Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Untukmu, Tuan Aktivis

Untukmu, Tuan Aktivis

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Kehidupan kampus memang asik-mengasyikkan. Masa muda yang emas memang paling pantas bila digunakan untuk banyak beraktivitas, mencoba-coba banyak hal, bermain-main mengembangkan ‘batas’. Tak cukup rasanya kuliah sekian tahun, tapi kemudian getas karena sehabis kelar kelas langsunglah pulang ke peraduan – kamar kontrakan. Hambar rasanya mencicipi kegiatan perkuliahan, tanpa kemudian ditambah ‘bumbu-bumbu’ warna-warni kemahasiswaan. Berkarya di unit, kongkow (produktif) di himpunan, melingkar di kabinet, rapat sampai tengah malam entah di selasar mana, atau bahkan merintis sendiri berbagai macam perkumpulan-proyekan, demi menyalurkan energi yang melimpah dari usia yang muda –atau sekadar pelampiasan dari tugas kuliah yang membekukan kepala. Nano-nano kehidupan tuan aktivis. Apalagi kemudian jadi seorang aktivis yang juga aktif mengisi mentoring, membina sekumpulan adik-adiknya, berbagi dengan ilmu atau sekadar pengalaman yang dipunya, dengan harapan bisa dicontoh-dijadikan pelajaran-dijadikan batu pijakan bersama-sama. Mantap terdengar!

Nah, sebenarnya mode seorang mahasiswa seperti yang di atas sudah cukup banyak jumlahnya. Mudah ditemukan, di mana-mana, (hampir) kapan saja. Namun, apakah cukup semua sekadar menjadi aktivis idealis, nan pandai berkata manis? Apakah cukup kegiatan hariannya, dengan kemungkinan permutasi yang coba disederhanakan, ke kampus – mengikuti kelas – menyelesaikan tugas akademis – ‘berseloroh’ dengan  teman seperjuangan – mengisi mentoring – kegiatan pribadi – sembahyang – dan istirahat? Apakah kegiatan kemahasiswaan –yang sebagian besar adalah meniti satu per satu pengalaman- cukup hanya untuk menghasilkan satu dua wacana dan obrolan? Atau satu dua proyekan yang hanya dimengerti orang dalam, dan orang luar cukup tahu sekadar ‘ada’ atau sekadar ‘nama’, tanpa perlu tahu ‘kenapa’ dan ‘bagaimana’? Atau hanya berupa diskusi tukar pikiran yang diselingi perdebatan, yang kemudian berakhir pada suatu kesimpulan yang disimpan dalam jaringan otak sendiri, lalu kemudian lambat laun terlupa? Atau hanya berupa penyampaian materi sejam dua jam dari sang kakak mentor, lalu lepas tuntas tumpas tiada bekas? Tanpa sebuah peninggalan hasil baku yang –setiap orang bisa baca, tahu, dan rasakan latar tujuannya, kapan saja- sebuah ‘pengarsipan’ ide brilian-wacana-hikmat cerita, dalam bentuk tulisan?

Yap, tulisan. Mengapa memang semua –atau sebagian besar- frase kehidupan kemahasiswaan yang berharga ini dirasa perlu, penting, atau sekadar ‘lebih baik’ turut dibuat dalam tulisan? Mungkin sejumlah alasan pemikiran awam ini pantas dipandang bahan yang tuan-tuan aktivis bisa jadikan pertimbangan:

