Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Keping Asa Sang Yatim

Keping Asa Sang Yatim

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Hari itu seperti biasa ku mulai aktivitas di pagi hari dengan membersihkan rumah dan pekarangan sekitar, menyapu halaman kelas dan kamar mandi sekolah serta membuang sampah yang terletak di belakang rumah, maklum di sekolah tempatku mengabdi saat ini tidak memiliki penjaga sekolah jadi semua hal yang berkaitan dengan kebersihan lingkungan sekolah kami sendirilah guru-guru dibantu siswa-siswa yang setiap harinya bertugas membersihkan.

Tok tok tok…  ”Assalamu’alaikum wr.wb,” ucapnya dengan lantang di depan lawang rumahku. Segera kujawab ”Wa’alaikumsalam wr.wb, Sikun, kulihat dia membuka sepatunya” mungkin dia takut membuat kotor lagi lantai yang sudah kusapu, Ngambik Kunci bu, katanya lagi. Iya nak. Jawabku, seraya dia menyalami tanganku. Sikun, adalah salah seorang siswa kelas III di SD 5 Simpang Renggiang yang dikenal sangat pendiam, tak ada yang aneh dari penampilannya biasa-biasa saja sama seperti anak lain di usianya, namun seingatku hampir setiap hari Sikunlah yang datang mengetuk pintu rumahku meminta kunci kelas III, setiap hari pula aku memperhatikannya, mulai dari dia membuka pintu kelasnya kemudian mengembalikan kunci kembali ke rumahku, bahkan jika jadwal piket hariannya maka dia akan bersegera untuk membersihkan kelasnya, mengeluarkan bangku panjang untuk siswa-siswa dan guru-guru kadang duduk bersantai tatkala di waktu istirahat, tak sampai di situ saja Sikun lalu melanjutkan tugasnya dengan mengisi galon yang sudah disediakan untuk setiap ruangan di sekolah kami sebagai tempat cuci tangan lengkap dengan sabunnya, Yah sejak kedatanganku di sekolah ini, setiap harinya aku selalu harus bisa membiasakan diri untuk bangun lebih awal sehingga tak pernah telat karena rumahku yang berada di dalam lingkungan sekolah sehingga dengan mudah aku memperhatikan gerak-gerik siswaku, mulai dari siapa yang paling cepat datang setiap harinya sampai yang paling sering terlambat pulang.

Ibu Sani, ibu Sani, beberapa siswa-siswa mulai menyapaku dan mulai menyalami satu persatu tanganku, iya nak. Jawabku sambil bertanya satu persatu siapa nama dari anak-anak tersebut. Ini siape name? Sayapun mulai menggunakan bahasa setempat yaitu bahasa melayu walaupun yang saya tahu baru itu saja sambil menunjuk seorang anak. Anis buk kata anak tersebut, ohh Anis, ucapku mengangguk. Yang di samping Anis siape name? Aku Rieke buk mun ini Lia, sambil menunjuk satu orang anak di sampingnya lagi. Rumah kame’ di depan sekolah ini buk, sambung Anis lagi, kini kame’ nak ngayao ke rumah ibuk ye? Haaa? Aku melongok karena tak mengerti apa yang diucapkan oleh anak-anak. Kata Anis buk nanti kami mau jalan-jalan ke rumah ibuk. Jelas Rieke. Oh iya nak dengan senang hati, ibu senang sekali kalau kalian mau datang ke sini menemani ibu. Iye buk kinilah kame’ ke sini ye. Sayapun mengangguk. Akhirnya anak-anakpun pamit dan berjalan menuju kantin sekolah.

Karena saya tergolong baru di sekolah ini sebisa mungkin saya membangun persahabatan dengan siswa tanpa kehilangan wibawa. Yah, saya memposisikan diri di hadapan para siswa-siswaku sebagai suatu cara agar hal yang akan saya sampaikan menjadi mudah diterima oleh mereka. Mungkin bisa dibayangkan, seorang guru yang disenangi siswa masuk ke dalam kelas, yah tentu saja semua siswa akan antusias untuk mengikutinya, dan begitu juga sebaliknya, bagaimana seorang guru yang ditakuti siswa ketika menyampaikan pelajarannya siswa-siswa akan menjadi segan bahkan merasa tidak nyaman dalam proses belajarnya. Saya merasa lebih bangga jika memposisikan diri saya sebagai seorang sahabat bagi para siswa-siswa daripada menjadi penguasa di dalam kelas dan mengupayakan setiap kelas-kelasku menjadi menyenangkan. Sebagai seorang sahabat, saya cenderung berkomunikasi dengan akrab dan menyenangkan. Dimulai dengan kebiasaan saya menyapa mereka, kemudian menanyakan hal-hal yang sekiranya akan membuat mereka lebih diperhatikan.

