Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Haji Pertamaku: Berkat Menjadi yang Terbaik di Ajang Olimpiade Intelektual di Mesir

Haji Pertamaku: Berkat Menjadi yang Terbaik di Ajang Olimpiade Intelektual di Mesir

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – Setiap orang pasti memiliki cerita tersendiri bagaimana cara mereka bisa berhaji, bisa dikatakan panggilan haji adalah panggilan Allah, tidak memandang miskin atau kaya, besar atau kecil, pintar atau kurang cerdas, karena haji merupakan anugerah dan keberuntungan yang luar biasa bagi yang menjalankannya, terlebih posisinya yang menjadi tamu Allah dan rasul-Nya.

Rasanya sudah seharusnya saya selalu bersyukur, jangan sampai kufur nikmat, karena perjalanan haji pertama saya adalah hadiah dari mengikuti perlombaan olimpiade intelektual di Mesir pada cabang cerdas cermat dua bahasa (Arab dan Inggris) yang kebetulan berhasil meraih posisi pertama.

Dua peristiwa bersejarah itu terjadi empat tahun lalu, di saat representasi setiap kekeluargaan (baca: provinsi) berkompetisi menjadi yang terbaik di ajang Olimpiade Intelektual PPMI (Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Mesir) di bawah komando Presiden Abdullah Yazid dan wakilnya, Heri Nuryahdin.

Kebetulan pada cabang cerdas cermat dua bahasa (Arab dan Inggris) saya bersama Musthafa Kamil dan Kaukab Ramadhan (dua senior satu tingkat di atas saya) dipercayakan menjadi wakil dari ibukota negara Indonesia, DKI Jakarta (baca: KPJ Keluarga Pelajar Jakarta). Meski saya sendiri kurang percaya diri, karena saya menganggap masih banyak warga KPJ yang lebih hebat, tapi karena sudah diamanahkan rasanya kurang etis jika menolaknya.

Suasana dan jalannya perlombaan pun sangat menarik ditambah daya persaingannya yang cukup ketat, dari mulai babak penyisihan yang terdiri dari ujian tulis berupa menjawab soal pilihan ganda sampai soal tanya jawab dan rebutan.

Yang paling seru dan menarik adalah ketika babak final pada sesi tamtsiliyah [peragaan], beradu akting dengan menggunakan dua bahasa (Arab dan Inggris) selama 15 menit, adapun tema studi kasusnya diundi langsung oleh dewan juri. Di sinilah terlihat kemampuan bahasa dan wawasan individu masing-masing kelompok.

Alhamdulillah kami berhasil masuk babak semifinal dan final sampai akhirnya berhasil menjuarai cabang prestisius tersebut, mengalahkan wakil dari Sumatera Barat -Putra- (baca: KMM Keluarga Mahasiswa Minang) yang harus puas bertengger di posisi kedua, disusul Jawa Tengah -Putri- (baca: KSW Kelompok Studi Walisongo) berada di posisi ketiga, kemudian urutan keempat disandang Nanggroe Aceh Darussalam -Putri- (baca: KMA Keluarga Mahasiswa Aceh).

Bersama para jawara dan srikandi Olimpiade Intelektual cabang cerdas cermat dua bahasa (Arab dan Inggris). (Irhamni Rofiun)
Bersama para jawara dan srikandi Olimpiade Intelektual cabang cerdas cermat dua bahasa (Arab dan Inggris). (Irhamni Rofiun)

Selang beberapa hari setelah lomba selesai, saya mendapatkan kabar baik dari Indonesia berupa hadiah dan bonus tiket menunaikan ibadah haji, laptop, dan uang tunai, yang bisa dibilang sangat cukup untuk ukuran kantong mahasiswa. Lebih bahagianya lagi tiket haji itu pada tahun 2009 juga, tanpa menunggu lama. Timbul perasaan haru dan bangga karena telah berhasil menorehkan prestasi terbaik serta hadiah dan bonus yang datang bertubi-tubi, sungguh nikmat Tuhan yang tak bisa didustakan.

Tak mau terlalu lama menikmati euforia kemenangan, untuk menghindari kelalaian dan kegagalan, saya pun fokus kembali dengan studi sarjana di Al-Azhar yang menginjak tahun terakhir, sebenarnya ada rasa gusar juga mengambil tiket itu, karena setelah melihat kalender pendidikan ternyata jarak selesainya ritual ibadah haji dan ujian termin satu tingkat empat sangat dekat, selang beberapa hari saja. Akhirnya saya pun menelpon umi [ibu] mengadukan masalah yang terjadi, tidak lain dan tidak bukan jawabannya adalah shalat istikharah, minta yang terbaik.

Salah satu prinsip hidup saya, jika sudah sabar, doa dan usaha yang tekun maka yakinkan saja cepat atau lambat Allah pasti akan memberikan jawaban yang terbaik, meski terkadang jawaban itu di luar dugaan dan beda dengan target yang sudah dicanangkan manusia. Yakinkan saja, semua yang sudah ditetapkan Tuhan pasti akan berakhir dengan keindahan, itupun jika dilalui dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

Puji syukur, ternyata tahun 2009 adalah panggilan haji pertama bagi saya, semua pengurusannya pun dipermudah tanpa hambatan yang berarti. Sesampainya di Saudi saya langsung tersungkur, sujud syukur, sangat bahagia dan terharu ketika pertama kali memasuki kota suci Mekah, menginjakkan kaki di Masjidil Haram dan melihat secara langsung bentuk Ka’bah, kiblat shalatnya umat Islam di seluruh dunia, air mata pun mengalir deras dengan sendirinya.

