Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Panduan Qurban dan Pembahasannya (Bagian ke-6, Selesai): Perbedaan Antara Aqiqah dan Qurban

Panduan Qurban dan Pembahasannya (Bagian ke-6, Selesai): Perbedaan Antara Aqiqah dan Qurban

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Sumber: http://www.flickr.com/photos/masyarakat_batam_riasaptarika/1434574414/
Ilustrasi – Proses aqiqah. (flickr.com / masyarakat_batam_riasaptarika)

I. Perbedaan Antara Aqiqah dan Qurban

dakwatuna.com – Telah terjadi kesimpangsiuran dan campur aduk antara aqiqah dan qurban. Banyak umat Islam yang menyamakan aqiqah dengan kurban, seperti yang terjadi di beberapa daerah, bahkan –sayangnya- hal ini dikuatkan oleh pandangan tokoh yang dinilai ahli agama, sebagaimana yang terjadi di TV Swasta ketika acara tanya jawab yang cukup digemari. Sang Nara sumber mengatakan –tanpa dalil- bolehnya aqiqah dengan sapi, sebab sapi bisa untuk tujuh orang! (adakah aqiqah untuk tujuh bayi!?)

Ada tiga perbedaan prinsip antara Aqiqah dan Qurban.

Pertama, Jenis hewan yang di sembelih.

Qurban jelas-jelas membolehkan hewan ternak seperti Unta, Sapi, Lembu, dan Kambing (dengan berbagai jenisnya). Itulah yang disebut dengan An Na’am (hewan ternak). Ini sudah kita bahas pada halaman awal. Sedangkan Aqiqah, pendapat yang lebih kuat adalah hanya menggunakan kambing sebagai hewan yang disembelih.

Dalilnya adalah:

عن ابن أبى مليكة يقول نفس لعبد الرحمن بن أبى بكر غلام فقيل لعائشة رضى الله عنها يا ام المؤمنين عقى عليه أو قال عنه جزورا فقالت معاذ الله ولكن ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم شاتان مكافأتان

Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan.” [1]

Ini adalah riwayat pengingkaran yang sangat tegas bagi orang yang menggantikan Kambing dengan yang lainnya, sampai-sampai ‘Aisyah mengucapkan Ma’adzallah! (Aku berlindung kepada Allah).

Oleh karena itu, dengan tegas berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

ولا يجزئ في العقيقة الا ما يقع عليه اسم شاة إما من الضأن واما من الماعز فقط، ولا يجزئ في ذلك من غير ما ذكرنا لا من الابل ولامن البقر الانسية ولامن غير ذلك

“Tidaklah cukup dalam aqiqah melainkan hanya dengan apa-apa yang dinamakan dengan kambing (syatun), baik itu jenis kambing benggala atau kambing biasa, dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya.”[2]

Telah ada kasus pada masa sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah dengan Unta, namun hal itu langsung diingkari oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Imam Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik meng-aqiqahkan anaknya dengan Unta, juga dilakukan oleh Abu Bakrah dia menyembelih Unta untuk anaknya dan memberikan makan penduduk Bashrah dengannya. Kemudian disebutkan dari Al Hasan, dia berkata: bahwa Anas bin Malik meng–aqiqahkan anaknya dengan Unta. Kemudian disebutkan hadits, dari Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari ‘Uyainah bin Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak laki-laki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah, disembelihkan untuknya Unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu sebagian mereka mengingkari hal itu, dan berkata: ”Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi laki-laki, dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain itu.” [3]

Imam Ibnul Mundzir membolehkan aqiqah dengan selain kambing, dengan alasan:

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

“Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah gangguan darinya.” [4]

Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi hewan secara umum, jadi boleh saja dengan selain kambing. Alasan Imam Ibnu Mundzir ini lemah, sebab hadits ini masih global, dan telah ditafsirkan dan dirinci oleh berbagai hadits lain yang menjelaskan bahwa apa yang dimaksud hewan dalam hadits itu adalah kambing. Menurut kaidahnya, tidak dibenarkan mengamalkan dalil yang masih global, jika sudah ada dalil lain yang memberikan perincian dan penjelasannya. Istilahnya Hamlul Muthlaq ila Al muqayyad (Dalil yang masih muthlaq/umum harus dibatasi oleh dalil yang muqayyad/terbatas).

Hadits-hadits yang memberikan rincian tersebut adalah (saya sebut dua saja)

Dari Ummu Kurzin Radhiallahu ‘Anha, katanya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing.” [5]

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نعق عن الغلام شاتين، وعن الجارية شاة.

“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk meng-aqiqahkan anak laki dengan dua ekor kambing, dan anak perempuan seekor kambing.”[6]

Demikianlah hadits-hadits yang memberikan perinciannya, yakni dengan kambing. Masih banyak hadits lainnya, yang semuanya memerintahkan dengan kambing, tak satu pun menyebut selain kambing, justru yang ada adalah pengingkaran selain kambing. Maka, jelaslah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah boleh diganti dengan Sapi atau Unta. Wallahu A’lam.

