Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Sikap Bijak Para Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah Menghadapi Persoalan Qunut Subuh

Sikap Bijak Para Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah Menghadapi Persoalan Qunut Subuh

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (Republika Online)
Ilustrasi (Republika Online)

dakwatuna.com – Persoalan membaca doa qunut pada shalat subuh ketika iā€™tidal kedua, merupakan perselisihan fiqih sejak zaman para sahabat Nabi. Ini termasuk perselisihan yang paling banyak menyita waktu, tenaga, pikiran, bahkan sampai memecahkan barisan kaum muslimin. Sebenarnya, bagaimanakah sebenarnya masalah ini? Benarkah para Imam Ahlus Sunnah satu sama lain saling mengingkari secara keras, sebagaimana perilaku para penuntut ilmu dan orang awam yang kita lihat hari ini dari kedua belah pihak?

Kali ini, saya tidak akan membahas qunut pada posisi, ā€œMana yang lebih benar, qunut atau tidak qunut?ā€ yang justru kontra produktif dengan tema yang sedang saya bahas. Walau bagi saya tidak berqunut adalah pendapat yang lebih kuat. Tetapi, mereka yang berqunut adalah saudara seiman yang harus dijaga perasaannya dan dipelihara hubungannya. Tidak mengingkari mereka, lantaran mereka pun berpijak pada pendapat para Imam Ahlus Sunnah lainnya, yang juga memiliki sejumlah dalil dan alasan yang dipandang kuat oleh mereka. Sedangkan para imam kita telah menegaskan kaidah, ā€œAl Ijtihad Laa Yanqudhu bil Ijtihad (Suatu Ijtihad tidak bisa dimentahkan oleh Ijtihad lainnya),ā€ dan ā€œLaa inkara fi masaail ijtihadiyah (tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah).ā€

Qunut Subuh Benar-Benar Khilafiyah Ijtihadiyah

Kita lihat peta perbedaan ini, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama sebagai berikut:

Berkata Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya sebagai berikut:

ŁˆŁŽŲ§Ų®Ł’ŲŖŁŽŁ„ŁŽŁŁŽ Ų£ŁŽŁ‡Ł’Ł„Ł Ų§Ł„Ł’Ų¹ŁŁ„Ł’Ł…Ł ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁ ŁŁŁŠ ŲµŁŽŁ„ŁŽŲ§Ų©Ł Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł ŁŁŽŲ±ŁŽŲ£ŁŽŁ‰ ŲØŁŽŲ¹Ł’Ų¶Ł Ų£ŁŽŁ‡Ł’Ł„Ł Ų§Ł„Ł’Ų¹ŁŁ„Ł’Ł…Ł Ł…ŁŁ†Ł’ Ų£ŁŽŲµŁ’Ų­ŁŽŲ§ŲØŁ Ų§Ł„Ł†Ł‘ŁŽŲØŁŁŠŁ‘Ł ŲµŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł ŁˆŁŽŲ³ŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ…ŁŽ ŁˆŁŽŲŗŁŽŁŠŁ’Ų±ŁŁ‡ŁŁ…Ł’ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁŽ ŁŁŁŠ ŲµŁŽŁ„ŁŽŲ§Ų©Ł Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł ŁˆŁŽŁ‡ŁŁˆŁŽ Ł‚ŁŽŁˆŁ’Ł„Ł Ł…ŁŽŲ§Ł„ŁŁƒŁ ŁˆŁŽŲ§Ł„Ų“Ł‘ŁŽŲ§ŁŁŲ¹ŁŁŠŁ‘Ł Łˆ Ł‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ Ų£ŁŽŲ­Ł’Ł…ŁŽŲÆŁ ŁˆŁŽŲ„ŁŲ³Ł’Ų­ŁŽŁ‚Ł Ł„ŁŽŲ§ ŁŠŁŁ‚Ł’Ł†ŁŽŲŖŁ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł Ų„ŁŁ„Ł‘ŁŽŲ§ Ų¹ŁŁ†Ł’ŲÆŁŽ Ł†ŁŽŲ§Ų²ŁŁ„ŁŽŲ©Ł ŲŖŁŽŁ†Ł’Ų²ŁŁ„Ł ŲØŁŲ§Ł„Ł’Ł…ŁŲ³Ł’Ł„ŁŁ…ŁŁŠŁ†ŁŽ ŁŁŽŲ„ŁŲ°ŁŽŲ§ Ł†ŁŽŲ²ŁŽŁ„ŁŽŲŖŁ’ Ł†ŁŽŲ§Ų²ŁŁ„ŁŽŲ©ŁŒ ŁŁŽŁ„ŁŁ„Ł’Ų„ŁŁ…ŁŽŲ§Ł…Ł Ų£ŁŽŁ†Ł’ ŁŠŁŽŲÆŁ’Ų¹ŁŁˆŁŽ Ł„ŁŲ¬ŁŁŠŁŁˆŲ“Ł Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŲ³Ł’Ł„ŁŁ…ŁŁŠŁ†ŁŽ

ā€œPara Ahli ilmu berbeda pendapat tentang qunut pada shalat fajar (subuh), sebagian Ahli ilmu dari sahabat Nabi Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam dan lainnya berpendapat bahwa qunut ada pada shalat subuh, dan ini adalah pendapat Malik dan Asy Syafiā€™i. Sedangkan, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak ada qunut pada shalat subuh kecuali saat nazilah (musibah) yang menimpa kaum muslimin. Jika turun musibah, maka bagi imam berdoa untuk para tentara kaum muslimin.ā€ (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

Berkata Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah :

Ų§Ų®ŲŖŁ„ŁŁˆŲ§ ŁŁŠ Ų§Ł„Ł‚Ł†ŁˆŲŖŲŒ ŁŲ°Ł‡ŲØ Ł…Ų§Ł„Łƒ Ų„Ł„Ł‰ Ų£Ł† Ų§Ł„Ł‚Ł†ŁˆŲŖ ŁŁŠ ŲµŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„ŲµŲØŲ­ Ł…Ų³ŲŖŲ­ŲØŲŒ ŁˆŲ°Ł‡ŲØ Ų§Ł„Ų“Ų§ŁŲ¹ŁŠ Ų„Ł„Ł‰ Ų£Ł†Ł‡ Ų³Ł†Ų© ŁˆŲ°Ł‡ŲØ Ų£ŲØŁˆ Ų­Ł†ŁŠŁŲ© Ų„Ł„Ł‰ Ų£Ł†Ł‡ Ł„Ų§ ŁŠŲ¬ŁˆŲ² Ų§Ł„Ł‚Ł†ŁˆŲŖ ŁŁŠ ŲµŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„ŲµŲØŲ­ŲŒ ŁˆŲ£Ł† Ų§Ł„Ł‚Ł†ŁˆŲŖ Ų„Ł†Ł…Ų§ Ł…ŁˆŲ¶Ų¹Ł‡ Ų§Ł„ŁˆŲŖŲ± ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ł‚ŁˆŁ…: ŲØŁŠŁ‚Ł†ŲŖ ŁŁŠ ŁƒŁ„ ŲµŁ„Ų§Ų©ŲŒ ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ł‚ŁˆŁ…: Ł„Ų§ Ł‚Ł†ŁˆŲŖ Ų„Ł„Ų§ ŁŁŠ Ų±Ł…Ų¶Ų§Ł†ŲŒ ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ł‚ŁˆŁ…: ŲØŁ„ ŁŁŠ Ų§Ł„Ł†ŲµŁ Ų§Ł„Ų§Ų®ŁŠŲ± Ł…Ł†Ł‡ ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ł‚ŁˆŁ…: ŲØŁ„ ŁŁŠ Ų§Ł„Ł†ŲµŁ Ų§Ł„Ų§ŁˆŁ„ Ł…Ł†Ł‡.