  • Show the world who you are! Tak perlu sungkan untuk menunjukkan, siapa diri tuan sebenarnya. Mengingat, bahwa nama seseorang bukan dilihat dari –katakanlah- tampan tidaknya, rupawan tidaknya, tinggi rendahnya, atau bulat rampingnya. Tapi dunia akan menilik pada ranumnya buah pemikiran yang dimiliki. Tak sekadar dilihat, tapi juga dapat ‘dicicipi’ dan ‘dirasakan’ orang banyak. Bisa ditimbang, bisa diperbincangkan banyak orang. Dari sanalah orang akan mengecap, entah itu manisnya-entah itu asamnya. Asam dalam artian belum matang. Tapi justru dari sana tuan bisa tahu dan sadar untuk mematangkan pemikiran tuan sendiri. Oleh karena itu, penting tuk tunjukkan pada dunia, bukan dengan muka yang telah dipoles sedikit banyak di depan kaca, tapi dengan ‘ada apa di balik kepala’, sebuah kebrilianan pikiran seorang aktivis yang dipunya.
  • Pengarsipan. Suatu waktu sabda Muhammad (SAW) bahwa ilmu, saripati indra dalam pikiran, itu bak binatang buruan. Untuk menjaga ia agar tiada terlepas –melarikan diri- maka ikatlah ia dalam tulisan. Buruan yang sebegitu sulitnya didapat, seperti halnya ilmu atau pengalaman, apalagi ia adalah sesuatu yang langka dan/atau berharga, sayang toh bila kemudian terbiar berlalu dan hilang. Bukankah apabila ia dapat disimpan –dan dimasak tentunya dalam bentuk tulisan, akan lebih bermanfaat adanya? Lebih mudah untuk kembali memilah memilihnya, apabila suatu saat diperlukan, tanpa harus lagi mencarinya di dalam rimba.
  • Tak perlu memasang muka. Bukan dalam artian menggunakan topeng ke mana-mana, namun menyangkut pengaturan waktu luang yang dipunya. Ya, inilah yang banyak dialami tuan para pegiat di kampus. Manajemen waktu yang serba padat, seringkali memaksa porsi kegiatan pen-transfer-an ilmu –terutama dalam mentoring- sedikit banyak dinomorsekiankan. Sehingga, banyak dari pegiat ini yang memilih untuk meminimalkan kelompok yang dipegang, atau bahkan meniadakan –lebih ‘kurang ajar’ lagi, melalaikan- binaan yang telah diamanahkan. Mungkin pentransferan dalam bentuk penulisan ini sedikit bisa membantu menjawab. Membantu, bukan menggantikan. Membantu dalam hal pokok materi –dengan pembahasan yang disesuaikan oleh si kakak akan kondisi adiknya. Maka, kegiatan yang tatap muka bisa kemudian lebih diefektifkan untuk kegiatan bertukar tanya, bertukar jawab.
  • Waktu yang bisa disesuaikan. Kenikmatan tersendiri dalam menulis. Bila bertukar obrolan harus mendatangkan keduanya –narasumber dan audiens– menulis bisa dilakukan sesuai dengan luangnya waktu yang dipunya oleh si narasumber, saja. Hampir sama dengan poin sebelumnya, penyiapan ilmu yang akan disampaikan, bisa dilakukan kapan pun sesempatnya tuk menulis. Entah pukul berapa, entah di waktu luang mana -tanpa ada keterikatan tertentu pada ruang yang baku.
  • Menjadi sarana latihan. Siapa berkata menulis itu sulit? Bila sulit, mengapa setiap orang hampir selalu dalam keadaan ‘menulis’? Menulis dalam bentuk MS Word, dalam bentuk guratan pensil, dalam bentuk status Facebook, atau bentuk ketikan pesan singkat. Ternyata, menulis itu pada dasarnya ‘gampang’. Tapi bukan berarti begitu saja dapat ‘digampangkan’. Menulis bukan hanya sekadar kegiatan menyampaikan sekilas info, sekilas arahan, sekilas jaringan komunikasi, atau sekilas curahan hati. Tapi lebih dari itu, menulis –dalam artian yang lebih dalam- adalah suatu bentuk latihan kesungguhan. Karena menulis adalah belajar ‘melihat’ pada apa yang tidak dapat dilihat oleh mata. Karena menulis adalah latihan memeras saripati dari pikiran. Karena saat menulis, pasti ada hentakan impuls-impuls dalam otak untuk dapat mengkonversi angan-bayang-memori-pertimbangan menjadi suatu kreasi kata-kata. Apalagi bila ditambah fakta dan data. Menulis adalah seni menyusun kalimat, menciptakan paragraf. Paragraf yang menguntai menjadi sebuah ‘karya’. ‘Karya’ yang tidak semua orang dapat dengan mudah membuatnya. Maka, latihan, adalah jawabannya.
  • Hasil yang bervariasi. Salah satu poin yang membuat tulisan bisa dilabelkan sebagai sebuah karya seni tersendiri. Seperti halnya gaya orang dalam berpidato –lantang, membara, atau cukup membaca teks sahaja (ditambah kata “saya prihatin”)- tulisan pun dapat menjadi sebuah objek yang unik sama sekali, tergantung pada orang, tergantung pada lingkungan yang melingkupi orang tersebut. Kelogisan para penghuni lab, keruwetan pakar akademik, kepolosan anak tahap persiapan, atau ‘kekacauan’ mereka yang mengaku-aku seniman. Ditambah lagi dengan berbagai pilihan bentuk, seperti apa tulisan tersebut akan ditampilkan. Bentukan makalah, atau artikel, atau cerpen, cerbung, list, syair, puisi, atau bahkan campuran dari kesemuanya –bak nasi goreng mawut di daerah plesiran sana. Everyone has their own style.
  • Objek pikiran yang lebih luas. Kelebihan suatu karya tulisan daripada sekadar sebuah pembicaraan. Dengan tulisan, dengan bentuk yang dapat disampaikan kembali berkali-kali tanpa harus membuka percakapan lagi, lebih banyak objek pikiran lain yang bisa ikut membaca. Bisa ikut mengikuti. Bisa ikut mengetahui. Satu materi mentoring paling banter hanya bisa diikuti oleh belasan orang –itupun bila semua memperhatikan, itupun bila semua bisa hadir, baik jasad maupun pikir. Namun dengan tulisan –tanpa mendeskritkan aspek tujuan lain dalam mentoring- dilihat dari segi kuantitas pasti berkali-kali lipat orang yang bisa ikut mengikuti materi tersebut. Apalagi kini dengan seribu satu fasilitas yang dapat dimanfaatkan, entah dunia maya atau dunia percetakan. Apalagi aktivis yang memiliki sejumlah akun digital, pun dengan ribuan teman-pengikut-fans, semakin berlipat pula orang yang dapat dipengaruhi. Jauh lebih menyebar, atau paling tidak, potensial, daripada sekadar ‘mencukupkan semua dengan melingkar’.
  • Sebuah sarana ampuh untuk berperan dalam ‘persaingan’ pemikiran. Mau tidak mau, persaingan ini –kebanyakan bahkan sampai tataran ideologis- telah menjadi racikan tersendiri dalam belantara perkampusan. Walaupun bukan dalam artian sama sekali tidak dapat saling menoleransi, polarisasi ini sudah menjadi hal yang lumrah dan tidak dapat ditiadakan. Karena setiap polar memiliki pijakan, landasan –terlepas dari landasannya benar ‘mapan’ atau sekadar ‘dirasa mapan’. Di antara polar-polar ini terdapat materi, objek, civitas yang sifat dan perannya adalah netral, tiada memihak (atau tiada tahu harus memihak) salah satunya. Maka, demi gerakan kesimpatisan, diperlukanlah suatu medan yang besar dan kuat, sehingga cukup force-nya. Force berupa tarikan menuju pihak sendiri, ataupun dorongan tuk menghindar dari yang lain. Adanya medan tentunya tidak dapat muncul secara tiba-tiba. Perlulah suatu media untuk menciptakannya. Salah satunya adalah dengan tulisan. Tulisan yang dapat dikandungkan di dalamnya sejumlah satuan dan vektor tertentu. Tulisan yang dapat digunakan, karena sifatnya dinamis, dapat dipermanis tampak luarnya, ataupun bahkan ‘direkayasa’ persebarannya.
  • Menjadi abadi. Kecemerlangan seorang aktivis, dalam sepak terjangnya di dunia perkampusan –tak akan mampu untuk diulang kedua kali. Tak akan dapat diputar ulang, dari generasi ke generasi, kecuali telah dibuat bentuk ‘pengabadian’nya. Catatan. Tulisan. Agar bisa kembali diamati, dipelajari. Tanpa itu, sejuta pengalaman hanya akan hilang digulung oleh waktu yang tiada kompromi. Kecemerlangan hanya akan pasrah tergerus kebijakan rektorat akan lamanya lulus yang semakin dibatasi. Pun bila melihat lebih jauh lagi, sehatnya rohani-intelektual bila sudah pergi karena dipaksa usia renta (atau mati muda), tak akan sudi tuk kemudian dipanggil lagi. Tuan, jangan mau, ketika dipanggil nanti, yang tersisa dari diri tuan hanyalah nama, tanggal lahir, tanggal mati, dan sejumlah perabot, tanpa mampu tinggalkan sejumlah arti.