Imam Ibnul Qayyim telah mengoreksi kekeliruan Imam Ibnul Mundzir dalam hal ini, menurutnya hadits yang menyebutkan sembelihan dengan hewan adalah masih umum, dan telah dirinci dengan riwayat hadits-hadits yang menyebut penyembelihan itu harus dengan kambing. Beliau mengatakan;

وقول النبي صلى الله عليه وسلم عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة مفسر والمفسر أولى من المجمل

“Dan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing,’ merupakan perincinya, dan rincian harus diutamakan dibanding yang masih global (umum).” [7]

Namun demikian, sebenarnya ini adalah masalah khilafiyah di antara ulama, tertulis dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, sebagai berikut:

يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ الْجِنْسُ الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأُْضْحِيَّةِ ، وَهُوَ الأَْنْعَامُ مِنْ إِبِلٍ وَبَقَرٍ وَغَنَمٍ ، وَلاَ يُجْزِئُ غَيْرُهَا ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ الْحَنَفِيَّةِ ، وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ ، وَهُوَ أَرْجَحُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَمُقَابِل الأَْرْجَحِ أَنَّهَا لاَ تَكُونُ إِلاَّ مِنَ الْغَنَمِ .

وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : يُجْزِئُ فِيهَا الْمِقْدَارُ الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأُْضْحِيَّةِ وَأَقَلُّهُ شَاةٌ كَامِلَةٌ ، أَوِ السُّبُعُ مِنْ بَدَنَةٍ أَوْ مِنْ بَقَرَةٍ .

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ : لاَ يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ إِلاَّ بَدَنَةٌ كَامِلَةٌ أَوْ بَقَرَةٌ كَامِلَةٌ

“Aqiqah sudah mencukupi dengan jenis hewan yang sama dengan qurban, yaitu jenis hewan ternak seperti Unta, Kerbau, dan Kambing, dan tidak sah selain itu. Ini telah disepakati oleh kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, dan ini menjadi pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat kalangan Malikiyah, yang diutamakan adalah bahwa tidak sah kecuali dari jenis hewan ternak. Kalangan Syafi’iyah mengatakan: telah sah aqiqah dengan hewan yang seukuran dengan hewan yang telah mencukupi bagi qurban, minimal adalah seekor kambing yang telah sempurna, atau sepertujuh dari Unta atau Sapi. Kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengatakan: tidak sah aqiqah kecuali dengan Unta dan Sapi yang telah sempurna.” [8]

Demikian pandangan kalangan ulama mazhab. Namun pendapat yang lebih kuat, dan diterangkan oleh dalil yang spesifik, adalah sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul Qayyim, dan para imam muhaqqiq (peneliti) bahwa aqiqah hanya sah dengan kambing, -tanpa mengurangi sara hormat kepada para ulama yang berpendapat bolehnya dengan sapi dan unta. Wallahu A’lam

Perbedaan kedua, Faktor penyebab penyembelihan. Hewan Kurban disembelih karena bentuk pengorbanan kita kepada Allah Ta’ala pada saat bulan Dzulhijjah sebagai pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘Alaihimassalam. Sedangkan Aqiqah merupakan penyembelihan Kambing dengan sebab kelahiran bayi. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

 “Bersama seorang bayi ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan dan singkirkanlah gangguan darinya” [9]

Maksud dari ‘singkirkanlah gangguan darinya’ adalah mencukur rambutnya.[10]

Perbedaan ketiga, Faktor waktu pelaksanaan. Hewan Kurban disembelih hanya pada 10,11,12,13, Dzulhijjah, demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan sudah saya bahas pada halaman awal-awal. Sebagian kecil saja ulama yang membolehkan hingga akhir Dzulhijjah, yakni pendapat Abu Salamah bin Abdurrahman dan Ibrahim An Nakha’i.

Sedangkan Aqiqah, waktu pelaksanaannya adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Sesuai hadits berikut:

 “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelih (hewan) pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberikan nama.” [11]

Untuk waktu pelaksanaan aqiqah lihat di catatan kaki berikut.[12]

Demikian perbedaan Aqiqah dengan Qurban. Wallahu A’lam.

— Selesai.