ā€œMereka berselisih tentang qunut, Malik berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh adalah sunah, dan Asy Syafiā€™i juga mengatakan sunah, dan Abu Hanifah berpendapat tidak boleh qunut dalam shalat subuh, sesungguhnya qunut itu adanya pada shalat witir. Ada kelompok yang berkata: berqunut pada setiap shalat. Kaum lain berkata: tidak ada qunut kecuali pada bulan Ramadhan. Kaum lain berkata: Adanya pada setelah setengah bulan Ramadhan. Ada juga yang mengatakan: bahkan pada setengah awal Ramadhan.ā€ (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz. 1, Hal. 107-108. Darul Fikr)

Juga diterangkan di dalam kitab Al Mausuā€™ah sebagai berikut:

Ų°ŁŽŁ‡ŁŽŲØŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ§Ł„ŁŁƒŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł ŁˆŁŽŲ§Ł„Ų“Ł‘ŁŽŲ§ŁŁŲ¹ŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł Ų„ŁŁ„ŁŽŁ‰ Ł…ŁŽŲ“Ł’Ų±ŁŁˆŲ¹ŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁ ŁŁŁŠ Ų§Ł„ŲµŁ‘ŁŲØŁ’Ų­Ł . Ł‚ŁŽŲ§Ł„ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ§Ł„ŁŁƒŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł : ŁˆŁŽŁ†ŁŲÆŁŲØŁŽ Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁŒ Ų³ŁŲ±Ł‘Ł‹Ų§ ŲØŁŲµŁŲØŁ’Ų­Ł ŁŁŽŁ‚ŁŽŲ·Ł’ ŲÆŁŁˆŁ†ŁŽ Ų³ŁŽŲ§Ų¦ŁŲ±Ł Ų§Ł„ŲµŁ‘ŁŽŁ„ŁŽŁˆŁŽŲ§ŲŖŁ Ł‚ŁŽŲØŁ’Ł„ Ų§Ł„Ų±Ł‘ŁŁƒŁŁˆŲ¹Ł ŲŒ Ų¹ŁŽŁ‚ŁŲØŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŲ±ŁŽŲ§Ų”ŁŽŲ©Ł ŲØŁŁ„Ų§ŁŽ ŲŖŁŽŁƒŁ’ŲØŁŁŠŲ±Ł Ł‚ŁŽŲØŁ’Ł„ŁŽŁ‡Ł .

ŁˆŁŽŁ‚ŁŽŲ§Ł„ Ų§Ł„Ų“Ł‘ŁŽŲ§ŁŁŲ¹ŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł : ŁŠŁŲ³ŁŽŁ†Ł‘Ł Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁ ŁŁŁŠ Ų§Ų¹Ł’ŲŖŁŲÆŁŽŲ§Ł„ Ų«ŁŽŲ§Ł†ŁŁŠŁŽŲ©Ł Ų§Ł„ŲµŁ‘ŁŲØŁ’Ų­Ł ŲŒ ŁŠŁŽŲ¹Ł’Ł†ŁŁŠ ŲØŁŽŲ¹Ł’ŲÆŁŽ Ł…ŁŽŲ§ Ų±ŁŽŁŁŽŲ¹ŁŽ Ų±ŁŽŲ£Ł’Ų³ŁŽŁ‡Ł Ł…ŁŁ†ŁŽ Ų§Ł„Ų±Ł‘ŁŁƒŁŁˆŲ¹Ł ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ų±Ł‘ŁŽŁƒŁ’Ų¹ŁŽŲ©Ł Ų§Ł„Ų«Ł‘ŁŽŲ§Ł†ŁŁŠŁŽŲ©Ł ŲŒ ŁˆŁŽŁ„ŁŽŁ…Ł’ ŁŠŁŁ‚ŁŽŁŠŁ‘ŁŲÆŁŁˆŁ‡Ł ŲØŁŲ§Ł„Ł†Ł‘ŁŽŲ§Ų²ŁŁ„ŁŽŲ©Ł .

ŁˆŁŽŁ‚ŁŽŲ§Ł„ Ų§Ł„Ł’Ų­ŁŽŁ†ŁŽŁŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł ŲŒ ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’Ų­ŁŽŁ†ŁŽŲ§ŲØŁŁ„ŁŽŲ©Ł : Ł„Ų§ŁŽ Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁŽ ŁŁŁŠ ŲµŁŽŁ„Ų§ŁŽŲ©Ł Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł Ų„ŁŁ„Ų§Ł‘ŁŽ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł†Ł‘ŁŽŁˆŁŽŲ§Ų²ŁŁ„ ŁˆŁŽŲ°ŁŽŁ„ŁŁƒŁŽ Ł„ŁŁ…ŁŽŲ§ Ų±ŁŽŁˆŁŽŲ§Ł‡Ł Ų§ŲØŁ’Ł†Ł Ł…ŁŽŲ³Ł’Ų¹ŁŁˆŲÆŁ ŁˆŁŽŲ£ŁŽŲØŁŁˆ Ł‡ŁŲ±ŁŽŁŠŁ’Ų±ŁŽŲ©ŁŽ – Ų±ŁŽŲ¶ŁŁŠŁŽ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡ŁŁ…ŁŽŲ§ – : Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ų§Ł„Ł†Ł‘ŁŽŲØŁŁŠŁ‘ŁŽ ŲµŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł ŁˆŁŽŲ³ŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ…ŁŽ Ł‚ŁŽŁ†ŁŽŲŖŁŽ Ų“ŁŽŁ‡Ł’Ų±Ł‹Ų§ ŁŠŁŽŲÆŁ’Ų¹ŁŁˆ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ Ų£ŁŽŲ­Ł’ŁŠŁŽŲ§Ų”Ł Ł…ŁŁ†Ł’ Ų£ŁŽŲ­Ł’ŁŠŁŽŲ§Ų”Ł Ų§Ł„Ł’Ų¹ŁŽŲ±ŁŽŲØŁ Ų«ŁŁ…Ł‘ŁŽ ŲŖŁŽŲ±ŁŽŁƒŁŽŁ‡Ł ŲŒ ŁˆŁŽŲ¹ŁŽŁ†Ł’ Ų£ŁŽŲØŁŁŠ Ł‡ŁŲ±ŁŽŁŠŁ’Ų±ŁŽŲ©ŁŽ – Ų±ŁŽŲ¶ŁŁŠŁŽ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡Ł : – Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ų±ŁŽŲ³ŁŁˆŁ„ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł ŲµŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł ŁˆŁŽŲ³ŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ…ŁŽ ŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽ Ł„Ų§ŁŽ ŁŠŁŽŁ‚Ł’Ł†ŁŲŖŁ ŁŁŁŠ ŲµŁŽŁ„Ų§ŁŽŲ©Ł Ų§Ł„ŲµŁ‘ŁŲØŁ’Ų­Ł Ų„ŁŁ„Ų§Ł‘ŁŽ Ų£ŁŽŁ†Ł’ ŁŠŁŽŲÆŁ’Ų¹ŁŁˆ Ł„ŁŁ‚ŁŽŁˆŁ’Ł…Ł Ų£ŁŽŁˆŁ’ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ Ł‚ŁŽŁˆŁ’Ł…Ł ŁˆŁŽŁ…ŁŽŲ¹Ł’Ł†ŁŽŲ§Ł‡Ł Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ł…ŁŽŲ“Ł’Ų±ŁŁˆŲ¹ŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł Ł…ŁŽŁ†Ł’Ų³ŁŁˆŲ®ŁŽŲ©ŁŒ ŁŁŁŠ ŲŗŁŽŁŠŁ’Ų±Ł Ų§Ł„Ł†Ł‘ŁŽŲ§Ų²ŁŁ„ŁŽŲ©Ł

ā€œKalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) dan Asy Syafiā€™iyah (pengikut Imam Asy Syafiā€™i) berpendapat bahwa doa qunut pada shalat subuh adalah disyariatkan. Berkata Malikiyah: Disunnahkan berqunut secara sirr (pelan) pada shalat subuh saja, bukan pada shalat lainnya. Dilakukan sebelum ruku setelah membaca surat tanpa takbir dulu.

Kalangan Asy Syafiā€™iyah mengatakan: qunut disunnahkan ketika iā€™tidal kedua shalat subuh, yakni setelah mengangkat kepala pada rakaat kedua, mereka tidak hanya mengkhususkan qunut nazilah saja.

Kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan Hanabilah (pengikut Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan: Tidak ada qunut dalam shalat subuh kecuali qunut nazilah. Hal ini karena telah diriwayatkan dari Ibnu Masā€™ud dan Abu Hurairah Radhiallahu ā€˜Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkan doa tersebut).ā€ (HR. Muslim dan An Nasaā€™i). Dari Abu Hurairah Radhiallahu ā€˜Anhu: ā€œBahwa Rasulullah Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat subuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.ā€ (HR. Ibnu Hibban). Artinya, syariat berdoa qunut pada shalat subuh telah mansukh (dihapus), selain qunut nazilah.ā€ (Al Mausuā€™ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/321-322. Wizarah Al Awqaf Asy Syuā€™un Al Islamiyah)

Sedikit saya tambahkan, bahwa hadits Ibnu Masā€™ud yang dijadikan hujjah oleh golongan Hanafiyah dan Hanabilah, bahwa Nabi Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, lalu beliau meninggalkan doa tersebut. Merupakan hadits shahih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al Masajid wa Mawadhiā€™ Ash Shalah Bab Istihbab Al Qunut fi Jamiā€™ish Shalah Idza Nazalat bil Muslimina Nazilah, No. 677.

