Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Tujuh Panduan Menjadi Mediator Proses Ta’aruf

Tujuh Panduan Menjadi Mediator Proses Ta’aruf

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya seputar biodata atau CV ta’aruf.

Ta’aruf dengan menggunakan biodata seperti yang dijelaskan dalam tulisan tersebut tentunya masih belum mencukupi, perlu diadakan sesi lanjutan sebagai sarana penggalian informasi lebih jauh kedua belah pihak yang berta’aruf. Saya menyebutnya sesi Ta’aruf Offline, bisa disebut juga ta’aruf langsung, atau ‘face to face’, yaitu sesi di mana pihak-pihak yang berta’aruf dipertemukan dalam satu tempat dengan didampingi mediator, dan dilanjutkan dengan pencarian informasi secara langsung ke anggota keluarga kedua belah pihak.

Bagi rekan-rekan yang berniat membantu ikhtiar ta’aruf rekannya namun masih belum memiliki gambaran prosesnya seperti apa, berikut ini saya tuliskan beberapa panduan yang bisa dijadikan referensi.

1. Persyaratan Mediator Ta’aruf

Persyaratan menjadi seorang mediator ta’aruf tidak jauh berbeda dengan persyaratan yang terkait dengan aktivitas muamalah lain dalam Islam, di antaranya:

  • Islam; yang non Islam tidak dapat dijadikan mediator.
  • Baligh; tentu anak kecil tidak bisa menjadi mediator.
  • Berakal sehat; seseorang yang kondisi kejiwaannya tidak sehat tentunya tidak bisa menjadi mediator.
  • Amanah; proses ta’aruf adalah proses yang bersifat rahasia dan tidak untuk disebarluaskan, sehingga yang menjadi moderator haruslah yang amanah, bisa menjaga kerahasiaan biodata ta’aruf, kerahasiaan proses ta’aruf, dan hal-hal terkait privasi masing-masing pihak yang berta’aruf.
  • Mengetahui adab-adab ta’aruf; mediator perlu mengetahui adab-adab ta’aruf sehingga bisa menjaga proses ta’aruf berjalan syar’i, seperti meluruskan niat berta’aruf karena Allah, tidak berkhalwat (berduaan), menjaga rahasia kedua belah pihak, menjunjung kejujuran dalam menyampaikan informasi, sopan dalam berbicara, memutuskan proses dengan cara yang baik, dan lain-lain.
  • Sudah menikah; dengan pengalaman ta’aruf yang sudah dijalani sang mediator diharapkan bisa mengarahkan ta’aruf agar sejalan dengan syariat, juga memberikan saran dan solusi seandainya ada masalah selama proses berjalan.

Seperti yang dijelaskan di tulisan sebelumnya, yang belum menikah saya sarankan dijadikan pilihan terakhir saja, asalkan masih mahramnya dan tentunya tidak ‘lintas gender’, misalnya seperti:

  • Kakak laki-laki yang belum menikah menjadi mediator ta’aruf adik perempuannya dengan seorang ikhwan.
  • Adik perempuan yang belum menikah menjadi mediator ta’aruf kakak laki-lakinya dengan seorang akhwat.

Dengan demikian tidak ada kemungkinan seseorang yang diperantarai justru pada akhirnya malah berproses dengan perantaranya, yang tentunya dapat meninggalkan prasangka buruk bagi pihak lain yang diperantarai.

Bagi seorang akhwat, ayah/walinya-lah yang sebaiknya menjadi mediator/perantara proses tersebut, namun kebanyakan orang tua  memberikan amanah ke sang anak untuk mencari sendiri si calonnya, alternatifnya bisa minta bantuan saudara, guru ngaji, sahabat dekat, atau pihak lainnya untuk menjadi mediator. Apabila sudah memiliki guru ngaji sendiri tentunya perlu diprioritaskan, namun apabila belum punya maka bisa minta bantuan pihak lainnya untuk menjadi mediator asalkan syarat-syarat di atas terpenuhi.