Tak berselang lama teng…teng…teng…teng… lonceng tanda masuk telah berbunyi, kebiasaan dari sekolah ini adalah semua siswa berkumpul di depan kelas masing-masing dipimpin oleh ketua kelas yang bertugas untuk menyiapkan dan mengatur barisan dengan rapi untuk masuk satu persatu ke dalam kelas. Meskipun terlihat masih banyak anak yang ugal-ugalan berlarian ke sana kemari, bahkan masih terlihat ada anak yang dengan santai membeli jaja di kantin sekolah. Yah sejak lonceng berbunyi sudah mulai kudengar kegaduhan anak-anak  dari arah timur rumahku maklum rumah tempat aku tinggal berada dalam lingkungan sekolah dan berhadapan langsung dengan kelas-kelas sekolah.

Siang itu seperti biasa kupersiapkan segala keperluanku untuk masuk ke kelas tersebut, kelas III. Hmmm… Kuhela nafas panjang ketika harus membayangkan masuk ke dalam kelas yang menurut guru-guru lain adalah momok, yah kelas itu memang terkenal super aktif jika dibandingkan dengan kelas lainnya di sekolah ini, apalagi ini adalah awal-awal pertama aku masuk sekolah ini. Cukup menguras energi untuk bisa beradaptasi dengan siswa. Kalau di kelas itu meskipun gurunya ada anak-anak tetap ribut di kelas, suka bolos, suka melawan guru, paling malas belajar, pokoknya lengkap sudah di kelas itu, kata seorang guru yang juga mendapat jam di kelas tiga. Siswa kelas tiga memang terkenal suka membuat gaduh alias ribut tapi menurutku siswa yang suka membuat masalah di kelas bisa disebabkan berbagai faktor, antara lain karena punya masalah belajar, ingin mendapat perhatian dll. Bahkan ada anak yang jika dilarang justru akan melakukan larangan tersebut. Akhirnya siang itu hanya kuisi dengan perkenalan bersama anak-anak kelas tiga dengan mempersilakan mereka satu persatu maju ke depan memperkenalkan nama mereka dengan cara yang berbeda seperti menyanyi, berpuisi dan berpantun. Setelah itu barulah kulanjutkan dengan mengajarkan mata pelajaran IPS tentang arah mata angin dan langsung mendemonstrasikannya bersama anak-anak, walhasil kelas gaduh, ada yang berlarian ke sana kemari, ada yang naik ke atas bangku mereka, ada yang sibuk menegur yang lainnya dengan berteriak dan saya hanya bisa terduduk lesu setelah semua jurus-jurus pamungkas saya telah keluar semua, yah jurus pamungkas yang selalu kuanggap jitu untuk membuat kelasku tenang dan membuat siswa-siswaku mengalihkan perhatian mereka dan tetap berkonsentrasi dengan apa yang saya sampaikan yaitu dengan ice breaking berupa tepuk semangat atau motivasi lainnya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka, Sikun yang dari tadi kulihat tenang-tenang saja mengangkat bangku dan melemparkannya ke depan kelas, sontak saya sangat terkejut dan bertanya ada apa dengan Sikun? Seketika itu juga kelas menjadi tenang. Saya langsung menghampirinya dengan wajah yang sedikit geram, kenapa kamu melempar bangku itu? Tanyaku agak sedikit membentak. Sikun masih tetap diam dengan seribu bahasa, Sikun, Ibu bertanya, kenapa kamu melempar bangku itu? Sikun tetap diam tak bergeming sedikitpun. Aku pun menjadi geram sendiri karena dia sama sekali tak mau menghiraukan pertanyaanku. Akhirnya kuraih tangannya dan menyuruhnya untuk mengangkat kembali bangku ke tempat duduknya semula. Tapi dia malah mengibaskan tanganku. Sayapun kembali membentaknya. Siapa yang ngajarin kamu melawan guru kamu? Tanyaku lagi sedikit geram. Apa orang tua kamu pernah mengajarkan kamu melawan guru kamu? Lanjutku lagi. Tanpa sepatah kata apapun Sikun malah menangis. Kenapa kamu menangis? Tanyaku lagi. Saya bertambah heran, apa mungkin bentakanku membuatnya begitu sedih sehingga dia menangis. Ada perasaan menyesal tatkala melihatnya begitu sedih dengan kemarahanku. Tak cukup sampai di situ perasaan bersalah itu semakin menjadi-jadi saat dia mulai terisak sejadi-jadinya dan menjawab pertanyaanku secara bertubi-tubi. Tamparan keras seolah melelahkan wajah ini. Bu saya itu melempar bangku karena saya tidak suka anak-anak yang lain ribut tidak mendengarkan ibu, itu sama saja mereka tidak menghargai dan menghormati ibu sebagai guru mereka. Saya menangis bukan karena bentakan ibu, tapi karena saya sedih sejak saya lahir sampai sekarang saya tidak pernah melihat orang tua saya seperti apa? Jawabnya seraya menangis terisak. Saya pun yang tak kuasa mendengar alasannya hanya bisa terduduk diam dengan gundah karena perasaan bersalah yang tak kunjung dapat kumaafkan diriku sendiri, belum sempat meminta maaf  saya hanya bisa menyaksikan Sikun yang segera beranjak dari tempat duduknya dan menyabet tasnya tanpa berpamitan padaku. Perasaan itu terus menghantui sampai kelasku hari itu selesai.