Ada pun hadits Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat subuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum. Disebutkan oleh Imam Az Zailaā€™i, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban, dan penulis At Tanqih mengatakan, hadits ini shahih. (Al Hazifh Az Zailaā€™i, Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, 3/180. Mawqiā€™ Al Islam)

Sedangkan dalil yang menyunnahkan qunut subuh, yang digunakan oleh kalangan Asy Syafiā€™iyah dan Malikiyah adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan qunut subuh sampai faraqat dunia (meninggalkan dunia/wafat). (HR. Ahmad No. 12196. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 2/201. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 4964. Ath Thabarani, Tahdzibul Atsar, No. 2682, 2747, katanya: shahih. Ad Daruquthni No. 1711. Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini mautsuq (bisa dipercaya). Majmaā€™ Az Zawaid, 2/139)

Sementara Al Hafizh Az Zailaā€™i menyebutkan riwayat dari Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya, lafazhnya dari Rabiā€™ bin Anas: Ada seorang laki-laki datang kepada Anas bin Malik dan bertanya: ā€œApakah Rasulullah berqunut selama satu bulan saja untuk mendoakan qabilah?ā€ Anas pun memberikan peringatan padanya, dan berkata: ā€œRasulullah senantiasa berqunut subuh sampai beliau meninggalkan dunia.ā€ Ishaq berkata: hadits yang berbunyi: tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkannya) maknanya adalah beliau meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah dalam qunutnya.ā€ (Nashbur Rayyah, 3/183) Jadi, bukan meninggalkan qunutnya, tetapi meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah yang beliau doakan dalam qunut nazilah.

Imam Asy Syaukani, menyebutkan dari Al Hazimi tentang siapa saja yang berpendapat bahwa qunut subuh adalah masyruā€™ (disyariatkan), yakni kebanyakan manusia dari kalangan sahabat, tabiā€™in, orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama besar, sejumlah sahabat dari khalifah yang empat, hingga sembilan puluh orang sahabat nabi, Abu Rajaā€™ Al ā€˜Atharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafiā€™ Ash Shaigh, dua belas tabiā€™in, juga para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari, Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam bin ā€˜Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz, dan Al Auzaā€™i. Dan, kebanyakan penduduk Syam, Asy Syafiā€™i dan sahabatnya, dari Ats Tsauri ada dua riwayat, lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak manusia lainnya. Al ā€˜Iraqi menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin Mahdi, Saā€™id bin Abdul ā€˜Aziz At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih, Daud, Muhammad bin Jarir, juga sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi, Abu Zurā€™ah Ar Razi, Abu Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al Khathabi, dan Abu Masā€™ud Ad Dimasyqi. (Nailul Authar, 2/345-346) Itulah nama-nama yang menyetujui qunut subuh pada rakaat kedua.

Nah, demikian peta perselisihan mereka, dan juga sebagian kecil dalil-dalil kedua kelompok. Pastinya, sekuat apapun seorang pengkaji meneliti masalah ini, dia tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini, bahwa memang khilafiyah ini benar-benar wujud (ada). Maka, yang lebih esensi dan krusial pada saat ini adalah bagaimana mengelola perbedaan ini menjadi kekayaan yang bermanfaat, bukan warisan pemikiran yang justru membahayakan.

Selanjutnya, kita lihat bagaimana sikap para Imam Ahlus Sunnah menyikapi perselisihan qunut subuh ini.

Imam Asy Syafiā€™i Radhiallahu ā€˜Anhu

Beliau adalah salah satu dari imam empat mazhab terkenal di dunia Islam, khususnya Ahlus Sunnah, yang memiliki jutaan pengikut di berbagai belahan dunia Islam. Beliau termasuk yang menyatakan kesunnahan membaca doa qunut ketika shalat subuh. Beliau sendiri memiliki sikap yang amat bijak ketika datang ke jamaah yang tidak berqunut subuh.

Diceritakan dalam Al Mausuā€™ah sebagai berikut:

Ų§Ł„Ų“Ł‘ŁŽŲ§ŁŁŲ¹ŁŁŠŁ‘Ł Ų±ŁŽŲ¶ŁŁŠŁŽ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡Ł ŲŖŁŽŲ±ŁŽŁƒŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁŽ ŁŁŁŠ Ų§Ł„ŲµŁ‘ŁŲØŁ’Ų­Ł Ł„ŁŽŁ…Ł‘ŁŽŲ§ ŲµŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ‰ Ł…ŁŽŲ¹ŁŽ Ų¬ŁŽŁ…ŁŽŲ§Ų¹ŁŽŲ©Ł Ł…ŁŁ†ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ų­ŁŽŁ†ŁŽŁŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł ŁŁŁŠ Ł…ŁŽŲ³Ł’Ų¬ŁŲÆŁŁ‡ŁŁ…Ł’ ŲØŁŲ¶ŁŽŁˆŁŽŲ§Ų­ŁŁŠ ŲØŁŽŲŗŁ’ŲÆŁŽŲ§ŲÆŁŽ . ŁŁŽŁ‚ŁŽŲ§Ł„ Ų§Ł„Ł’Ų­ŁŽŁ†ŁŽŁŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł : ŁŁŽŲ¹ŁŽŁ„ Ų°ŁŽŁ„ŁŁƒŁŽ Ų£ŁŽŲÆŁŽŲØŁ‹Ų§ Ł…ŁŽŲ¹ŁŽ Ų§Ł„Ų„Ł’ŁŁ…ŁŽŲ§Ł…Ł ŲŒ ŁˆŁŽŁ‚ŁŽŲ§Ł„ Ų§Ł„Ų“Ł‘ŁŽŲ§ŁŁŲ¹ŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł ŲØŁŽŁ„ ŲŖŁŽŲŗŁŽŁŠŁ‘ŁŽŲ±ŁŽ Ų§Ų¬Ł’ŲŖŁŁ‡ŁŽŲ§ŲÆŁŁ‡Ł ŁŁŁŠ Ų°ŁŽŁ„ŁŁƒŁŽ Ų§Ł„Ł’ŁˆŁŽŁ‚Ł’ŲŖŁ .

ā€œAsy Syafiā€™i Radhiallahu ā€˜Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ā€œItu merupakan adab bersama imam.ā€ Berkata Asy Syafiā€™iyyah (pengikut Asy Syafiā€™i): ā€œBahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.ā€ (Al Mausuā€™ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syuā€™un Al Islamiyah)

Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ā€˜Anhu

Imam Ahmad bin Hambal termasuk yang membidā€™ahkan qunut dalam subuh, namun Beliau memiliki sikap yang menunjukkan ketajaman pandangan, keluasan ilmu, dan kedewasaan bersikap. Hal ini dikatakan oleh Al ā€˜Allamah Muhammad bin Shalih Al ā€˜Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:

ŁŁ‚ŲÆ ŁƒŲ§Ł† Ų§Ł„Ų„Ł…Ų§Ł… Ų£Ų­Ł…ŲÆŁ Ų±Ų­Ł…Ł‡ Ų§Ł„Ł„Ł‡ ŁŠŲ±Ł‰ Ų£Ł†Ł‘ŁŽ Ų§Ł„Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁŽ ŁŁŠ ŲµŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„ŁŲ¬Ų± ŲØŁŲÆŁ’Ų¹Ų©ŲŒ ŁˆŁŠŁ‚ŁˆŁ„: Ų„Ų°Ų§ ŁƒŁ†ŲŖ Ų®ŁŽŁ„Ł’ŁŁŽ Ų„Ł…Ų§Ł… ŁŠŁ‚Ł†ŲŖ ŁŲŖŲ§ŲØŲ¹Ł‡ Ų¹Ł„Ł‰ Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁŁ‡ŁŲŒ ŁˆŲ£Ł…Ł‘ŁŁ†Ł’ Ų¹Ł„Ł‰ ŲÆŁŲ¹Ų§Ų¦Ł‡ŲŒ ŁƒŁŁ„Ł‘Ł Ų°Ł„Łƒ Ł…ŁŁ† Ų£Ų¬Ł„ Ų§ŲŖŁ‘ŁŲ­Ų§ŲÆ Ų§Ł„ŁƒŁ„Ł…Ų©ŲŒ ŁˆŲ§ŲŖŁ‘ŁŁŲ§Ł‚ Ų§Ł„Ł‚Ł„ŁˆŲØŲŒ ŁˆŲ¹ŲÆŁ… ŁƒŲ±Ų§Ł‡Ų© ŲØŲ¹Ų¶Ł†Ų§ Ł„ŲØŲ¹Ų¶.

