Topic
Home / Narasi Islam / Ekonomi / Urgensi Teori dan Praktik Hybrid Contracts dalam Pengembangan Produk Perbankan dan Keuangan Syariah

Urgensi Teori dan Praktik Hybrid Contracts dalam Pengembangan Produk Perbankan dan Keuangan Syariah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

keuangan syariahdakwatuna.com – Hybrid Contracts sebenarnya bukanlah teori baru dalam  khazanah fiqih muamalah. Para ulama klasik Islam sudah lama mendiskusikan topik ini berdasarkan dalil-dalil syara’ dan ijtihad yang shahih. Namun, dalam kajian fiqih muamalah di pesantren bahkan di Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang banyak dibahas, karena belum banyak bersentuhan dengan realita bisnis  di masyarakat. Pada masa kemajuan lembaga keuangan dan perbankan di masa sekarang, konsep dan topic hybrid contracts kembali mengemuka dan menjadi teori dan konsep yang tak terelakkan. Sejumlah buku dan karya ilmiah pun bermunculan membahas dan merumuskan teori al-‘ukud al-murakkabah (hybrid contracts) ini, terutama karya-karya ilmiah dari Timur Tengah.

Tanpa memahami konsep dan teori hybrid contracts, maka seluruh stake holders  ekonomi syariah akan mengalami kesalahan dan kefatalan, sehingga dapat menimbulkan kemudhratan, kesulitan dan kemunduran bagi industri keuangan dan perbankan syariah. Semua pihak yang berkepentingan dengan ekonomi syariah, wajib memahami dan menerapkan konsep ini, mulai dari dirjen pajak, regulator (BI dan OJK), bankers/praktisi LKS,  DPS, notaris, auditor, akuntan, pengacara, hakim, dosen (akademisi), dsb.  Jadi semua pihak yang terkait dengan ekonomi dan keuangan syariah wajib memahami teori dan praktek ini dengan tepat dan dengan baik.

Setidaknya terdapat 10 alasan utama mengapa teori dan praktek hybrid contracts, perlu dan  wajib diketahui terutama oleh praktisi keuangan/perbankan syariah, regulator, pejabat pajak, pakar ekonomi Islam, DPS, akuntan, notaries, auditor  dan praktisi hukum ekonomi syariah:

Pertama, karena hybrid contracts terkait dengan  pajak. Banyak produk perbankan dan keuangan syariah yang mengandung hybrid contracts, seperti Musyarakakah Mutanaqishah (MMq), Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT),  pembiayaan take over, pembiayaan rekening koran, line facility, pasar uang syariah dengan commodity syariah dan masih banyak lagi. Pejabat dirjen pajak harus memahami teori hybrid contracts dengan tepat agar tidak salah dalam penagihan pajak.

Kedua,   hybrid contracts terkait dengan akuntansi dan PSAK, karena dari sekian banyak akad dalam sebuah produk pembiayaan, harus diketahui akad mana yang dicatatkan dalam pembukuan. Dalam akad MMq misalnya, apakah akad ijarah atau musyarakah yang dicatatkan, demikian pula dalam hybrid contracts  lainnya, seperti kafalah bil ujrah pada L/C, hiwalah bil ujrah pada anjak piutang, wakalah bil ujrah pada factoring, produk gadai yang mengandung tiga akad, rahn, qardh dan ijarah. Apakah penerapan hybrid contracts membutuhkan PSAK baru yang lebih relevan dengan teori hybrid contracts.

Ketiga, hybrid contracts sangat terkait dengan inovasi produk. Bank-bank syariah yang ingin mengembangkan dan menginovasi produk harus memahami teori hybrid contracts agar bank syariah bisa unggul dan dapat bersaing dengan konvensional. Dengan demikian, peranan hybrid contracts sangat penting bagi industri perbankan dan keuangan. Jangan sampai terjadi banker syariah menolak peluang yang halal karena kedangkalan keilmuan tentang teori-teori pengembangan akad-akad syariah. Untuk itu teori hybrid contracts harus digunakan dan dipahami dgn baik agar bank syariah bisa lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan produk-produknya. Selain itu hybrid contracts terkait dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum, karena itu praktisi bank syariah mutlak harus memahami teori dan prakteknya

Keempat,  hybrid contracts terkait dengan regulasi. Para regulator (Bank Indonesia dan para direktur lembaga keuangan syariah di  OJK) harus memahami dengan baik teori dan praktek ini agar tidak salah dalam membuat aturan. Kesalahan dalam membuat regulasi, akan berbahaya dan mengganggu pengembangan bank syariah dan LKS.