Keesokan harinya saya tak ada jam mengajar di kelas III tapi kusempatkan masuk untuk melihat kelas tersebut, entah mengapa ada perasaan lain yang menggelayuti pikiranku sedari kemarin, apalagi tadi pagi aku tak mendengar suara itu, suara yang kemarin siang sampai hari ini membuatku tak banyak berbicara. Assalamu alaikum wr.wb, anak-anak. Wa’alaikumsalam wr.wb buk. Sejenak kelas itu menjadi hening. Sikun mana? Tanyaku kepada anak-anak yang lain. Nda ade buk, jawab salah seorang anak di kelas itu. Kenapa Sikun tidak masuk? Ada yang tahu tidak alasannya kenapa? Nda ade buk, dia se memang lah sua benar malas buk. Lanjut anak-anak yang lain. Lagi-lagi saya hanya bisa terdiam mendengar alasan anak-anak, bukankah selama ini yang paling sering datang mengetuk pintu rumahku meminta kunci kelas adalah Sikun. Tapi hari ini saya mendengar alasan yang sangat berbeda dari anak-anak yang lain. Apa mungkin benar Sikun memang malas masuk? Atau jangan-jangan karena bentakan saya kemarin makanya dia malas masuk sekolah hari ini, atau mungkin juga dia sedih dengan semua perkataan-perkataanku kemarin yang membuatnya mengingat kembali orang tuanya. Atau mungkin juga dia sakit, atau, atau pikiranku kacau. Haaa, sudahlah besok pasti dia akan masuk. Ucapku dalam batin berusaha menenangkan perasaan yang sudah tak karuan ini.

Seminggu ini kugunakan waktu sebaik mungkin untuk dapat beradaptasi dan sebisa mungkin mengenal dan bersahabat jauh lebih dekat dengan anak-anak yang kata guru-guru lain dikenal sebagai pemberontak. Beruntung pada masa perkuliahan SGI kami telah dibekali pengetahuan psikologi perkembangan anak dan ini sangat bermanfaat. Menurutku, langkah awal untuk menghadapi anak yang seperti itu tentulah kita harus mengetahui penyebabnya terlebih dahulu mengapa siswa senang membuat ulah dan kegaduhan di kelas seperti yang terjadi di kelas tiga tersebut. Sore itu saya sengaja berkunjung ke rumah salah seorang guru yang rumahnya terletak tidak jauh dari sekolah. Ibu Tuti, beliau adalah salah seorang guru yang pernah mengajar di sekolah kami. Dari percakapan kami pula saya mengetahui bahwa Sikun itu adalah anak yatim piatu yang sekarang tinggal bersama neneknya. Beberapa tahun lalu saat usianya baru menginjak 6 tahun kedua orang tuanya meninggal karena penyakit dan keluarga terakhir yang mengasuhnya adalah nenek dari ibunya. Setiap harinya nenek sikun harus bekerja sebagai buruh sawit di sebuah perkebunan sawit, maklum mayoritas mata pencaharian masyarakat di sini adalah sebagai buruh sawit.