ā€œAdalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bidā€™ah. Dia mengatakan: ā€œJika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.ā€ (Syaikh Ibnu ā€˜Utsaimin, Syarhul Mumtiā€™, 4/25. Mawqiā€™ Ruh Al Islam)

Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ā€˜Anhu

Beliau mengatakan, sebagaimana dikutip Imam At Tirmidzi sebagai berikut:

Ł‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ Ų³ŁŁŁ’ŁŠŁŽŲ§Ł†Ł Ų§Ł„Ų«Ł‘ŁŽŁˆŁ’Ų±ŁŁŠŁ‘Ł Ų„ŁŁ†Ł’ Ł‚ŁŽŁ†ŁŽŲŖŁŽ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł ŁŁŽŲ­ŁŽŲ³ŁŽŁ†ŁŒ ŁˆŁŽŲ„ŁŁ†Ł’ Ł„ŁŽŁ…Ł’ ŁŠŁŽŁ‚Ł’Ł†ŁŲŖŁ’ ŁŁŽŲ­ŁŽŲ³ŁŽŁ†ŁŒ

ā€œBerkata Sufyan Ats Tsauri: ā€œJika berqunut pada shalat subuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.ā€ (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah

Beliau berpendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy Syaukani:

ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ų§Ł„Ų«ŁˆŲ±ŁŠ ŁˆŲ§ŲØŁ† Ų­Ų²Ł… : ŁƒŁ„ Ł…Ł† Ų§Ł„ŁŲ¹Ł„ ŁˆŲ§Ł„ŲŖŲ±Łƒ Ų­Ų³Ł†

ā€œBerkata Ats Tsauri dan Ibnu Hazm: ā€œSiapa saja yang melakukannya dan meninggalkannya, adalah baik.ā€ (Nailul Authar, 2/346)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau memiliki pandangan yang jernih dalam hal qunut subuh ini. Walau beliau sendiri lebih mendukung pendapat yang tidak berqunut. Berikut ini ucapannya:

ŁˆŁŽŁƒŁŽŲ°ŁŽŁ„ŁŁƒŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł Ų„Ł†Ł‘ŁŽŁ…ŁŽŲ§ Ų§Ł„Ł†Ł‘ŁŲ²ŁŽŲ§Ų¹Ł ŲØŁŽŁŠŁ’Ł†ŁŽŁ‡ŁŁ…Ł’ ŁŁŁŠ Ų§Ų³Ł’ŲŖŁŲ­Ł’ŲØŁŽŲ§ŲØŁŁ‡Ł Ų£ŁŽŁˆŁ’ ŁƒŁŽŲ±ŁŽŲ§Ł‡ŁŁŠŁŽŲŖŁŁ‡Ł ŁˆŁŽŲ³ŁŲ¬ŁŁˆŲÆŁ Ų§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŁ‡Ł’ŁˆŁ Ł„ŁŲŖŁŽŲ±Ł’ŁƒŁŁ‡Ł Ų£ŁŽŁˆŁ’ ŁŁŲ¹Ł’Ł„ŁŁ‡Ł ŁˆŁŽŲ„ŁŁ„Ł‘ŁŽŲ§ ŁŁŽŲ¹ŁŽŲ§Ł…Ł‘ŁŽŲŖŁŁ‡ŁŁ…Ł’ Ł…ŁŲŖŁ‘ŁŽŁŁŁ‚ŁŁˆŁ†ŁŽ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ ŲµŁŲ­Ł‘ŁŽŲ©Ł ŲµŁŽŁ„ŁŽŲ§Ų©Ł Ł…ŁŽŁ†Ł’ ŲŖŁŽŲ±ŁŽŁƒŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁŽ ŁˆŁŽŲ£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ł„ŁŽŁŠŁ’Ų³ŁŽ ŲØŁŁˆŁŽŲ§Ų¬ŁŲØŁ ŁˆŁŽŁƒŁŽŲ°ŁŽŁ„ŁŁƒŁŽ Ł…ŁŽŁ†Ł’ ŁŁŽŲ¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‡Ł

ā€œDemikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruhnya (dibenci). Begitu pula perselisihan seputar sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak qunut, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya ā€“pen).ā€ (Imam Ibnu Taimiyah, Majmuā€™ Fatawa, 5/185. Mauqiā€™ Al Islam)

Beliau juga mengatakan bahwa para ulama sepakat berqunut atau tidak, shalat subuh adalah shahih. Perbedaan terjadi pada mana yang lebih utama. Katanya:

Ų§ŲŖŁ‘ŁŽŁŁŽŁ‚ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ų¹ŁŁ„ŁŽŁ…ŁŽŲ§Ų”Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų„Ų°ŁŽŲ§ ŁŁŽŲ¹ŁŽŁ„ŁŽ ŁƒŁŁ„Ł‘Ł‹Ų§ Ł…ŁŁ†Ł’ Ų§Ł„Ł’Ų£ŁŽŁ…Ł’Ų±ŁŽŁŠŁ’Ł†Ł ŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽŲŖŁ’ Ų¹ŁŲØŁŽŲ§ŲÆŁŽŲŖŁŁ‡Ł ŲµŁŽŲ­ŁŁŠŲ­ŁŽŲ©Ł‹ŲŒ ŁˆŁŽŁ„ŁŽŲ§ Ų„Ų«Ł’Ł…ŁŽ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł: Ł„ŁŽŁƒŁŁ†Ł’ ŁŠŁŽŲŖŁŽŁ†ŁŽŲ§Ų²ŁŽŲ¹ŁŁˆŁ†ŁŽ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’Ų£ŁŽŁŁ’Ų¶ŁŽŁ„Ł.

ŁˆŁŽŁŁŁŠŁ…ŁŽŲ§ ŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽ Ų§Ł„Ł†Ł‘ŁŽŲØŁŁŠŁ‘Ł ŲµŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł ŁˆŁŽŲ³ŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ…ŁŽ ŁŠŁŽŁŁ’Ų¹ŁŽŁ„ŁŁ‡ŁŲŒ ŁˆŁŽŁ…ŁŽŲ³Ł’Ų£ŁŽŁ„ŁŽŲ©Ł Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’ŁˆŁŲŖŁ’Ų±ŁŲŒ Ł…ŁŁ†Ł’ Ų¬ŁŽŁ‡Ł’Ų±Ł ŲØŁŲ§Ł„Ł’ŲØŁŽŲ³Ł’Ł…ŁŽŁ„ŁŽŲ©ŁŲŒ ŁˆŁŽŲµŁŁŁŽŲ©Ł Ų§Ł„ŁŲ§Ų³Ł’ŲŖŁŲ¹ŁŽŲ§Ų°ŁŽŲ©Ł ŁˆŁŽŁ†ŁŽŲ­Ł’ŁˆŁŁ‡ŁŽŲ§ŲŒ Ł…ŁŁ†Ł’ Ł‡ŁŽŲ°ŁŽŲ§ Ų§Ł„Ł’ŲØŁŽŲ§ŲØŁ.

ŁŁŽŲ„ŁŁ†Ł‘ŁŽŁ‡ŁŁ…Ł’ Ł…ŁŲŖŁ‘ŁŽŁŁŁ‚ŁŁˆŁ†ŁŽ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ł…ŁŽŁ†Ł’ Ų¬ŁŽŁ‡ŁŽŲ±ŁŽ ŲØŁŲ§Ł„Ł’ŲØŁŽŲ³Ł’Ł…ŁŽŁ„ŁŽŲ©Ł ŲµŁŽŲ­Ł‘ŁŽŲŖŁ’ ŲµŁŽŁ„ŁŽŲ§ŲŖŁŁ‡ŁŲŒ ŁˆŁŽŁ…ŁŽŁ†Ł’ Ų®ŁŽŲ§ŁŁŽŲŖŁ’ ŲµŁŽŲ­Ł‘ŁŽŲŖŁ’ ŲµŁŽŁ„ŁŽŲ§ŲŖŁŁ‡Ł ŁˆŁŽŲ¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ł…ŁŽŁ†Ł’ Ł‚ŁŽŁ†ŁŽŲŖŁŽ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł ŲµŁŽŲ­Ł‘ŁŽŲŖŁ’ ŲµŁŽŁ„ŁŽŲ§ŲŖŁŁ‡ŁŲŒ ŁˆŁŽŁ…ŁŽŁ†Ł’ Ł„ŁŽŁ…Ł’ ŁŠŁŽŁ‚Ł’Ł†ŁŲŖŁ’ ŁŁŁŠŁ‡ŁŽŲ§ ŲµŁŽŲ­Ł‘ŁŽŲŖŁ’ ŲµŁŽŁ„ŁŽŲ§ŲŖŁŁ‡ŁŲŒ ŁˆŁŽŁƒŁŽŲ°ŁŽŁ„ŁŁƒŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’ŁˆŁŲŖŁ’Ų±Ł.