2. Tugas dan Kewenangan Mediator

Dalam menjalankan tugasnya, ada beberapa kewenangan mediator yang perlu diketahui dan disepakati oleh pihak-pihak yang berta’aruf. Komunikasi dan interaksi antara kedua belah pihak tentu akan dibatasi oleh kewenangan mediator tersebut. Beberapa tugas dan kewenangan mediator ta’aruf di antaranya:

  • Mengatur dan memantau jalannya proses ta’aruf sehingga tetap berjalan sesuai syariat yang ada.
  • Memerantarai komunikasi selama proses ta’aruf berjalan untuk menghindari kemudharatan komunikasi langsung.
  • Memberikan nasihat apabila ada masalah yang dihadapi kedua belah pihak selama proses ta’aruf berjalan

Dengan niat membantu ikhtiar rekan lain dalam pencarian jodohnya dan mengharap pahala dari Allah SWT semata insya Allah semuanya akan ringan untuk dijalani.

3. Manfaat Ta’aruf Offline

Aktivitas utama ta’aruf offline adalah mempertemukan, yaitu mempertemukan ikhwan dan akhwat yang ingin mengenal satu sama lain dengan niat menjalin hubungan yang lebih serius dalam ikatan pernikahan. Kalaupun kedua belah pihak sudah saling mengenal, kondisikan seakan-akan mereka dalam posisi yang belum pernah mengenal sebelumnya, sehingga proses ta’aruf offline ini dapat dijadikan sebagai sarana perkenalan lebih jauh kedua belah pihak.

Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu’anhu bahwasanya beliau melamar seorang wanita maka Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam pun berkata kepadanya “Lihatlah ia (wanita yang kau lamar tersebut) karena hal itu akan lebih menimbulkan kasih sayang dan kedekatan di antara kalian berdua.”

Tentu bukan hanya hak ikhwan yang ingin melamar untuk mengetahui siapa yang akan dilamarnya, tapi juga hak akhwat untuk mengenal siapa yang akan melamarnya. Foto yang dipasang di biodata mungkin belum menggambarkan kondisi fisik yang sebenarnya, karena itu perlu dipastikan dalam sesi ta’aruf offline ini. Informasi yang tertulis di biodata pun mungkin hanya sedikit, sehingga perlu disampaikan lebih jelas dalam sesi ta’aruf offline ini. Dengan adanya ta’aruf offline maka kondisi nyata pihak yang berta’aruf dapat diketahui lebih jauh dibandingkan dengan hanya melihat beberapa halaman biodata saja.

4. Persiapan Ta’aruf Offline Perdana

Ta’aruf offline perdana adalah proses ta’aruf offline paling awal yang perlu dijalani pihak yang berta’aruf sebelum melanjutkan ke proses yang lebih jauh. Karena sifatnya baru awalan, maka proses ta’aruf ini cukup dihadiri oleh mediator dan kedua pihak yang berta’aruf. Dalam sesi ta’aruf perdana ini, mediator perlu mempersiapkan hal-hal berikut ini:

– Menentukan Lokasi Pertemuan

Lokasi pertemuan disepakati bersama antara mediator, pihak ikhwan, dan pihak akhwat sebelum pertemuan dilaksanakan dengan mempertimbangkan domisili masing-masing pihak. Lokasi pertemuan sebisa mungkin lebih dekat dengan domisili pihak akhwat dengan pertimbangan kondisi akhwat yang lebih rawan dari sisi keamanan diri, beda dibanding kondisi pihak ikhwan yang dapat dikatakan tanpa batasan ke manapun dan sejauh apapun dia bepergian. Kalaupun terpaksanya tidak bisa maka lokasi pertemuan yang lebih dekat dengan domisili pihak ikhwan dapat dijadikan pilihan terakhir, itupun bila pertimbangan keamanan pihak akhwat bisa terjamin, dan akan lebih baik lagi bila pihak akhwat didampingi mahramnya.