Ah, terlalu banyak keuntungan yang bisa dituai dari pembiasaan menulis ini. Mungkin juga selain beberapa poin di atas, masih banyak lagi kebermanfaatkannya. Yang juga pernah dialami, pernah dirasakan, pernah dibayangkan, apalagi oleh tuan yang otaknya sering dalam keadaan ‘berkegiatan’. Banyak hal sebenarnya yang dapat digunakan sebagai bahan untuk memulai ‘pengabadian pikir dalam bentuk karya bervektor’ ini, dari yang nampak kecil hingga yang nampak luar biasa. Tiada salahnya mengarsipkan pengalaman harian, dalam bentuk catatan singkat yang bisa suatu saat hikmahnya kembali diangkat. Apa ruginya me-review ulang intisari dari apa yang baru saja dibaca, bahkan bisa menambah daya lekatnya di kepala. Sungguh baiknya bila konten mentoring yang telah disampaikan, kembali dituliskan, sembari melatih anugerah daya ingatan. Sungguh nikmatnya menjadi pembicara, yang sembari memandaikan pengaruh dengan kata yang manis, juga senantiasa bersemangat dalam mengasah kompetensi lingua-franca penuh retoris. Menulis, sebuah pilihan strategis tuk merintis pegiat kampus yang lebih dinamis.

Tuan-tuan aktivis, atau tuan yang ingin jadi aktivis, apa salahnya sedari kini mulai menulis?

September, hari 20-21

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa Teknik Tenaga Listrik, Institut Teknologi Bandung. Kepala Departemen Media Gamais ITB 2013.

Lihat Juga

Keikhlasan Dalan Kerja Dakwah

Figure
Organization