Ulama sepakat bahwa melakukan salah satu di antara dua hal maka ibadahnya tetap shahih (sah), dan tidak berdosa atasnya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang mana yang utama. Pada apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam, masalah qunut pada subuh dan witir, mengeraskan basmalah, bentuk istiā€™adzah, dan hal semisalnya yang termasuk pembahasan ini.

Mereka sepakat bahwa orang yang mengeraskan basmalah adalah sah shalatnya, dan yang menyembunyikan juga sah shalatnya, yang berqunut subuh sah shalatnya, begitu juga yang berqunut pada witir. (Al Fatawa Al Kubra, 2/116, Cet. 1, 1987M-1408H. Darul Kutub Al ā€™Ilmiyah)

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Beliau termasuk yang melemahkan pendapat qunut subuh sebagaimana beliau uraikan dalam Zaadul Maā€™ad, dan baginya adalah hal mustahil Rasulullah Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam merutinkannya pada shalat subuh. Tetapi, tak satu pun kalimat darinya yang menyebut bahwa qunut subuh adalah bidā€™ah, walau dia mengutip beberapa riwayat sahabat yang membidā€™ahkannya.

Bahkan Beliau sendiri mengakui bahwa Rasulullah Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam, kadang melakukan qunut dalam shalat subuh. Berikut ini ucapannya:

ŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽ ŲŖŁŽŲ·Ł’ŁˆŁŁŠŁ„ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŲ±ŁŽŲ§Ų”ŁŽŲ©Ł ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł ŁˆŁŽŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽ ŁŠŁŲ®ŁŽŁŁ‘ŁŁŁ‡ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŲ­Ł’ŁŠŁŽŲ§Ł†Ł‹Ų§ ŁˆŁŽŲŖŁŽŲ®Ł’ŁŁŁŠŁŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŲ±ŁŽŲ§Ų”ŁŽŲ©Ł ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲŗŁ’Ų±ŁŲØŁ ŁˆŁŽŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽ ŁŠŁŲ·ŁŁŠŁ„ŁŁ‡ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŲ­Ł’ŁŠŁŽŲ§Ł†Ł‹Ų§ ŁˆŁŽŲŖŁŽŲ±Ł’ŁƒŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŁˆŲŖŁ ŁŁŁŠ Ų§Ł„Ł’ŁŁŽŲ¬Ł’Ų±Ł ŁˆŁŽŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽ ŁŠŁŽŁ‚Ł’Ł†ŁŲŖŁ ŁŁŁŠŁ‡ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŲ­Ł’ŁŠŁŽŲ§Ł†Ł‹Ų§ ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’Ų„ŁŲ³Ł’Ų±ŁŽŲ§Ų±ŁŽ ŁŁŁŠ Ų§Ł„ŲøŁ‘Ł‡Ł’Ų±Ł ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’Ų¹ŁŽŲµŁ’Ų±Ł ŲØŁŲ§Ł„Ł’Ł‚ŁŲ±ŁŽŲ§Ų”ŁŽŲ©Ł ŁŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽ ŁŠŁŲ³Ł’Ł…ŁŲ¹Ł Ų§Ł„ŲµŁ‘Ų­ŁŽŲ§ŲØŁŽŲ©ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ų¢ŁŠŁŽŲ©ŁŽ ŁŁŁŠŁ‡ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŲ­Ł’ŁŠŁŽŲ§Ł†Ł‹Ų§ ŁˆŁŽŲŖŁŽŲ±Ł’ŁƒŁŽ Ų§Ł„Ł’Ų¬ŁŽŁ‡Ł’Ų±Ł ŲØŁŲ§Ł„Ł’ŲØŁŽŲ³Ł’Ł…ŁŽŁ„ŁŽŲ©Ł ŁˆŁŽŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽ ŁŠŁŽŲ¬Ł’Ł‡ŁŽŲ±Ł ŲØŁŁ‡ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŲ­Ł’ŁŠŁŽŲ§Ł†Ł‹Ų§ .

ā€œDahulu Nabi memanjangkan bacaan pada shalat subuh dan kadang meringankannya, meringankan bacaan dalam shalat Maghrib dan kadang memanjangkannya, beliau meninggalkan qunut dalam subuh dan kadang dia berqunut, beliau tidak mengeraskan bacaan dalam shalat Ashar dan kadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada para sahabat, beliau tidak mengeraskan bacaan basmalah dan kadang beliau mengeraskan.ā€ (Zaadul Maā€™ad, 1/247. Muasasah Ar Risalah)

Beliau tidaklah mengingkari qunut secara mutlak, yang beliau ingkari adalah anggapan bahwa qunut subuh dilakukan terus menerus. Berikut ini ucapannya:

ŁˆŁ‚Ł†ŲŖ ŁŁŠ Ų§Ł„ŁŲ¬Ų± ŲØŲ¹ŲÆ Ų§Ł„Ų±ŁƒŁˆŲ¹ Ų“Ł‡Ų±Ų§Ł‹ŲŒ Ų«Ł… ŲŖŲ±Łƒ Ų§Ł„Ł‚Ł†ŁˆŲŖ ŁˆŁ„Ł… ŁŠŁƒŁ† Ł…ŁŁ† Ł‡ŲÆŁŠŁ‡ Ų§Ł„Ł‚Ł†ŁˆŲŖŁ ŁŁŠŁ‡Ų§ ŲÆŲ§Ų¦Ł…Ų§Ł‹ŲŒ ŁˆŁ…ŁŁ†Ł’ Ų§Ł„Ł…Ų­Ų§Ł„ Ų£Ł† Ų±Ų³ŁˆŁ„ŁŽ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… ŁƒŲ§Ł† ŁŁŠ ŁƒŁ„ ŲŗŲÆŲ§Ų© ŲØŲ¹ŲÆ Ų§Ų¹ŲŖŲÆŲ§Ł„Ł‡ Ł…Ł† Ų§Ł„Ų±ŁƒŁˆŲ¹ ŁŠŁ‚ŁˆŁ„: “Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡ŁŁ…ŁŽ Ų§Ł‡Ł’ŲÆŁŁ†ŁŠ ŁŁŁŠŁ…ŁŽŁ†Ł’ Ł‡ŁŽŲÆŁŽŁŠŁ’ŲŖŁŽŲŒ ŁˆŁŽŲŖŁŽŁˆŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ†ŁŁŠ ŁŁŁŠŁ…ŁŽŁ†Ł’ ŁˆŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁŠŁ’ŲŖŁŽ…” Ų§Ł„Ų® ŁˆŁŠŲ±ŁŲ¹Ł ŲØŲ°Ł„Łƒ ŲµŁˆŲŖŁ‡ŲŒ ŁˆŁŠŲ¤Ł…Ł‘ŁŁ† Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ Ų£ŲµŲ­Ų§ŲØŁŁ‡ ŲÆŲ§Ų¦Ł…Ų§Ł‹ Ų„Ł„Ł‰ Ų£Ł† ŁŲ§Ų±Ł‚ Ų§Ł„ŲÆŁ†ŁŠŲ§

ā€œ(Beliau) Qunut dalam subuh setelah ruku selama satu bulan, kemudian meninggalkan qunut. Dan, bukanlah petunjuk beliau melanggengkan qunut pada shalat subuh, dan termasuk hal mustahil bahwa Rasulullah Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam setiap paginya setelah iā€™tidal dari ruku mengucapkan: ā€œAllahumahdini fiman hadait wa tawallani fiman tawallait … dstā€ dengan meninggikan suaranya, dan selalu diaminkan oleh para sahabatnya sampai meninggalkan dunia. (Ibid, 1/271)

