dakwatuna.com – “Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab.” (Q.S. Ali-Imran: 27)
Demikianlah ungkapan ayat Al-Quran yang lebih mengaksentuasikan mengenai proses pergantian malam menjadi siang dan siang menjadi malam. Seiring dengan bergantinya malam dan siang hal ini sudah tentu menuntut adanya perubahan dalam seluruh aspek kehidupan. Dari mulai bertambahnya usia seseorang yang hidup di dunia fana ini, sampai bertambahnya satu angka bilangan tahun Hijriah itu sendiri dalam istilah Islam disebut dengan istilah Muharram.
Kini, Hijriah genap akan memasuki ke-1435. Artinya, seribu empat ratus tiga puluh lima tahun yang lalu umat Islam sudah memiliki angka hitungan tahun, yang walaupun umat-umat sebelum Nabi Muhammad pun sudah mengenal sistem kalender. Hanya saja, ada sebagian kalangan yang mengatakan jauh sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Mereka (umat sebelum rasul) sudah mengenal nama-nama bulan dan juga sudah mengenal urutan dalam bulan. Bahkan mereka pun tahu bahwa dalam satu tahun itu ada 12 bulan. Akan tetapi yang belum mereka punya hanyalah penetapan angka hitungan tahun.
Baru pada masa kekhalifahan Umar RA hal ini menjadi isu penting untuk segera ditarik sebuah konklusi yang akan dijadikan patokan mulainya penetapan angka hitungan tahun bagi kalangan umat Rasul pada khususnya. Maka khalifah Umar pun ketika itu melakukan musyawarah bersama para sahabat lainnya dalam menetapkan hitungan tahun yang sedianya mereka sepakati. Ada banyak usulan dan tawaran yang muncul saat itu untuk dijadikan patokan dalam memulai hitungan tahun. Beberapa di antaranya adalah mengenai tahun lahirnya Rasul, tahun awal mula turunnya Al-Qur’an, atau tahun terjadinya perang Badar, tahun terjadinya pembebasan kota Mekkah dan lain sebagainya.
Seperti lazimnya sebuah diskusi, pro dan kontra untuk menetapkan angka dimulainya hitungan tahun pun demikian. Karena masing-masing mempunyai argumentasi yang berbeda. Baru pada akhirnya mereka sepakat untuk menjadikan tahun di mana Rasulullah SAW hijrah dijadikan sebagai hitungan awal tahun Islam. Sebab, peristiwa ini menjadi preseden awal dari tegaknya Islam sebagai urat nadi atau spirit bagi sendi-sendi sebuah negara, bukan hanya sekadar tata cara peribadatan saja. Atau dengan kata lain hijrahnya Rasul ke Madinah itu merupakan titik awal Islam menjadi legalitas formal dalam sebuah negara. Lantas timbul pertanyaan kenapa sistem penanggalan Hijriah bisa dikatakan “kalah pamor” dengan Masehi?
Sudah tidak bisa kita pungkiri lagi bahwasanya Masehi hari ini jauh lebih dikenal dan banyak digunakan orang dalam sistem penanggalannya untuk dapat membantu dan mempermudah manusia dalam melaksanakan rutinitas aktivitasnya yang tentu saja hal ini menyebabkan manusia tidak akan bisa terlepas dari jam, hari, minggu dan bulan serta tahun. Hanya saja ada yang mesti kita sayangkan dalam hal ini karena sistem penanggalan Hijriah yang merupakan produk dan simbol peradaban umat muslim harus terlupakan oleh umat muslim sendiri. Perasaan sedih dan khawatir saya ini bukan merupakan akumulasi dari ke-xenophobia-an saya pada produk dan hasil cipta karya orang-orang non muslim. Akan tetapi, pikiran dan perasaan ini semata-mata merupakan potret realitas sosial masyarakat muslim khususnya kita masyarakat yang terkenal Cirebon dengan kota walinya dengan muslim Indonesia pada umumnya.
