Topic
Home / Berita / Opini / Siapakah Segmen Pemilih PKS?

Siapakah Segmen Pemilih PKS?

Ilustrasi. (dakwatuna.com / hdn)
Ilustrasi. (dakwatuna.com / hdn)

dakwatuna.com – Pertanyaan ini tampaknya selalu ‘menggelitik‘ para caleg beserta tim suksesnya, apalagi menjelang pesta demokrasi tahun 2014 mendatang. Bagi PKS sendiri, kejelian melihat dan ‘menangkap’ segmen masyarakat yang tepat dan menjadi voters PKS pastinya.

Banyak pengamat berkomentar, bahwa tahun depan adalah tahun ‘kejatuhan’ PKS. Sebagai partai Islam dia telah ‘rusak’ citranya dengan kasus korupsi LHI yang kontroversial. Isu ini pun tiada henti ‘digoreng’ dan dibuat cerita bersambung di saluran pemberitaan nasional. Hingga tidak ada bedanya lagi antara menonton acara liputan Berita di televisi dengan drama Korea yang mengharu-biru menguras air mata dan rasa penasaran pemirsanya.

Menghadapi kondisi kekinian yang berubah drastis dari waktu ke waktu, maka diperlukan ‘kepala dingin’ dan ketepatan perhitungan yang mumpuni untuk menciptakan strategi kampanye yang tepat dan persuasive, untuk mencapai jumlah pemilih sebanyak-banyaknya.

Dalam ilmu marketing dikenal dengan istilah segmentasi pasar, yaitu membagi masyarakat sesuai dengan kesamaan karakteristiknya. Sebagai contoh segmentasi berdasarkan psikografi yang dilakukan oleh PT Surindo Utama (1997) yang membagi segmen masyarakat Indonesia menjadi 22% achievers (professional, eksekutif, akademisi, pengusaha dengan penghasilan bagus, percaya diri dan stabil secara ekonomi), 20% I-am-Me (mahasiswa, usia sekitar 20 tahun, cenderung egois, inovatif, dan agak agresif), 7% experiential (impulsive, mandiri, mencoba menyelesaikan sendiri masalahnya) dan 8% social conscious (peduli dengan kegiatan-kegiatan positif seperti daur-ulang sampah, bike to work, bahan makanan organic, suka berbagi, usia 30-40 tahun dan berlatar belakang sarjana-pascasarjana), dan 2% integrated segment (mencoba menyeimbangkan sikap dalam setiap suasana. Mereka tahu kapan waktunya menjadi pemimpin, pengikut, menyampaikan pendapatnya atau hanya diam saja).

Jika dilihat ulang jumlah pemilih PKS pada pemilu 2004 dan 2009 yang berkisar pada angka 7-8%, asumsi saya jangan-jangan PKS memang baru focus ‘bermain’ pada segmen social conscious dan integrated? Sedangkan segmen lainnya masih sedikit yang tertarik dengan PKS?

Menganalisa masyarakat Indonesia tidak bisa terlepas dari menganalisa struktur ideologi keberagamaannya. Apalagi jika kita ingin mengaitkan vote getters dengan partai Islam. Berarti target utama pemilih tentu saja mereka yang punya ideologi Islam yang cukup kental, atau setidaknya peduli dengan eksistensi nilai-nilai Islam di tengah masyarakat dan pemerintahan. Sayangnya, masyarakat muslim Indonesia –terutama dengan ideologi Islam yang kental– hingga saat ini belum mencapai kata ‘sepakat’ terhadap keberadaan partai Islam itu sendiri.

Maka sampailah PKS pada ‘kegamangannya’, yang disebut banyak pakar dalam posisi sulit. Jika ingin mempertahankan vote getters dari mereka yang kental Islamnya maka jumlah pemilih tidak akan bertambah. Sedang di sisi lain, jika PKS menjadi partai terbuka, yang merangkul semua elemen masyarakat, termasuk non-muslim, akan menimbulkan protes dari pemilih asalnya yaitu mereka yang ‘anti keterbukaan’. Protes ini muncul disebabkan oleh pandangan mereka yang melihat PKS akhirnya hanya ‘beda tipis’ dengan partai sekuler lainnya. Sehingga muncul anggapan bahwa PKS sudah tidak seperti dulu lagi yang bersih peduli, bahkan anti-korupsi.

Prof. Amin Abdullah, mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga, yang menawarkan cara pandang alternatif dalam memahami masyarakat muslim Indonesia. Beliau mencoba mengklasifikasikan masyarakat muslim tersebut berdasarkan corak keberagamaan dan respon terhadap perubahan social.

Berdasarkan corak keberagamaan, Amin Abdullah membagi menjadi tiga, yaitu subjektif, obyektif dan inter-subyektif. Corak keberagamaan yang subjektif adalah yang normatif (dogmatis-teologis), involvement (keterlibatan penuh), posisi sebagai insider (pengamat dari dalam), absolutis –non-dialogis (khususnya terhadap nilai-nilai agama) dan cikal bakal truth claim. Sedangkan corak obyektif lebih deskriptif, empiris apa adanya, berjarak dari obyek yang diteliti, posisi ‘outsider’ (pengamat dari luar) dan menggunakan metode ilmiah/rasionalitas dalam memahami ajaran agama. Terakhir adalah corak inter-subyektif, merupakan campuran antara subyektif dan obyektif, mampu memilah antara ‘common pattern’ dan ‘unique pattern’, lebih berempati dan simpati kepada orang lain yg berbeda, serta lebih inklusif (dialogis dan partnership).