Lalu beliau mengutip pertanyaan Saā€™ad bin Thariq Al Asyjaā€™i kepada ayahnya, di mana ayahnya pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, apakah mereka pernah qunut subuh? Ayahnya menjawab: Anakku, itu adalah muhdats (perkara yang diada-adakan). (HR. Ahmad, At Tirmidzi, dan lainnya, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih)

Beliau juga mengutip dari Said bin Jubair, dia berkata aku bersaksi bahwa aku mendengar, dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ā€˜Anhu, dia berkata, ā€œQunut yang ada pada shalat subuh adalah bidā€™ah.ā€ (HR. Ad Daruquthni No. 1723)

Tetapi riwayat ini dhaif (lemah). (Nashbur Rayyah, 3/183). Imam Al Baihaqi mengatakan: tidak shahih. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/345. Maktabah Ad Daā€™wah Al Islamiyah) Karena di dalam sanadnya ada periwayat bernama Abdullah bin Muyassarah dia adalah seorang yang dhaiful hadits (hadits darinya dhaif). (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 6/ 44. Lihat juga Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 16/197)

Imam Ibnul Qayyim juga memaparkan adanya kelompok yang menolak qunut secara mutlak termasuk qunut nazilah, yakni para penduduk Kufah. Beliau pun tidak menyetujui pendapat ini, hingga akhirnya Beliau menempuh jalan pertengahan, yakni jalannya para ahli hadits. Katanya:

ŁŲ£Ł‡Ł„Ł Ų§Ł„Ų­ŲÆŁŠŲ« Ł…ŲŖŁˆŲ³Ų·ŁˆŁ† ŲØŁŠŁ† Ł‡Ų¤Ł„Ų§Ų” ŁˆŲØŁŠŁ† Ł…Ł† Ų§Ų³ŲŖŲ­ŲØŁ‡ Ų¹Ł†ŲÆ Ų§Ł„Ł†ŁˆŲ§Ų²Ł„ ŁˆŲŗŁŠŲ±Ł‡Ų§ŲŒ ŁˆŁ‡Ł… Ų£Ų³Ų¹ŲÆŁ ŲØŲ§Ł„Ų­ŲÆŁŠŲ« Ł…Ł† Ų§Ł„Ų·Ų§Ų¦ŁŲŖŁŠŁ†ŲŒ ŁŲ„Ł†Ł‡Ł… ŁŠŁ‚Ł†ŁŲŖŁˆŁ† Ų­ŁŠŲ«Ł Ł‚Ł†ŲŖ Ų±Ų³ŁˆŁ„Ł Ų§Ł„Ł„Ł‘Ł‡ ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł…ŲŒ ŁˆŁŠŲŖŲ±ŁƒŁŁˆŁ†Ł‡ Ų­ŁŠŲ« ŲŖŲ±ŁƒŁ‡ŲŒ ŁŁŠŁ‚ŲŖŲÆŁˆŁ† ŲØŁ‡ ŁŁŠ ŁŲ¹Ł„Ł‡ ŁˆŲŖŲ±ŁƒŁ‡ŲŒŁˆŁŠŁ‚ŁˆŁ„ŁˆŁ†: ŁŁŲ¹Ł„Ł‡ Ų³Ł†Ų©ŲŒ ŁˆŲŖŲ±ŁƒŁŁ‡ Ł„Ų³Ł†Ų©ŲŒ ŁˆŁ…Ų¹ Ł‡Ų°Ų§ ŁŁ„Ų§ ŁŠŁŁ†ŁƒŲ±ŁˆŁ† Ų¹Ł„Ł‰ Ł…Ł† ŲÆŲ§ŁˆŁ… Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ŲŒ ŁˆŁ„Ų§ ŁŠŁƒŲ±Ł‡ŁˆŁ† ŁŲ¹Ł„Ł‡ŲŒ ŁˆŁ„Ų§ ŁŠŲ±ŁˆŁ†Ł‡ ŲØŲÆŲ¹Ų©ŲŒ ŁˆŁ„Ų§ ŁŲ§Ų¹ŁŁ„ŁŽŁ‡ Ł…Ų®Ų§Ł„ŁŲ§Ł‹ Ł„Ł„Ų³Ł†Ų©ŲŒ ŁƒŁ…Ų§ Ł„Ų§ ŁŠŁŁ†ŁƒŁŲ±ŁˆŁ† Ų¹Ł„Ł‰ Ł…Ł† Ų£Ł†ŁƒŲ±Ł‡ Ų¹Ł†ŲÆ Ų§Ł„Ł†ŁˆŲ§Ų²Ł„ŲŒ ŁˆŁ„Ų§ ŁŠŲ±ŁˆŁ† ŲŖŲ±ŁƒŁ‡ ŲØŲÆŲ¹Ų©ŲŒ ŁˆŁ„Ų§ ŲŖŲ§Ų±ŁŁƒŁ‡ Ł…Ų®Ų§Ł„ŁŲ§Ł‹ Ł„Ł„Ų³Ł†Ų©ŲŒ ŲØŁ„ Ł…Ł† Ł‚Ł†ŲŖŲŒ ŁŁ‚ŲÆ Ų£Ų­Ų³Ł†ŲŒ ŁˆŁ…Ł† ŲŖŲ±ŁƒŁ‡ ŁŁ‚ŲÆ Ų£Ų­Ų³Ł†

ā€œMaka, ahli hadits adalah golongan pertengahan di antara mereka (penduduk Kufah yang membidā€™ahkan) dan golongan yang menyunnahkan qunut baik nazilah atau selainnya, mereka telah dilapangkan oleh hadits dibandingkan dua kelompok ini. Sesungguhnya mereka berqunut karena Rasulullah Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam melakukannya, mereka juga meninggalkannya ketika Rasulullah meninggalkannya, mereka mengikutinya baik dalam melakukan atau meninggalkannya. Mereka (para ahli hadits) mengatakan: melakukannya adalah sunah, meninggalkannya juga sunah, bersamaan dengan itu mereka tidak mengingkari orang-orang yang merutinkannya, dan tidak memakruhkan perbuatannya, tidak memandangnya sebagai bidā€™ah, dan tidaklah pelakunya dianggap telah berselisih dengan sunnah, sebagaimana mereka juga tidak mengingkari orang-orang yang menolak qunut ketika musibah, mereka juga tidak menganggap meninggalkannya adalah bidā€™ah, dan tidak pula orang yang meninggalkannya telah berselisih dengan sunnah, bahkan barang siapa yang berqunut dia telah berbuat baik, dan siapa yang meninggalkannya juga baik.ā€ (Ibid, 1/274-275)

Syaikh ā€˜Athiyah Shaqr menilai pendapat pertengahan Imam Ibnul Qayyim ini adalah pendapat yang terbaik dalam masalah qunut. (Fatawa Al Azhar, 5/9)

Para Ulama Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia

Mereka saat itu diketuai oleh Syaikh Al ā€˜Allamah Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Sebenarnya secara resmi Lajnah Daimah membidā€™ahkan perilaku merutinkan qunut pada subuh, sebagaimana fatwa No. 2222. Namun, pada fatwa lainnya ā€“ yang ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Abdullah bin Maniā€™, Syaikh Abdullah bin Ghudyan, dan Syaikh Abdurrazzaq ā€˜Afifi- mereka pun memberikan pandangan bijak, sebagai berikut:

ŁˆŲØŲ§Ł„Ų¬Ł…Ł„Ų© ŁŲŖŲ®ŲµŁŠŲµ ŲµŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„ŲµŲØŲ­ ŲØŲ§Ł„Ł‚Ł†ŁˆŲŖ Ł…Ł† Ų§Ł„Ł…Ų³Ų§Ų¦Ł„ Ų§Ł„Ų®Ł„Ų§ŁŁŠŲ© Ų§Ł„Ų§Ų¬ŲŖŁ‡Ų§ŲÆŁŠŲ©ŲŒ ŁŁ…Ł† ŲµŁ„Ł‰ ŁˆŲ±Ų§Ų” Ų„Ł…Ų§Ł… ŁŠŁ‚Ł†ŲŖ ŁŁŠ Ų§Ł„ŲµŲØŲ­ Ų®Ų§ŲµŲ© Ł‚ŲØŁ„Ų§Ł„Ų±ŁƒŁˆŲ¹ Ų£Łˆ ŲØŲ¹ŲÆŁ‡ ŁŲ¹Ł„ŁŠŁ‡ Ų£Ł† ŁŠŲŖŲ§ŲØŲ¹Ł‡ŲŒ ŁˆŲ„Ł† ŁƒŲ§Ł† Ų§Ł„Ų±Ų§Ų¬Ų­ Ų§Ł„Ų§Ł‚ŲŖŲµŲ§Ų± ŁŁŠ Ų§Ł„Ł‚Ł†ŁˆŲŖ ŲØŲ§Ł„ŁŲ±Ų§Ų¦Ų¶ Ų¹Ł„Ł‰ Ų§Ł„Ł†ŁˆŲ§Ų²Ł„ ŁŁ‚Ų·.