Area masjid bisa dijadikan prioritas pertama untuk lokasi pertemuan dengan mempertimbangkan kondisi masjid apakah kondusif untuk dijadikan lokasi pertemuan atau tidak, karena situasi yang terlalu ramai akan mengganggu jalannya diskusi dan tanya jawab yang dilakukan. Alternatif lain selain masjid bisa di rumah mediator, rumah pihak akhwat, ataupun di lokasi lain yang dinilai kondusif.

– Menentukan Waktu Pertemuan

Tanggal pertemuan dan jam pertemuan disepakati bersama antara mediator, pihak ikhwan, dan pihak akhwat sebelum pertemuan dilaksanakan dengan mempertimbangkan keluangan waktu masing-masing pihak. Berdasarkan pengalaman, satu sesi ta’aruf offline perdana ini memerlukan waktu setidaknya 1-2 jam, tergantung seberapa banyak pertanyaan yang diajukan kedua belah pihak. Dari perkiraan kebutuhan waktu tersebut, waktu yang optimal untuk pertemuan adalah pagi hari hingga sebelum Zhuhur, dan ba’da Zhuhur hingga menjelang Ashar. Ba’da Ashar hingga menjelang Maghrib adalah pilihan terakhir, kecuali bila lokasi pertemuan dekat dengan kediaman pihak akhwat sehingga bisa diperkirakan pihak akhwat bisa sampai rumahnya sebelum malam tiba terkait kondisi akhwat yang cukup rawan dari sisi keamanan diri.

– Meminta Kedua Pihak Untuk Menyiapkan Pertanyaan

Sesi ta’aruf offline dimanfaatkan sebagai sarana kedua belah pihak menggali lebih jauh profil, karakter, cara pandang, keseharian, dan informasi lain yang diperlukan. Semakin banyak tanya jawab ataupun diskusi  yang dijalani, maka akan semakin banyak pula informasi yang bisa digali antara kedua belah pihak. Dari informasi yang didapat tersebut maka akan ada ‘pencerahan’ bagi kedua belah pihak, apakah banyak kecocokan sehingga mantap untuk lanjut proses, ataukah memutuskan untuk mengakhiri proses karena banyak ketidakcocokan.

Mediator perlu menyampaikan pesan kepada kedua belah pihak untuk menyiapkan sebanyak-banyaknya pertanyaan yang ingin disampaikan ke pihak lainnya saat pertemuan offline ini. Entah karena grogi saat pertama bertemu atau sebab lainnya, tak jarang kedua belah pihak lupa apa saja pertanyaan yang akan diajukan ke pihak lainnya saat pertemuan berlangsung. Karena itu, kedua belah pihak dipesankan juga agar mencatat apa saja pertanyaan yang ingin ditanyakan ke pihak lainnya nanti, sehingga saat ta’aruf offline tinggal disampaikan ke pihak yang lain.

5. Gambaran Proses Ta’aruf Offline Perdana

Setelah lokasi pertemuan dan waktu pertemuan sudah disepakati, serta pertanyaan-pertanyaan yang ingin diajukan sudah dipesankan ke pihak yang berta’aruf, maka tibalah saat hari pertemuan itu. Mediator perlu datang lebih awal dari jam yang telah disepakati untuk memastikan lokasi pertemuan kondusif dan mencari lokasi yang nyaman untuk pertemuan, apabila sudah ditemukan maka tinggal menghubungi kedua belah pihak dan menanti kedatangan mereka di lokasi yang telah ditentukan. Berikut ini gambaran sesi ta’aruf offline yang dijalani:

