-profit organization), berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat.

Lihat Juga

Balada Aktivis Peradaban

Figure
Organization