Referensi:

  1. Al Quran Al Karim
  2. Shahih Bukhari, karya Imam Al Bukhari
  3. Shahih Muslim, karya Imam Muslim
  4. Sunan At Tirmidzi, karya Imam At Tirmidzi
  5. Sunan Abu Daud, karya Imam Abu Daud
  6. Sunan An Nasa’i, karya Imam An Nasa’i
  7. Sunan Ibnu Majah, karya Imam Ibnu Majah
  8. Sunanul Kubra, karya Imam Al Baihaqi
  9. Sunan Ad Darimi, karya Imam Ad Darimi
  10. Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad
  11. Musnad Abu ‘Uwanah, karya Imam Abu ‘Uwanah
  12. Al Mushannaf, karya Imam Abdurrazzaq
  13. Al Mushannaf, karya Imam Ibnu Abi Syaibah
  14. Al Mu’jam Al Awsath, karya Imam Ath Thabarani
  15. Musykilul Atsar, karya Imam Abu Ja’far Ath Thahawi
  16. Syu’abul Iman, karya Imam Al Baihaqi
  17. Majma’uz Zawaid wa Manba’ul Fawaid, karya Imam Al Haitsami
  18. At Talkhish Al Habir, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
  19. Nashbur Rayyah, karya Imam Az Zaila’i
  20. Al Jarh wat Ta’dil, karya Imam Abdurrahman bin Abi Hatim
  21. Adh Dhu’afa, karya Imam Al ‘Uqaili
  22. Adh Dhu’afa wal Matrukin, karya Imam An Nasa’i
  23. Adh Dhu’afa Ash Shaghir, karya Imam Al Bukhari
  24. Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
  25. Nailul Authar, karya Imam Asy Syaukani
  26. Al Fiqhul Islam wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili
  27. Al Masu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, para ulama Kuwait
  28. Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya Imam Ash Shan’ani
  29. Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar
  30. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, karya Imam Ibnu Hajar
  31. Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, karya Imam Ibnul Qayyim
  32. Al Muhalla, karya Imam Ibnu Hazm
  33. Majmu’ Fatawa, karya Imam Ibnu Taimiyah
  34. Al Mughni, karya Imam Ibnu Qudamah
  35. Al Bada’i Ash Shana’i, karya Imam Al Kisani
  36. Mathalib Ulin Nuha, karya Imam Ar Rahibani
  37. Nihayatul Muhtaj, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli
  38. Hasyiyah Al Bujirumi ‘Alal Minhaj, karya Imam Sulaiman bin Muhammad Al Bujirumi
  39. Hasyiyah Ad Dasuqi, karya Imam Muhamamd bin Ahmad Ad Dasuqi
  40. Hasyiyah Ibnu Abidin, karya Imam Ibnu ‘Abidin
  41. Ta’sisul Ahkam
  42. Irwa’ Al Ghalil fi Takhrijil Hadits Manaris Sabil, karya Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al Albani
  43. Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, karya Syaikh Al Albani
  44. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, karya Syaikh Al Albani
  45. As Silsilah Ash Shahihah, karya Syaikh Al Albani
  46. Takhrij musykilatul Faqr, karya Syaikh Al Albani
  47. Ash Shihah fil Lughah, karya Al Jauhari
  48. Kamus Indonesia-Arab, karya Prof. Dr. Mahmud Yunus

 


Catatan Kaki:

[1] HR. Baihaqi, Juz. 9, hal. 301 dan, Abu Ja’far ath Thahawi, Musykilul Atsar, Juz. 1, Hal. 457

[2] Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr

[3] Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[4] HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551, Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200

[5] HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah No. 3162. An Nasa’i No. 4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4215

[6] HR. Ibnu Majah No. 3163. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil No. 1166

[7] Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[8] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 30/279

[9] HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551, Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200

[10] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 9/593. Imam Asy Syaukani, Nailul Authar,5/35

[11] HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr

[12] Para ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal), tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapan pun dia memiliki kemampuan, walau sudah dewasa.

Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى

“Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)

Imam Asy Syaukani mengomentari demikian:

فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ التَّسْمِيَةِ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ وَالرَّدُّ عَلَى مَنْ حَمْلِ التَّسْمِيَةَ فِي حَدِيثِ سَمُرَةَ السَّابِقِ عَلَى التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الذَّبْحِ .

وَفِيهِ أَيْضًا مَشْرُوعِيَّةُ وَضْعِ الْأَذَى وَذَبْحِ الْعَقِيقَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ .

“Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu.” (Nailul Authar , 5/135. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan syarah (penjelasan) demikian:

فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ ” الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ ” ذَكَرَهُ فِي السُّبُل . وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ .

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ‘Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21.’ Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap maka di hari ke 21.” (‘Aunul Ma’bud, 8/28. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Para Imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran. Berikut keterangannya:

قال أبو داود في كتاب المسائل سمعت أبا عبد الله يقول العقيقة تذبح يوم السابع وقال صالح بن أحمد قال أبي في العقيقة تذبح يوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين وقال الميموني قلت لأبي عبد الله متى يعق عنه قال أما عائشة فتقول سبعة أيام وأربعة عشرة ولأحد وعشرين وقال أبو طالب قال أحمد تذبح العقيقة لأحد وعشرين يوما انتهى

“Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke 7. Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: ‘Ada pun ‘Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21.’ Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Sa’ad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Sa’ad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Semenara ‘Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke 14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafi’i, Malik tidak menambahkan hingga hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke 21. Ini juga pendapat Aisyah, ‘Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والذبح يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين.