  • Ucapkan salam saat bertatap muka pertama kali, jabat tangannya, diteruskan dengan obrolan santai untuk lebih mengakrabkan diri dengan pihak-pihak yang akan berta’aruf. Mediator ikhwan mengakrabkan diri ke pihak ikhwan, dan mediator akhwat ke pihak akhwat. Tanyakan kabarnya, bagaimana dia datang ke lokasi ta’aruf, dan obrolan santai lainnya.
  • Setelah berada di lokasi ta’aruf pilihan, ambil posisi senyaman mungkin untuk sesi tanya jawab ini dengan posisi pihak-pihak yang berta’aruf dipisah oleh mediator dan pasangannya. Jangan terlalu dekat, namun jangan pula terlalu jauh agar suara kedua belah pihak masih bisa terdengar jelas.
  • Awali sesi ta’aruf offline dengan bismillah, selanjutnya persilakan pihak ikhwan untuk mengawali sesi ta’aruf dengan pembacaan ayat suci Al Quran beberapa ayat sehingga bisa diketahui apakah memang ikhwan ini lancar bacaannya atau tidak, yang mungkin bisa jadi penilaian tersendiri bagi pihak akhwat.
  • Mediator memperkenalkan dirinya dan pasangannya (apabila belum pernah kenal sebelumnya), dilanjutkan dengan memberikan arahan dan pengantar singkat seputar proses ta’aruf yang dijalani dan menjelaskan adab-adab ta’aruf yang mungkin belum diketahui pihak yang berta’aruf.
  • Mediator mempersilakan pihak ikhwan untuk memperkenalkan dirinya terlebih dulu, dilanjutkan dengan perkenalan dari pihak akhwat. Bila suara dari kedua belah pihak dirasa kurang keras, mediator perlu mengingatkan agar suaranya diperkeras supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman karena suara yang tidak jelas. Ingatkan juga agar kedua belah pihak jangan terlalu tegang dalam sesi ta’aruf offline ini, anggap saja seperti perkenalan dengan teman biasa sehingga bisa lebih santai menjalaninya.
  • Sesi tanya jawab dimulai. Mediator mempersilakan salah satu pihak untuk mengajukan pertanyaan ke pihak yang lainnya, misalnya pihak akhwat terlebih dulu. Persilakan pihak akhwat untuk membuka ‘contekan’ pertanyaan yang telah dipesankan sebelumnya, beri kesempatan pihak ikhwan untuk menjawab pertanyaannya. Setelah pihak ikhwan menjawab, gantian pihak ikhwan yang mengajukan pertanyaan, demikian seterusnya. Maksimalkan sesi ini untuk menggali lebih dalam profil & cara pandang masing-masing pihak mengenai suatu hal sehingga terlihat apakah memang banyak kecocokan pandangan atau malah banyak perbedaan, yang nantinya bisa dijadikan pertimbangan lebih lanjut untuk meneruskan proses atau tidak.
  • Mediator diperbolehkan juga untuk bertanya ke pihak-pihak yang berta’aruf untuk melengkapi ‘contekan’ pertanyaan yang telah mereka siapkan. Pertanyaan bertemakan ‘studi kasus’, dengan awalan semacam ‘bila kelak kedua belah pihak berjodoh’ atau ‘kalau nanti berjodoh’, bisa disampaikan mediator untuk mengetahui pandangan masing-masing pihak mengenai suatu hal, misalnya : “Bila kelak kedua belah pihak berjodoh, pihak akhwat ingin tetap berkarir meskipun sudah punya anak, bagaimana pendapat pihak ikhwan?”, “Kalau nanti berjodoh, pihak ikhwan meminta pihak akhwat untuk berhenti kerja dan tinggal di rumah saja bagaimana?”, dan pertanyaan semacam itu.
  • Tidak ada batasan berapa lama sesi ini dijalankan, karena tergantung dari banyak sedikitnya pertanyaan yang disampaikan masing-masing pihak. Lebih banyak pertanyaan yang disampaikan tentunya lebih bagus, karena masing-masing pihak bisa lebih mengetahui cara pandang pihak yang lainnya. Namun bila karena satu dan lain hal, misalnya terpotong waktu Zhuhur atau Ashar, maka sesi ta’aruf dihentikan sementara dan bisa dilanjutkan setelah shalat nanti.
  • Bila sudah tidak ada lagi pertanyaan yang ingin diajukan pihak-pihak yang akan berta’aruf, mediator menyampaikan pesan penutup untuk mengakhiri sesi ta’aruf offline ini. Setelah ta’aruf offline ini, persilakan masing-masing pihak untuk istikharah, menimbang-nimbang lagi informasi-informasi yang telah didapat dari pihak-pihak yang berta’aruf di sesi tanya jawab yang telah dilaksanakan. Bila masing-masing pihak masih memerlukan informasi yang lebih jauh, pihak-pihak yang berta’aruf bisa menghubungi mediator untuk menanyakan hal tersebut, selanjutnya mediator akan meneruskan pertanyaan tersebut ke pihak yang lainnya.
  • Mediator perlu mengingatkan juga bahwa keputusan lanjut atau tidaknya untuk berproses sekitar satu minggu dari pertemuan offline, karena terlalu lama menunggu tidak baik untuk keduanya. Tak perlu ragu untuk meminta saran dan nasihat dari mediator apabila masih ada keraguan dalam memutuskan lanjut atau tidaknya ke proses berikutnya. Tak lupa juga sampaikan bahwa bila nantinya proses ta’aruf tidak berlanjut karena salah satu atau keduanya merasa belum cocok, maka sesi ta’aruf offline ini kita anggap sebagai sarana silaturahim antar saudara sesama muslim, dan diharapkan masing-masing pihak bisa ikhlas menerima apapun keputusannya. Namun bila kedua belah pihak sama-sama ingin lanjut proses, maka mediator akan memberikan arahan selanjutnya untuk sesi ta’aruf offline lanjutan ke pihak keluarga masing-masing.
  • Mediator menutup sesi ta’aruf offline dengan bacaan hamdalah, mohon maaf apabila ada kesalahan selama proses ta’aruf berjalan. Dampingi kedua belah pihak sambil bicara santai saat kepulangan, mediator ikhwan dengan pihak ikhwan dan mediator akhwat dengan pihak akhwat. Pastikan agar kedua belah pihak tetap terjaga, tidak pulang berduaan hingga ‘titik perpisahan’.