Bukankah ironis sekali bagi kita sebagai umat muslim yang dalam tataran idealitasnya semestinya menghargai, mencintai bahkan memeliharanya agar produk kebudayaan umat muslim itu tidak begitu saja hilang ditelan bumi. Tanpa seorang pun tahu dan peduli akan keberadaannya (kalender Hijriah).
Untuk menjawab pertanyaan kenapa Masehi lebih populer dari Hijriah adalah di antaranya: Pertama, kepopularitasan Hijriah sejalan dengan runtuhnya peradaban Islam. Jatuhnya kerajaan Abbasiyah oleh serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke-13 M. ketika kota Bagdad sebagai pusat ilmu dan kebudayaan hancur sama sekali. Sekitar 800.000 penduduk Bagdad dibunuh. Perpustakaan dihancurkan, ribuan rumah penduduk diratakan. Musnahnya beribu-ribu buku, baik buku tentang keagamaan maupun ilmu-ilmu sains dan filsafat, mempengaruhi perkembangan intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Seiring dengan runtuhnya peradaban Islam ini masyarakat dunia ketika itu pun berpindah haluan 180 derajat yang semula bermazhabkan peradaban Islam kini beralih menjadi Eropa termasuk dalam penggunaan sistem kalender ini.
Kedua, kurang atau rendahnya kecintaan umat muslim terhadap peradaban Islam. Umat Islam kini lebih bangga menggunakan produk-produk barat ketimbang hasil cipta karya orang Islam itu sendiri. Ketiga, keberhasilan kelompok-kelompok yang menghendaki mundurnya Islam. Dirasakan atau tidak yang jelas Al-Qur’an telah memberitahukan pada kita bahwa sesungguhnya orang-orang kafir tidak akan pernah senang dan rela selama Islam masih tetap tegak di muka bumi ini. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara mempopulerkan sistem penanggalan Hijriah agar tidak begitu saja sirna dilupakan oleh umat muslim itu sendiri?
Untuk hal ini saya lebih berasumsi pada tiga hal yang mesti kita lakukan sebagai umat dalam frame melestarikan produk peradaban Islam ini. Di antaranya adalah Pertama, kita mesti mulai membangun kesadaran pada umat mengenai pentingnya cinta terhadap produk dan kebudayaan Islam lewat pendidikan, pengajian, radio, internet, media massa dan lain sebagainya. Pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah karena hal demikian menuntut kesabaran dan keseriusan kita sebagai umat yang cinta terhadap Islam dan produk kebudayaannya orang-orang Islam. Kedua, sebaiknya orang-orang yang menjadi tokoh masyarakat dan agama harus menjadi suri teladan yang baik dalam membiasakan penggunaan kalender Hijriah ini. Ketiga, saya mendorong kepada pihak instansi Kemenag Kabupaten Cirebon, MUI Kabupaten Cirebon dan Pemerintahan Kabupaten Cirebon untuk mensosialisasikan kalender Hijriah di Cirebon kota wali ini untuk dimasukkan ke sebuah kebijakan kurikulum wajib dalam sebuah lembaga di bawah naungan Kemenag atau Disdik Kabupaten Cirebon, mudah-mudahan ide ini akan di ikuti oleh daerah-daerah lain karena Indonesia adalah mayoritas masyarakat muslim.
Hanyalah keseriusan dan keikutsertaan semua pihak kelestarian dan survivenya sistem penanggalan Hijriah ini akan tetap terjaga sepanjang masa. Dan satu hal lagi yang mesti kita jadikan prinsip dalam menyelamatkan Hijriah dari keterbelakangan Masehi ini yakni ungkapan hadits yang berbunyi: man jadda wa jadda barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dia pasti akan berhasil. Semoga kita semua termasuk orang–orang yang sungguh-sungguh cinta terhadap produk-produk dan hasil karya orang Islam. Lantas kalau bukan kita mau siapa lagi?
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: