dakwatuna.com
Ini bukan angin tembok. Ketika angin yang menukik pada sebuah tanjakan dan ketika tak mampu mendaki, dia diam bergulir ke asal ombak datang. Tak pasti…
Langit lembayung perlahan menggelap ketika Maghrib mampir di halaman rumah.
Dan ketika semut-semut sudah tak nampak lagi di tanah merah
Dan bingkai persegi yang menghadap kubah di belakang rumah,
Sempat angin memanggil dirimu…
Lalu kemudian kupertanyakan keberadaanmu…
Padamu yang kusebutkan pemuja saban hari.
Pelan-pelan mengingat sekilas
bagaimana ukiran maha kuasa bersandar padamu
Mengingat rautan lesung yang terpajang benar padamu
Sempat pula kutanyakan…
Bagaikan rel yang tak terputus,
pertanyaan-pertanyaan lugu mengarah akan keberadaanmu
setelah sekian diam
setelah sekian juling
setelah sekian hina
yang nyaris tak kasat mata padamu ku jejalkan dalam setiap nafas!
Tak sampai ke jidat awamku,
Bagaimana bisa kau pertahankan keberadaanmu
yang tak sedikit pun buram oleh keburamanku
Dan pada akhirnya, sebelum gelap menjemput Isya,
Kubuatkan sehelai guratan pada helai kapuk tempatku bersandar
Aku teriakkan…
“Hei, yang seperti apa sebenarnya milikmu? Sampai-sampai kau tak surut barang setitikpun!”