6. Keputusan Proses Ta’aruf Perdana

Sekitar satu minggu setelah pertemuan, mediator mengingatkan ke masing-masing pihak mengenai hasil istikharahnya, apakah ingin tetap lanjut proses atau tidak. Mediator sebaiknya menanyakan keputusan pihak ikhwan dulu apakah lanjut atau tidak, kalau dari pihak ikhwan memutuskan lanjut maka tinggal ditanyakan ke pihak akhwat apakah berniat juga untuk lanjut proses atau tidak. Apabila keputusan pihak ikhwan tidak lanjut, informasikan ke pihak akhwat bahwa pihak ikhwan tidak berkenan untuk lanjut proses, sampaikan bahwa insya Allah keputusan tersebut adalah yang terbaik menurut Allah SWT untuk menguatkan hati pihak akhwat yang mungkin sebenarnya dalam posisi yang mantap untuk lanjut proses. Bila ternyata pihak akhwat dalam posisi yang juga memilih untuk tidak lanjut proses maka kondisinya aman, karena kedua belah pihak sama-sama tidak berkenan untuk lanjut proses. Bila keduanya sepakat untuk lanjut proses maka dapat diarahkan ke proses ta’aruf keluarga.

7. Ta’aruf Keluarga

Proses ta’aruf tidak hanya melibatkan si ikhwan dan si akhwat yang dipertemukan di pertemuan offline saja, tetapi juga keluarga kedua pihak yang berta’aruf. Bila berjodoh, yang duduk di pelaminan tentu bukan hanya dua orang tersebut, melainkan juga didampingi oleh orang tua/keluarga kedua belah pihak di sisi kanan dan kiri mereka. Karena itu, keluarga kedua belah pihak juga berhak mendapatkan sesi tersendiri dalam proses ta’aruf keluarga.