Kelima, hybrid contracts  terkait dengan putusan hakim di Pengadilan, putusan arbitrer di Basyarnas dan terkait dengan risiko hukum. Para hakim yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah wajib memahami ini. Berapa banyak putusan pengadilan yang salah, akibat tidak memahami teori hybrid contracts, contoh kasus pembiayaan take over di Bukit Tinggi.  Maka pengacara syariah juga harus mengerti tentang teori dan praktik hybrid contracts agar tidak salah dalam melihat akad yang serba hybrid, seperti musyarakah mutanaqishah, pembiayaan take over, novasi, IMBT, dll

Keenam, hybrid contracts terkait dgn struktur draft kontrak. Teori hybrid contracts akan memandu (memberi pedoman) kepada legal officer dan notaris, akad-akad apa saja yang bisa disatukan dalam satu draft perjanjian (kontrak) dan akad-akad apa saja yang harus dipisahkan. Bahkan sampai kepada akad-akad apa saja yang harus dinotarilkan dan akad-akad apa saja yang dibuat di bawah tangan.

Ketujuh, hybrid contracts terkait dengan aspek syariah (syariah compliance). Apakah hybrid contracts (multi akad) itu mengandung riba atau gharar, apakah hybrid itu mengandung ta’alluq yang diharamkan, apakah hybrid contracts itu termasuk akad bay’atain fi bay’atin atau shafqatain fi shafqah. Bagaimana penafsiran para ulama tentang hadits itu. Apa dan bagaimana dalil mereka?, Pendapat mana yang paling rajih (kuat) dan paling maslahah.  Bagaimana pula akad hybrid yang muallaq), dsb. Semua pertanyaan itu dibahas secara tuntas dan mendalam dalam workshop hybrid contracts.

Kedelapan, hybrid contracts terkait dengan biaya (cost) notaris. Kalau notaries tidak memahami teori hybrid, maka semua akad-akad dalam satu produk, akan dikenakan biaya, semakin banyak akad dalam satu produk, maka akan semakin banyak biayanya. Misalnya produk pembiayaan take over terdiri dari 3 akad, MMq terdiri dari 4 akad, IMBT terdiri dari 2 akad ditambah wa’ad, kartu kredit terdiri dari 3 akad, gadai (bisa) terdiri dari 3 akad, ijarah bertingkat (dua akad), begitu pula ijarah multijasa.  Bahkan pembiayaan murabahah bisa terdiri dari 3 akad, murabahah, wakalah dan jaminan. Berhubung banyaknya akad dalam satu produk, maka teori hybrid contracts ini harus dipahami notaries dan legal officer dengan baik.

Kesembilan, hybrid contracts terkait dengan hukum positif (harmonisasi) dgn hukum positif. Hal ini termasuk masalah penting, karena banyak sekali notaries yang salah paham tentang akad-akad syariah, karena tidak memahami teori syariah tentang hybrid contracts. Hybrid contracts dirumuskan kadang sebagai makharij (jalan keluar) untuk mewujudkan sharia compliance yaitu agar kontraknya halal dan sesuai  syariah, karena itu semua akad itu harus dilaksanakan walaupun kelihatan seperti berputar (berbelit), tetapi semua itu dimaksudkan untuk kepatuhan kepada syariah, Dalam prakteknya, terkadang tidak semua akad-akad itu harus dinotarilkan sebagai akad otentik. Hal ini terjadi misalnya dalam akad pembiayaan KPR melalui Musyarakah Mutanaqishah, termasuk pembiayaan take over, instrument commodity syariah untuk pasar uang, pembiayaan multiguna syariah, hedging dengan Islamic swap, dan sebagainya.