Selain itu, berdasarkan respon terhadap perubahan social, Amin Abdullah mengkategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu komunitas egoistic dan komunitas pluralism. Disebut sebagai komunitas egoistic karena cenderung ‘memaksakan’ tujuan kelompoknya di tengah perubahan masyarakat. Komunitas egoistic ini dipisahkan menjadi kelompok radikalis dan gradualis. Kelompok radikalis adalah mereka yang memilih jalan radikal untuk mencapai tujuannya, memposisikan diri sebagai ‘insider’ (completely participant) dan menjalankan ibadah/nilai-nilai Islam secara total, bagaimanapun caranya. Sedangkan kelompok gradualis lebih memilih cara bertahap dalam mencapai tujuannya, memposisikan diri sebagai ‘insider’ namun cenderung observasi/melihat kondisi lingkungan dulu sebelum bergerak menjalankan tujuannya (participant as observer).

Sebaliknya, komunitas pluralistic adalah mereka yang cenderung menerima kehadiran dan keberadaan orang/kelompok lain. Komunitas pluralistic ini juga dibagi menjadi dua, yaitu toleranist dan altruist. Kelompok toleranist adalah mereka yang menerima kehadiran orang lain tapi tetap meyakini bahwa kelompok mereka adalah yang lebih unggul daripada yang lain. Mereka memposisikan diri sebagai ‘outsider’, yang membuat ‘jarak’ antara dirinya dengan Islam itu sendiri, atau disebut sebagai observer as participant. Kelompok toleran ini akan melihat dulu (mengobservasi) bagaimana nilai Islam diterapkan dan kemudian baru memutuskan untuk menjalankan (berpartisipasi) atau tidak. Sedangkan kelompok terakhir adalah altruist, mereka yang menerima kehadiran orang lain dan juga mempertimbangkan kepentingan orang lain sebagai pangkal tolak tindakan moral mereka, Orang dalam kelompok altruist ini memposisikan dirinya sebagai ‘outsider’ dan totally observer (pengamat saja).

Kelompok altruist inilah yang paling ‘kritis’ terhadap PKS karena mereka menempatkan dirinya sebagai pengamat dan outsider. Mereka yang paling mudah melayangkan ‘tuduhan’ kepada PKS atas nama moral yang telah dilanggar. Dan sebaiknya cara PKS menyikapi mereka tidak perlu terbawa emosi dengan membalas mereka dengan deretan argumentasi yang panjang (apalagi dengan dalil Qur’an dan Hadits), karena mereka memposisikan diri ‘hanya’ sebagai pengamat dan pengkritik dari luar. Mereka juga menjaga ‘jarak’ antara dirinya dengan symbol-symbol Islam serta cenderung merasionalkan segala argument. Mereka tidak ada ‘niat’ untuk menjadi pemain (participant), apalagi ‘meminta’ mereka memahami persoalan dari dalam (insider). Menurut hemat saya, kelompok altruist ini bukanlah target segmen PKS untuk pemilu mendatang, karena hanya akan membuang energi yang terlalu besar untuk beradu argumentasi dan meyakinkannya (dan mereka akan terus membalas dengan argumentasi tandingan).

Segmen potensial bagi PKS untuk jadi pemilih ke depan adalah mereka dalam kelompok gradualis dan toleranis. Kedua kelompok ini memiliki kecenderungan ‘menerima’ ide demokrasi dan partai Islam. Kelompok gradualis adalah kelompok-kelompok Islam yang militan namun masih bisa ‘kompromi’ dengan perubahan lingkungannya. Kelompok ini masih menggunakan fiqih dakwah dalam aktivitasnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri ada pula beberapa kelompok yang tidak sepakat dengan pemilu dan demokrasi. Pendekatan ke kelompok ini akan lebih mudah dengan pendekatan sesama ‘insider’ dari para kader PKS.

Segmen potensial kedua adalah kelompok toleranist. Kelompok ini lebih cair dan terbuka dalam pemikirannya. Karena sikapnya yang toleran dan ‘outsider’, orang-orang dalam kelompok ini biasanya tidak berada dalam suatu organisasi yang diikat oleh ideologi Islam yang kuat, bahkan beberapa orang toleranist memilih untuk tidak ikut organisasi Islam manapun. Swing voters kebanyakan berada di kelompok ini. Selama kader PKS bisa meyakinkan bahwa program-programnya reasonable, menghargai perbedaan, mengutamakan kemajuan bangsa, dan tentu saja ‘mengakomodasi’ kepentingannya ke depan, dia akan jadi voter untuk PKS.

Bagaimana dengan kelompok radicalist? Sebenarnya paling mudah mendekati kelompok ini selama mereka tidak ‘membenci’ demokrasi dan anti pemilu. Cukup dekati pemimpinnya, maka pengikutnya akan vote PKS. Jika dukungan dari kelompok ini telah didapat, maka maintenance hubungan dengan memberikan berita terkini secara rutin (untuk menetralisir berita negatif di media) dan sering silaturahim. Namun, jika kelompok ini jelas tidak mendukung demokrasi, mungkin tidak perlu terlalu berharap mendapatkan voter dari pengikut mereka.

Kesimpulannya, tulisan ini hanya mencoba untuk memberikan alternatif dalam memahami target voter dari PKS. Agar lebih efektif, hendaknya ada program-program khusus untuk setiap segmen, disesuaikan dengan karakteristiknya. Semoga program-program yang lebih tajam dan persuasive bisa diterapkan untuk masing-masing segmen ini. Semoga bermanfaat, wallahu ‘alam.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Praktisi dan akademisi komunikasi

Lihat Juga

Fadly Amran: Pasar Digital Kubu Gadang Tarik Minat Kunjungan Wisatawan

Figure
Organization