                “Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma’ (aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun klaim ini lemah dan bertentangan dengan realita perselisihan yang ada.

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَنَقَلَ صَاحِبُ الْبَحْرِ عَنْ الْإِمَامِ يَحْيَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئُ قَبْلَ السَّابِعِ وَلَا بَعْدَهُ إجْمَاعًا وَدَعْوَى الْإِجْمَاعِ مُجَازَفَةٌ مَا عَرَفْت مِنْ الْخِلَافِ الْمَذْكُورِ .

“Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma’ aqiqah tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya ijma’ ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah disebutkan.” (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Bolehkah Aqiqah setelah Dewasa?

Para ulama berbeda pendapat, antara membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits tentang bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengaqiqahkan dirinya setelah dewasa adalah dhaif.

Dari Anas bin Malik, katanya:

عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نفسه بعد ما بعث بالنبوة

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.” (HR. Abdurrazaq, No. 7960)

Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini?

Hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya.

Yahya bin Ma’in mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya.

Abu Zur’ah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 5/176. Dar Ihya At Turats)

Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Ma’rifah)

Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhu’afa, 2/310. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Imam An Nasa’i mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Imam An Nasa’i, Adh Dhu’afa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332)

Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengatahui, dan banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zaila’i, Nashb Ar Rayyah, 1/297)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 4/362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Ada pun ulama yang mendhaifkan hadits ini adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam An Nawawi menyebutnya sebagai hadits batil, sedangkan Imam Al Baihaqi menyebutnya hadits munkar. (Ibid)

Oleh karena itu, ulama kalangan Malikiyah dan sebagain Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa.

        Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan aqiqah setelah dewasa. Sebab hadits di atas memiliki beberapa syawahid (saksi penguat), sehingga terangkat menjadi shahih. Hadits sebagai syawahid tersebut adalah:

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883:

        Berkata kepada kami Al Hasan bin Abdullah bin Manshur Al Baalisi, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkatakepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما جاءته النبوة

        Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya nubuwwah (masa kenabian).

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 994:

Berkata kepada kami Ahmad, berkata kepada kami Al Haitsam (bin Jamil), berkata kepada kami Abdullah (bin Mutsanna), dari Tsumamah, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي عق عن نفسه بعد ما بعث نبيا

        Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah diutus sebagai nabi

Ketiga, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla, 7/528, Darul Fikr:

Kami meriwayatkan dari Ibnu Aiman, berkata kepada kami Ibrahim bin Ishaq As Siraaj, berkata kepada kami ‘Amru bin Muhammad An Naaqid, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin Al Mutsanna bin Anas, berkata kepada kami Tsumamah bin Abdullah bin Anas, dari Anas, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَقَّ، عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah datang kepadanya masa kenabian.

Syaikh Al Albani memberikan komentar tentang semua riwayat penguat ini:

قلت : و هذا إسناد حسن رجاله ممن احتج بهم البخاري في ” صحيحه ” غير الهيثم ابن جميل ، و هو ثقة حافظ من شيوخ الإمام أحم

Aku berkata: Isnad hadits ini hasan, para perawinya adalah orang-orang yang dijadikan hujah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin Jamil, dia adalah terpercaya, seorang haafizh, dan termasuk guru dari Imam Ahmad. (As Silsilah Ash Shahihah, 6/502)

Sehingga, walau sanad hadits riwayat Imam Abdurrazzaq adalah dhaif –karena di dalamnya ada Abdullah bin Muharrar yang telah disepakati kedhaifannya- Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI, karena beberapa riwayat di atas yang menguatkannya. (Ibid)

        Ulama yang membolehkan aqiqah ketika sudah dewasa adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’, sebagian Hambaliyah dan Syafi’iyah.

Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:

وقال أن فعله إنسان لم أكرهه

        “Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

        Imam Muhammad bin Sirrin berkata:

لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.

        Seandainya aku tahu aku belum diaqiqahkan, niscaya akan aku aqiqahkan diriku sendiri. (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718)

        Imam Al Hasan Al Bashri berkata:

إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا

Jika dirimu belum diaqiqahkan, maka aqiqahkan buat dirimu sendiri, jika memang kamu adalah laki-laki. (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322)

        Dan, inilah pendapat yang lebih kuat, Insya Allah. Hanya saja di negeri kita umumnya, memang tidak lazim aqiqah ketika sudah dewasa.

Wallahu A’lam

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Qurban Masuk Desa (QURMADES), Sensasi Qurban Zaman Now

Figure
Organization