Kesepuluh,  hybrid contracts terkait dengan ke-simple-an dan efisiensi. Tanpa memahami teori hybrid contracts selalu terjadi pemborosan (tenaga dan kertas) dan pengulangan pasal-pasal perjanjian yang tidak perlu. Seringkali terjadi format-format akad yang terlalu tebal, karena pasal-pasalnya berulang-ulang di setiap judul akad, dan ini menimbulkan pemborosan tenaga,  kertas, dan biaya lainnya, seperti yang telah terjadi saat ini dimana praktisi perbankan memisahkan akad Musyarakah Mutanaqishah dan ijarah, padahal keduanya bisa disatukan, sehingga lebih efisien dan simple, Demikian pula pada pembiayaan take over, sindikasi dan lain-lain sebagainya. (sbb/dkw)

Redaktur: Saiful Bahri

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Pendidikan Program Doktor (S3) Ekonomi Islam UIN Jakarta 2004 adalah Sekjend DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Anggota Pleno Dewan Syariah Nasional � Majelis Ulama Indonesia dan Trainer pada International Islamic Banker Management Trainee Program for Certified Islamic Banking Products dan berpengalaman bertahun-tahun sebagai Advisor Bank Muamalat Indonesia. Sebagai seorang akademisi, beliau adalah dosen pascasarjana bidang fiqh muamalah ekonomi keuangan kontemporer, hukum perbankan Syariah, dan ushul fiqh ekonomi keuangan di beberapa universitas terkemuka di Indonesia antara lain : dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah PSTTI Universitas Indonesia (UI), dosen Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti, dosen Pascasarjana Manajemen Perbankan dan Keuangan Syariah di Universitas Paramadina, dan Dosen Pascasarjana Ekonomi Islam Universitas Az-Zahra, Dosen Pascasarjana Ekonomi Islam IAIN, Dia juga mengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Prof. Dr HAMKA. Pendidikannya S1 dan S2 Bidang Syariah di IAIN-SU, dan S3 di Program Doktor Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam organisasi MES Pusat (Masyarakat Ekonomi Syariah) beliau dipercaya sebagai Ketua Departemen MES bidang Pembinaan Anggota dan Pengembangan Wilayah. Selain itu beliau cukup banyak membimbing thesis mahasiswa pascasarjana terkait perbankan dan keuangan Islam serta aplikasi kontrak-kontrak syariah di perbankan dan keuangan syariah. Sebagai tokoh yang ahli di bidang perbankan dan keuangan syariah, beliau juga diamanahkan sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di beberapa Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, seperti Leasing Syariah PT Patrajasa, PT. Modal Ventura Syariah, DPS di Asuransi Syariah Jasa Raharja Putra, DPS pada Ahadnet International, dan DPS pada Waqf Fund Manajemen. Beliau juga adalah instruktur (narasumber) pada Forum Doktor Ekonomi Islam for Comtemporary Fiqh Muamalah Studies, juga nara sumber utama pada Forum Ulama Timur Tengah untuk Kajian Fiqh Muamalah Kontemporer. Selain aktif sebagai pembicara pada berbagai forum seminar dan workshop baik nasional maupun internasional, beliau juga adalah penulis produktif tentang ekonomi Islam di berbagai media massa nasional cetak dan elektronik serta menjabat sebagai Dewan Redaksi Majalah Sharing, majalah ekonomi syariah paling terkemuka di Indonesia. Dia tidak saja menguasai ilmu ushul fiqh ekonomi keuangan dan konsep fiqh muaalah kontemporer tetapi juga memahami praktek operasionalnya di perbankan. Keahliannya tentang teknis operasional tersebut dikarenakan beliau telah berpengalaman menguji (debrief) lebih dari 1000an karyawan dan officer bank syariah di seluruh Indonesia tentang tingkat pemahaman mereka mengenai perbankan syariah dan aplikasi akad-akad muamalah di dalamnya.

Lihat Juga

Usulan Model untuk Dewan Pengawas Syariah di Lembaga Keuangan, Studi Kasus pada Negara Turki

Figure
Organization