ā€œMaka, secara global mengkhususkan doa qunut pada shalat subuh merupakan masalah khilafiyah ijtihadiyah. Barang siapa yang shalat di belakang imam yang berqunut subuh, baik sebelum atau sesudah ruku, maka hendaknya dia mengikutinya. Walau pun pendapat yang paling kuat adalah membatasi qunut hanya ada pada nazilah saja.ā€ (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah wal Iftaā€™, No. 902)

Syaikh Ibnu Al ā€˜Utsaimin Rahimahullah

Beliau ditanya:

Ų¹Ł†ŲÆŁ†Ų§ Ų„Ł…Ų§Ł… ŁŠŁ‚Ł†ŲŖ ŁŁŠ ŲµŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„ŁŲ¬Ų± ŲØŲµŁŲ© ŲÆŲ§Ų¦Ł…Ų© ŁŁ‡Ł„ Ł†ŲŖŲ§ŲØŲ¹Ł‡ ŲŸ ŁˆŁ‡Ł„ Ł†Ų¤Ł…Ł† Ų¹Ł„Ł‰ ŲÆŲ¹Ų§Ų¦Ł‡ ŲŸ

Kami memiliki imam yang berqunut pada shalat subuh yang melakukannya secara terus menerus, apakah kami mesti mengikutinya? Dan apakah kami mesti mengaminkan doanya?

Beliau menjawab:

Ł…Ł† ŲµŁ„Ł‰ Ų®Ł„Ł Ų„Ł…Ų§Ł… ŁŠŁ‚Ł†ŲŖ ŁŁŠ ŲµŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„ŁŲ¬Ų± ŁŁ„ŁŠŲŖŲ§ŲØŲ¹ Ų§Ł„Ų„Ł…Ų§Ł… ŁŁŠ Ų§Ł„Ł‚Ł†ŁˆŲŖ ŁŁŠ ŲµŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„ŁŲ¬Ų± ŲŒ ŁˆŁŠŲ¤Ł…Ł† Ų¹Ł„Ł‰ ŲÆŲ¹Ų§Ų¦Ł‡ ŲØŲ§Ł„Ų®ŁŠŲ± ŲŒ ŁˆŁ‚ŲÆ Ł†Ųµ Ų¹Ł„Ł‰ Ų°Ł„Łƒ Ų§Ł„Ų„Ł…Ų§Ł… Ų£Ų­Ł…ŲÆ Ų±Ų­Ł…Ł‡ Ų§Ł„Ł„Ł‡ ŲŖŲ¹Ų§Ł„Ł‰

Barangsiapa yang shalat di belakang imam yang berqunut pada shalat subuh, maka hendaknya dia mengikuti imam berqunut pada shalat subuh, dan mengaminkan doanya dengan baik. Telah ada riwayat seperti itu dari Imam Ahmad Rahimahullah. (Syaikh Ibnu Al ā€˜Utsaimin, Majmuā€™ Fafatwa, 14/177)

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al Jibrin Rahimahullah

Beliau berpendapat jika qunut dilakukan tanpa sebab maka itu makruh, namun dia tetap menasihati agar jika ada yang melakukan karena mengikuti pendapat mazhab Syafiā€™i maka itu jangan ingkari.

Katanya:

ŁˆŲØŁƒŁ„ Ų­Ų§Ł„ ŁŁ…Ł† Ł‚Ł†ŲŖ ŲŖŲØŲ¹Ų§Ł‹ Ł„Ł„Ų“Ų§ŁŲ¹ŁŠŲ© ŁŁ„Ų§ ŁŠŁŁ†ŁƒŲ± Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŲŒ ŁˆŁ„ŁƒŁ† Ų§Ł„ŲµŲ­ŁŠŲ­ Ų£Ł†Ł‡ Ł„Ų§ ŁŠŲ“Ų±Ų¹ . ŁˆŁ„Ł… ŁŠŲ«ŲØŲŖ Ų¹Ł†Ł‡ ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… ŲŒ Ų§Ł„Ų§Ų³ŲŖŁ…Ų±Ų§Ų± Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ . ŁŲ§Ł„Ų£ŲøŁ‡Ų± Ų£Ł†Ł‡ Ł…ŁƒŲ±ŁˆŁ‡ ŲØŁ„Ų§Ų³ŲØŲØ ŁˆŲ§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„Ł… .

Bagaimana pun juga, bagi siapa saja yang berqunut karena mengikuti syafiā€™iyah maka jangan diingkari, tetapi yang benar adalah itu tidak disyariatkan. Tidak ada yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ā€˜Alaihi wa Sallam bahwa beliau merutinkannya. Maka, yang nampak adalah hal itu makruh dilakukan tanpa sebab. Wallahu Aā€™lam. (Fatawa Islamiyah, 1/454. Dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)

Demikian. Pemaparan ini bukanlah dalam rangka mengaburkan permasalahan, tetapi dalam rangka ā€“ sebagaimana kata Imam Ahmad- menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghapuskan kebencian sesama kaum muslimin. Sebab, para imam yang berselisih pendapat pun memiliki sikap yang tidak melampaui batas-batas akhlak dan adab Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqih. Sudah selayaknya kita mengambil banyak pelajaran dari para Aā€™immatil Aā€™lam (imam-imam dunia) ini.

Nasihat Emas Imam Kaum Muslimin

Pandangan Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ā€˜Anhu

Imam Abu Nuā€™aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

Ų³ŁŁŠŲ§Ł† Ų§Ł„Ų«ŁˆŲ±ŁŠŲŒ ŁŠŁ‚ŁˆŁ„: Ų„Ų°Ų§ Ų±Ų£ŁŠŲŖ Ų§Ł„Ų±Ų¬Ł„ ŁŠŲ¹Ł…Ł„ Ų§Ł„Ų¹Ł…Ł„ Ų§Ł„Ų°ŁŠ Ł‚ŲÆ Ų§Ų®ŲŖŁ„Ł ŁŁŠŁ‡ ŁˆŲ£Ł†ŲŖ ŲŖŲ±Ł‰ ŲŗŁŠŲ±Ł‡ ŁŁ„Ų§ ŲŖŁ†Ł‡Ł‡.

ā€œJika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.ā€ (Imam Abu Nuā€™aim al Asbahany, Hilyatul Auliyaā€™, 3/133)

Pandangan Imam Malik Radhiallahu ā€˜Anhu

Imam Malik ketika berkata kepada Abu Jaā€™far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwathaā€™ (himpunan hadits karya Imam Malik): ā€œIngatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.ā€ (Majmuā€™ah Ar Rasail, Muā€™tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ā€˜Anhu

Dalam kitab Al Adab Asy Syarā€™iyyah:

ŁˆŁ‚ŲÆ Ł‚Ų§Ł„ Ų£Ų­Ł…ŲÆ ŁŁŠ Ų±ŁˆŲ§ŁŠŲ© Ų§Ł„Ł…Ų±ŁˆŲ°ŁŠ Ł„Ų§ ŁŠŁ†ŲØŲŗŁŠ Ł„Ł„ŁŁ‚ŁŠŁ‡ Ų£Ł† ŁŠŲ­Ł…Ł„ Ų§Ł„Ł†Ų§Ų³ Ų¹Ł„Ł‰ Ł…Ų°Ł‡ŲØŁ‡ .ŁˆŁ„Ų§ ŁŠŲ“ŲÆŲÆ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡Ł… ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ł…Ł‡Ł†Ų§ Ų³Ł…Ų¹ŲŖ Ų£Ų­Ł…ŲÆ ŁŠŁ‚ŁˆŁ„ Ł…Ł† Ų£Ų±Ų§ŲÆ Ų£Ł† ŁŠŲ“Ų±ŲØ Ł‡Ų°Ų§ Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠŲ° ŁŠŲŖŲØŲ¹ ŁŁŠŁ‡ Ų“Ų±ŲØ Ł…Ł† Ų“Ų±ŲØŁ‡ ŁŁ„ŁŠŲ“Ų±ŲØŁ‡ ŁˆŲ­ŲÆŁ‡ .