Pekan keempat di sekolah, Siang itu waktu sudah menunjukkan 10:30, di kelas yang sama yaitu kelas III. Seperti biasa sebelum memulai pelajaran saya memeriksa kehadiran siswa dan memeriksa satu persatu siswa yang tidak hadir hari itu, ternyata semua lengkap. Alhamdulillah hari ini siswaku masuk semua termasuk Sikun yang dari tadi terus menunduk tak berani menatapku. Akhirnya saya pun memulai pelajaran, hari itu saya mengajar PKN. Setelah menjelaskan sedikit pelajaran hari itu, anak-anakpun mengerjakan tugas yang telah saya tuliskan di papan tulis, kecuali Sikun. Lagi-lagi ada apa dengannya? Batinku lirih. Kulihat tak ada sehelai kertaspun di atas meja begitu pun pulpen. Segera kuhampiri meja tempat dia duduk. Ada apa Sikun kenapa kamu tidak mengerjakan tugas itu? Tanyaku kepadanya sambil menunjuk ke arah papan tulis. Awalnya dia hanya terdiam, kemudian saya pun menyuruhnya untuk maju ke depan ke bangku saya. Entah mengapa saat itu dia menurut saja apa yang saya katakan, setelah itu dia duduk tepat di samping bangku saya. Ayo nak kamu bicara kenapa kamu tidak menulis? Tanyaku lagi dengan nada yang lebih lembut. Saya tak memiliki buku dan pulpen lagi buk. Jawabnya dengan jujur. Kemarin itu saya tidak masuk karena saya membantu nenek kerja sebagai buruh sawit. Akhirnya suara manis itu kudengar lagi.  Kenapa tidak bilang sama ibu nak kalau kamu tak memiliki buku dan pulpen lagi? Tanyaku lagi. Kali ini dia tak menjawab pertanyaanku lagi. Tanpa menunggu jawaban darinya segera kuraih tas di atas meja guru, dan mengambil uang senilai 20 ribu lalu kuberikan kepadanya. Ini nak, kamu beli buku dan pulpen yah. Ucapku kepadanya, tanpa babibu dengan wajah yang begitu bahagia Sikun menerima uang tersebut dan langsung berlari menuju koperasi sekolah membeli buku dan pulpen. Setelah itu dia kembali ke kelas berjalan kearahku. Terima kasih buk, ucapnya begitu tulus. Iya nak terima kasih kembali, mulai sekarang kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan untuk bilang sama ibu yah. Jawabku. Sikun hanya mengangguk dengan senyumannya mendengar ucapanku. Oh iya nak maafkan ibu yang membuatmu sedih dengan kata-kata ibu kemarin nak. Tambahku lagi. Tidak apa-apa bu, mulai sekarang aku akan menganggap ibu sebagai ibu kandung Sikun sendiri. Jawabnya dengan polos. Aku pun hanya bisa mengangguk dengan senyuman bahagia. Aku tak pernah menyangka anak seumur dia sudah harus menanggung beban sebesar itu. Tapi yang aku tahu dia punya cita-cita yang besar untuk tetap terus bersekolah. Akhirnya kelas hari itu berakhir dengan haru biru riuh tepuk tangan dari anak-anak lainnya.

Hari-hari berikutnya saya dan Sikun semakin dekat, hampir setiap hari saya ke kelas memeriksa bagaimana proses belajarnya. Ternyata banyak perubahan dari Sikun kata guru-guru lain, dia sangat bersemangat mengerjakan setiap tugas-tugas yang diberikan oleh guru-guru lain. Akhirnya hari yang sangat menggembirakan itu tiba, hari pengumuman kenaikan kelas. Tak disangka Sikun berhasil mendapat juara kelas yaitu peringkat dua. Alhamdulillah ya Allah. Ucapku dalam hati. Ibu bangga kepadamu nak Semoga kamu bisa meraih semua impianmu nak. Amin.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Guru Model SGI Dompet Dhuafa.

Lihat Juga

Doa Terbaik untuk Ayahanda Harvino, Co-pilot Pesawat Lion Air dan Ayah bagi 10 Anak Yatim

Figure
Organization