Untuk awalan proses ta’aruf keluarga, berikan kesempatan ke sang ikhwan untuk bersilaturahim ke pihak akhwat dengan didampingi mediator, tidak perlu membawa serta pihak keluarga ikhwan. Kesempatan pertama diberikan ke si ikhwan dengan pertimbangan keluarga akhwat yang cenderung lebih banyak pertimbangan dibandingkan pihak keluarga ikhwan yang cenderung menyerahkan urusan jodoh ke si ikhwannya sendiri. Sama seperti proses yang dijalani si akhwat, beri kesempatan pihak keluarga akhwat untuk lebih mengenal si ikhwan, gali sebanyak-banyaknya informasi mengenai si ikhwan sehingga pihak keluarga bisa mengetahui seperti apa profil si ikhwan ini.

Bagi keluarga yang pemahaman keislamannya baik tentunya proses seperti di atas wajar saja, namun bagi keluarga yang masih awam menganggap proses ta’aruf seperti di atas cukup aneh bagi mereka, karena selama ini mereka hanya mengetahui aktivitas pacaran hingga anaknya menikah. Pengkondisian dan penyikapan ke keluarga yang masih awam ini tentu berbeda. Bagi mereka sekali silaturahim masih belum cukup, perlu beberapa kali pertemuan hingga pihak keluarga yakin akan pilihan anaknya. Dalam kondisi seperti ini tentu si anak perlu menyesuaikan diri, silaturahim bisa diagendakan selama beberapa kali, tentunya tetap dengan adanya pendamping dan tujuannya juga jelas, untuk lebih memperkenalkan diri ke pihak keluarga. Misalnya minggu pertama dikhususkan ta’aruf ke si bapak, minggu ke dua ke si ibu, minggu ketiga ke si kakak, minggu ke empat ke si adik, dan semacamnya, yang intinya agar pihak keluarga lebih mengenal.

Setelah silaturahim dijalani, sampaikan ke si akhwat untuk menanyakan ke keluarganya apakah cocok dengan si ikhwan atau tidak. Kalau tidak cocok tentunya proses tidak bisa berlanjut, dan kedua belah pihak harus menerimanya karena bagaimanapun juga restu keluarga lebih utama. Kalau cocok, gantian pihak akhwat yang didampingi untuk bersilaturahim ke keluarga si ikhwan dengan agenda yang sama juga, yaitu agar keluarga pihak ikhwan bisa mengetahui seperti apa profil si akhwat itu. Setelah silaturahim dijalani, sampaikan ke si ikhwan untuk menanyakan ke keluarganya apakah cocok dengan si akhwat atau tidak. Kalau tidak cocok tentunya proses tidak bisa berlanjut, dan kedua belah pihak harus menerimanya karena bagaimanapun juga restu keluarga lebih utama. Kalau cocok juga maka ta’aruf bisa berlanjut ke tahap yang lebih serius lagi, yaitu ta’aruf antara kedua keluarga. Pihak ikhwan silaturahim ke keluarga pihak akhwat dengan didampingi keluarganya, untuk awalan tentunya belum perlu membahas masalah khitbah dan pernikahan agar keluarga pihak akhwat tidak ‘kaget’, namun bila memang kedua keluarga sudah sama-sama cocok berdasarkan informasi yang telah disampaikan oleh si ikhwan dan si akhwat, tentu tidak ada salahnya pembahasannya bisa lebih serius lagi. Apabila khitbah sudah terucapkan maka peran mediator beralih ke kedua pihak keluarga dalam mempersiapkan pernikahan. Pesankan ke si ikhwan dan si akhwat agar tetap menjaga hati hingga hari pernikahan tiba, karena sebelum ijab kabul terucap syariat masih membatasi.

Semoga bermanfaat, wallahua’lam bishshawab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 2.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Bernama lengkap Tri Wahyu Nugroho. Admin RumahTaaruf.com; Penulis buku 12 Weeks To Get Married; Spesialis Ta'aruf; Mediator Ta'aruf; Konselor Ta'aruf.

Lihat Juga

Manisnya Ramadhan

Figure
Organization