ā€œImam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi (Al Marwadzi), tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti mazhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ā€˜Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.ā€ (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syarā€™iyyah, Juz 1, hal. 212. Syamilah)

Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.

Nasihat Imam Yahya bin Maā€™in Rahimahullah

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata tentang Yahya bin Maā€™in:

Ł‚Ų§Ł„ Ų§ŲØŁ† Ų§Ł„Ų¬Ł†ŁŠŲÆ: ŁˆŲ³Ł…Ų¹ŲŖ ŁŠŲ­ŁŠŁ‰ŲŒ ŁŠŁ‚ŁˆŁ„: ŲŖŲ­Ų±ŁŠŁ… Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠŲ° ŲµŲ­ŁŠŲ­ŲŒ ŁˆŁ„ŁƒŁ† Ų£Ł‚ŁŲŒ ŁˆŁ„Ų§ Ų£Ų­Ų±Ł…Ł‡ŲŒ Ł‚ŲÆ Ų“Ų±ŲØŁ‡ Ł‚ŁˆŁ… ŲµŲ§Ł„Ų­ŁˆŁ† ŲØŲ£Ų­Ų§ŲÆŁŠŲ« ŲµŲ­Ų§Ų­ŲŒ ŁˆŲ­Ų±Ł…Ł‡ Ł‚ŁˆŁ… ŲµŲ§Ł„Ų­ŁˆŁ† ŲØŲ£Ų­Ų§ŲÆŁŠŲ« ŲµŲ­Ų§Ų­.

Berkata Ibnu Al Junaid: ā€œAku mendengar Yahya bin Maā€™in berkata: ā€œPengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no comment, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.ā€ (Imam Adz Dzahabi, Siyar Aā€™lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Muā€™asasah ar Risalah, Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H)

Nasihat Imam An Nawawi Rahimahullah

Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:

ŁˆŁŽŁ…ŁŁ…Ł‘ŁŽŲ§ ŁŠŁŽŲŖŁŽŲ¹ŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ‚ ŲØŁŲ§Ł„ŁŲ§Ų¬Ł’ŲŖŁŁ‡ŁŽŲ§ŲÆŁ Ł„ŁŽŁ…Ł’ ŁŠŁŽŁƒŁŁ†Ł’ Ł„ŁŁ„Ł’Ų¹ŁŽŁˆŁŽŲ§Ł…Ł‘Ł Ł…ŁŽŲÆŁ’Ų®ŁŽŁ„ ŁŁŁŠŁ‡Ł ŲŒ ŁˆŁŽŁ„ŁŽŲ§ Ł„ŁŽŁ‡ŁŁ…Ł’ Ų„ŁŁ†Ł’ŁƒŁŽŲ§Ų±Ł‡ ŲŒ ŲØŁŽŁ„Ł’ Ų°ŁŽŁ„ŁŁƒŁŽ Ł„ŁŁ„Ł’Ų¹ŁŁ„ŁŽŁ…ŁŽŲ§Ų”Ł . Ų«ŁŁ…Ł‘ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ų¹ŁŁ„ŁŽŁ…ŁŽŲ§Ų” Ų„ŁŁ†Ł‘ŁŽŁ…ŁŽŲ§ ŁŠŁŁ†Ł’ŁƒŁŲ±ŁŁˆŁ†ŁŽ Ł…ŁŽŲ§ Ų£ŁŲ¬Ł’Ł…ŁŲ¹ŁŽ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł Ų£ŁŽŁ…Ł‘ŁŽŲ§ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŲ®Ł’ŲŖŁŽŁ„ŁŽŁ ŁŁŁŠŁ‡Ł ŁŁŽŁ„ŁŽŲ§ Ų„ŁŁ†Ł’ŁƒŁŽŲ§Ų± ŁŁŁŠŁ‡Ł Ł„ŁŲ£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ Ų£ŁŽŲ­ŁŽŲÆ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ°Ł’Ł‡ŁŽŲØŁŽŁŠŁ’Ł†Ł ŁƒŁŁ„Ł‘ Ł…ŁŲ¬Ł’ŲŖŁŽŁ‡ŁŲÆŁ Ł…ŁŲµŁŁŠŲØŁŒ . ŁˆŁŽŁ‡ŁŽŲ°ŁŽŲ§ Ł‡ŁŁˆŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŲ®Ł’ŲŖŁŽŲ§Ų± Ų¹ŁŁ†Ł’ŲÆ ŁƒŁŽŲ«ŁŁŠŲ±ŁŁŠŁ†ŁŽ Ł…ŁŁ†Ł’ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŲ­ŁŽŁ‚Ł‘ŁŁ‚ŁŁŠŁ†ŁŽ Ų£ŁŽŁˆŁ’ Ų£ŁŽŁƒŁ’Ų«ŁŽŲ±Ł‡Ł…Ł’ . ŁˆŁŽŲ¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ°Ł’Ł‡ŁŽŲØ Ų§Ł„Ł’Ų¢Ų®ŁŽŲ± Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŲµŁŁŠŲØ ŁˆŁŽŲ§Ų­ŁŲÆ ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’Ł…ŁŲ®Ł’Ų·ŁŲ¦ ŲŗŁŽŁŠŁ’Ų± Ł…ŁŲŖŁŽŲ¹ŁŽŁŠŁ‘ŁŽŁ† Ł„ŁŽŁ†ŁŽŲ§ ŲŒ ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’Ų„ŁŲ«Ł’Ł… Ł…ŁŽŲ±Ł’ŁŁŁˆŲ¹ Ų¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡Ł

ā€œDan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.ā€ (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqiā€™ Ruh Al Islam)

Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qathā€™i dan ijmaā€™. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah

Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

Ų§Ł„Ł’Ł‚ŁŽŲ§Ų¹ŁŲÆŁŽŲ©Ł Ų§Ł„Ł’Ų®ŁŽŲ§Ł…ŁŲ³ŁŽŲ©Ł ŁˆŁŽŲ§Ł„Ų«Ł‘ŁŽŁ„ŁŽŲ§Ų«ŁŁˆŁ†ŁŽ ā€ Ł„ŁŽŲ§ ŁŠŁŁ†Ł’ŁƒŁŽŲ±Ł Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŲ®Ł’ŲŖŁŽŁ„ŁŽŁŁ ŁŁŁŠŁ‡Ł ŲŒ ŁˆŁŽŲ„ŁŁ†Ł‘ŁŽŁ…ŁŽŲ§ ŁŠŁŁ†Ł’ŁƒŁŽŲ±Ł Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŲ¬Ł’Ł…ŁŽŲ¹Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł

Kaidah yang ke-35, ā€œTidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijmaā€™ (kesepakatan) para ulama.ā€ (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Syamilah)

Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Ketika membahas tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:

ā€œPokok-pokok dari Al-Qurā€™an, As-Sunnah dan Ijmaā€™ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorang pun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yang murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat di antara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yang sunnah.ā€

Beliau Rahimahullah berkata: ā€œSesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halnya tentu tidak mungkin para sahabat, tabiā€™in, dan kaum salaf berselisih.ā€ (Imam Ibnu Taimiyah, Majmuā€™ al Fatawa, Juz 6, hal. 56)

Katanya lagi: ā€œKetika perluasan aktivitas dan penganekaragaman furuā€™ (cabang)-nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing pembelanya.ā€ (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58)

Ia juga berkata: ā€œAdapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain.ā€ (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292)

Beliau juga berkata: ā€œIjtihad para ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat menghadap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.ā€ (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20, hal. 224)

Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama). Ya, sangat berbeda antara beliau dengan orang yang mengaku-ngaku mengikuti madrasah pemikiran beliau. Tenggang rasa Imam Ibnu Taimiyah tidak berhasil diikuti oleh orang-orang keras yang mengaku mengikutinya, yang selalu memaksakan pendapatnya kepada orang lain…

Dia juga berkata: ā€œSedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qathā€™i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qathā€™i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Taā€™ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.ā€ (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 1. hal. 383-384)

Jadi, setelah Anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:

ā€œSesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.ā€ (Imam Ibnu Taimiyah, Rafā€™ul Malam, hal. 25)

Wa akhiru daā€™wana an alhamdulillahi rabbail ā€˜alamin ….

Wallahu Aā€™lam.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Kiat Menghafal Quran

Figure
Organization