(Irhamni Rofiun)
(Irhamni Rofiun)

Ada banyak peristiwa berharga dan pelajaran yang mengandung hikmah yang saya rasakan di Masjidil Haram, saya akan berbagi dua kisah saja dari deretan kisah yang saya alami itu. Karena terlalu banyak kesan dan kenangan yang indah dan menakjubkan di setiap sisi masjid dan pelatarannya, juga di setiap menyelesaikan shalat berjamaah dan thawaf sunnah.

Ada satu hal yang saya sengaja lakukan yaitu membawa diktat kuliah, saking niatnya ingin belajar di sisi tangga pelataran tengah masjid, sambil memandang Ka’bah yang sungguh luar biasa nikmatnya. Ketika itu diktat yang saya bawa adalah kitab tafsir, sempat seorang ibu bertanya dan menegur saya kenapa belajar menghadap ke Ka’bah, saya hanya menjawab polos, karena niat saya ke sini juga untuk belajar, bagi saya belajar itu ibadah, jadi tidak ada salahnya jika saya belajar menghadap Ka’bah dan sesekali memperhatikan setiap sisinya yang berbentuk seperti kotak kubus itu, dan yang lainnya seperti Maqam [tempat berdiri] Nabi Ibrahim, rukun yamani dan hajar aswad. Ibu itu pun akhirnya hanya tersenyum dan mendoakan banyak kebaikan untuk saya, saya juga langsung membalasnya dengan doa yang lebih baik darinya.

Ada pula kenangan indah yang sangat berharga juga mengandung hikmah teruntuk bagi saya pribadi, mungkin untuk peristiwa yang satu ini juga banyak dialami orang lain yang berhaji atau sekadar melaksanakan umrah ketika mereka berada di Masjidil Haram.

Waktu itu hati saya sudah berazam ingin memeluk Ka’bah, berdoa langsung di kaki pintu masuk Ka’bah, berdoa tepat di depan Multazam [dinding Ka’bah yang tepat berada di antara pintu Ka’bah dan hajar aswad], mengusap rukun yamani [yang letaknya berada di atas pondasi Ka’bah yang pernah ditinggikan kembali oleh nabi Ibrahim] dan yang paling akhir adalah melihat secara langsung bentuk kubangan dalam hajar aswad, mengusapnya dan menciumnya.

Alhamdulillah semua azam tadi terlaksana dengan baik, sungguh memuaskan dan mengharukan, meski harus berdesak-desakan dengan kerumunan manusia lainnya. Kecuali azam yang terakhir, itu yang paling berkesan karena harus bersusah payah dahulu antara bisa dan tidak, ceritanya setelah selesai melaksanakan thawaf, saya menambah bilangan putaran thawaf menjadi delapan yang seharusnya hanya tujuh kali putaran, alasannya karena saya ingin berdiri di atas pinggir dinding Ka’bah dengan berjalan menempel di dindingnya, mulai dari sisi pojok yang sejajar dengan sisi dinding hajar aswad, awalnya karena melihat orang lain yang ingin menuju ke hajar aswad melakukan itu, kebanyakan dari mereka pun berhasil. Adapun jika langsung mendatangi hajar aswad, kemungkinan besar tidak bisa karena harus melawan arus manusia yang melakukan thawaf dan tentunya bentrok dengan orang-orang yang juga berpikiran sama dengannya.

Hampir saja cara yang saya lakukan berhasil, ternyata belum beruntung, karena pas giliran saya sudah berada tepat di dekat hajar aswad, adzan Ashar berkumandang. Para askar [tentara keamanan] yang berjaga di sekitar Ka’bah dan hajar aswad pun langsung beraksi mencegah dengan gagah orang-orang yang ada di sekitarnya untuk mendekat, akhirnya saya pun terlempar empat shaf [barisan dalam shalat] ke belakang yang langsung dekat dengan Ka’bah, nampak terlihat agak compang-camping pakaian ihram yang saya pakai akibat berdesak-desakan tadi.

Entah kenapa tiba-tiba -mungkin masih penasaran- di dalam sujud shalat jamaah itu saya langsung berdoa dengan keyakinan akan diijabah sama Allah agar bisa mencium hajar aswad, setelah shalat saya langsung beraksi, berusaha kembali dengan cara saya yang awal, dan cara tersebut alhamdulillah berhasil. Akhirnya azam dan keinginan saya yang sudah direncanakan dengan matang tadi berhasil semua, meski harus dengan perjuangan yang luar biasa.

Dari kedua pengalaman yang unik dan penuh hikmah ini, saya dapat sedikit menyimpulkan bahwa dalam ibadah haji bukan hanya ibadah fisik saja yang harus dijaga tetapi jiwa dan psikologisnya juga akan diuji, bahkan sangat dianjurkan sekali ketika sebelum berangkat haji melakukan taubat nasuha, minta ampun atas segala kesalahan dan dosa, berjanji tidak akan mengulanginya lagi dan meminta maaf dengan keluarga, karib kerabat dan orang-orang yang dikenal, agar ibadah hajinya berjalan dengan lancar, tidak ada hambatan yang berarti dan mendapatkan gelar haji yang mabrur, artinya atsar [pengaruh atau bekas] hajinya masih nampak sampai kembali ke tanah air atau tempat tinggalnya masing-masing dan yang paling penting terus berkelanjutan, tidak musiman saja. Kebaikan yang selalu dikerjakan sebelum dan selama haji sudah selayaknya harus dimaksimalkan lagi, bahkan harus ada peningkatan yang signifikan. Itulah gelar haji yang mabrur! Jangan sampai sebaliknya -na’udzubillah min dzaalik-. Wallahu a’lam.

Video pribadi thawaf mengelilingi Ka’bah:

[youtube xgCUqvYFnE4 640]

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Moderat, pecinta Al-Quran, suka menulis dan berbagi informasi, juga blogger mania.

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization