Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Meski Tak Purnama

Meski Tak Purnama

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – “Tolong diam dan jangan berkomentar apapun, aku pengen sendirian”.

Hanya itu kalimat yang kuucapkan sepanjang hari ini, mungkin Dewi sedikit terkejut, karena tak biasanya aku begitu, sanggup berdiam diri sepanjang hari. Mengurung diri di kamar dan hanya keluar untuk mengambil wudhu ketika waktu shalat tiba.

Tapi kali ini aku sungguh dan amat sangat kecewa.

Aku tahu dia bukanlah sang Romeo yang tampan, dan bergelimang harta tapi ini kali pertama aku benar-benar merasakan yang namanya jatuh cinta dengan logika. Ini sungguhan, bukan cinta buta remaja yang menggelora sesaat.

Mungkin inilah yang dikatakan cinta wanita dewasa.

Cinta yang tak lagi sekadar, aku hanya ingin berdua dengannya, bersamanya setiap hari, setiap saat tak terpisahkan dalam suka dan duka hingga serasa dunia milik berdua.

Sejenak ku renungkan dalam diamku, bagaimana mungkin aku jatuh cinta padanya, sedangkan kami tak saling mengenal.  Pertemuan yang tak pernah ku duga pada beberapa kesempatan cukup membuat aku mengaguminya.

Kagum pada apa sebenarnya???

Entahlah, karena sebenarnya ku sendiri juga tak memahami apa yang sebenarnya ada di hatiku. Yang ku tau, dia adalah pria yang tepat untuk menjadi ayah dari mujahid-mujahidah yang akan lahir dari rahimku. Dia yang kuyakini akan semakin mendekatkanku pada sang Khaliq, dia yang ku yakini akan sangat mengerti perasaan seorang istri, seorang ibu dari anak-anaknya kelak. Dia yang kuyakini dapat memahami bagaimana kondisi keluarga besarku yang tak sempurna.

Dia dan hanya dia yang tepat.

Lalu terpikirkan olehku.

Pernahkah dia memiliki pikiran yang sama???

Pernahkah terlintas di benaknya tentangku meski hanya sekadar mampir sejenak di pikirannya???

Ah sungguh konyol.

Apa yang terjadi padaku???

Sedangkan aku sendiri tak yakin dia mengenalku, bagaimana mungkin dia bisa punya pikiran yang sama.

Apakah aku cukup pantas untuknya?

Tidakkah dia hanya akan kecewa jika mendapatkan pendamping hidup sepertiku, meski aku melihatnya sebagai sosok yang sempurna tanpa cela mungkin tak begitu tak begitu sebaliknya. Aku adalah ketidaksempurnaan baginya, aku bukan kesepadanan yang pantas untuknya.

Mungkin dia anugerah bagiku, tapi aku adalah musibah baginya.

Bahkan memikirkan kami dapat bersatu seolah adalah sebuah kemustahilan, tanpa pernah bermaksud mengabaikan kemahaan-Nya yang tak mungkin ada kata mustahil jika Dia telah berkehendak tapi aku tak seharusnya terus berharap pada sesuatu yang jauh panggang dari api, bagaikan pungguk merindukan sang rembulan.

Tiba-tiba terdengar olehku kumandang adzan Maghrib.

Astaghfirullah…

Ternyata sudah waktunya shalat Maghrib, bergegas aku keluar kamar untuk mengambil air wudhu dan menunaikan kewajibanku sebagai seorang hamba.

Kutumpahkan segalanya kesedihan, kegalauan, kebimbangan, kebingungan, kekecewaan dalam munajatku  “Ya Robb, ampuni hamba yang tak dapat menjaga amanahmu, segumpal darah yang tak seharusnya terkotori oleh rasa yang tak seharusnya, atas nama cinta dan kekaguman pada ciptaan-Mu ternyata telah mengotori hatiku. Ampuni hamba-MU yang dhaif ini, karena tak mampu menahan diri untuk tetap istiqamah menjaga hati ini. Membiarkan pikiran dan hatiku terus mengembara pada larangan-Mu. Hanya padamu hamba berserah, hamba mohon kemudahan pada-Mu dalam setiap urusan, hamba mohon pada-Mu pertolongan untuk tetap istiqamah menjaga hati”.

Setelah melaksanakan shalat Isya, aku pun keluar dari kamarku dan menghampiri dewi yang sedang duduk di teras.

“Sorry Wi, kalo ucapanku tadi siang gak enak didengar tadi aku benar- benar sedang kacau”.

“Gak apa-apa, aku ngerti kok”, jawab dewi singkat dengan senyum yang selalu tersungging dari bibirnya.

Ya dewi adalah sahabatku sejak kami masih duduk di bangku SMP, jadi dia paham betul bagaimana sifatku, pun sebaliknya. Itulah sebabnya kenapa sampai saat ini kami masih begitu dekat seolah tak terpisahkan, 12 tahun sudah kami bersahabat jadi masalah apapun selalu kami saling terbuka satu sama lain. Terlebih sudah 3 tahun ini kami tinggal dalam satu kos.

“Thank’s ya”, ucapku.

Sambil menatap langit, kulanjutkan kalimatku “ rasanya aku lagi down banget, kaget aja tiba-tiba dengar dia kembali ke kampung halamannya dan gak akan balik lagi ke sini. Kamu kan tau banget selama ini aku udah menaruh banyak harapan untuk memperjuangkan apa yang aku rasain, meski emansipasi tak mampu membuat aku berani untuk mengungkapkan perasaanku sama dia, eh pas ada keberanian untuk itu malah udah keburu kabur orangnya. Apa disusul aja kali ye. Hehehe … Becanda sich” Lanjutku sambil tertawa seolah-olah ini memang hal yang patut untuk ditertawakan. Ya terkadang menertawakan kekonyolan diri sendiri bisa menghibur hati sekaligus membuatku semakin sedih. Tapi sudahlah.

My life is go on

“Yo wes (ya udah: Jawa), apapun yang akan terjadi, berserahlah pada Allah aza wa jala, sesungguhnya dia pemilik dari apa yang ada di langit dan di bumi, semua atas kuasa-Nya, atas kehendak-NYA, jika dia sudah mengatakan terjadi maka terjadilah ia “kun fayakun”. Ingat tak kan lari gunung dikejar, kalo lari berarti bukan gunung. Eh kalo jodoh Allah selalu punya skenario untuk menyatukan kalian. Hehehe …”

“Yupz ………….” Jawabku singkat.

“Jangan lupa temui DIA di sepertiga malam terakhir mu, jangan sia-siakan kesempatan untuk bertemu dengan-Nya. Curhat yang banyak” Ucapnya sambil tersenyum menuju kamar.

“Ok, Jazakillah ustadzahku yang selalu mengerti hati sahabatmu ini”. Sahutku yang masih enggan ke peraduan. Sayang jika suguhan malam penuh taburan bintang dari-Nya  tak dinikmati. Subhanallah … jadikanlah kekaguman ini tidak hanya pada ciptaan-Mu dan kekaguman yang luar biasa hanyalah milik-Mu sang pencipta keindahan yang maha indah.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Manisnya Ramadhan

Figure
Organization