Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Para Lelaki yang Dicemburui

Para Lelaki yang Dicemburui

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Lelaki di hadapanku masih menunggu jawaban. Tatapan matanya lembut dan senyumnya tersungging tulus.

“Duhai Suamiku, seumur hidup aku menjaga diri agar jangan sampai ada seorang lelakipun yang memasuki relung hatiku selain engkau. Suamiku.” Ujarku menjawab pertanyaannya.

Kulihat senyumnya semakin mengembang. Jemarinya kuat menggenggam tanganku.

“Dan?” tanyanya.

“Eh, kok pake dan?” tanyaku balik.

“Betulkah engkau tak pernah jatuh cinta? Tak pernah punya perasaan kepada seorang lelaki pun?” Tanyanya tetap dengan nada kalem. Ah, Suamiku. Takkan mungkin aku berdusta dan mengingkari sumpah untuk menjadi muslimah qawiyyah yang hanya menyerahkan diri kepada seorang lelaki yang menjadi suaminya.

Aku memang tidak pernah menjalin hubungan jenis apapun dengan lelaki. Perjumpaanku sekarang ini adalah yang pertama dengan suamiku. Itupun  setelah kami dinyatakan sah menjadi suami istri pagi tadi. Wangi rangkaian melati yang menghiasi jilbabku menambah keberanianku untuk menjelaskan semuanya.

“Aku tidak pernah pacaran. Tidak pernah memiliki hubungan jenis apapaun dengan lelaki bukan mahram. Aku  sengaja mengunci kesucianku hanya untuk lelaki yang menjadi suamiku.” kataku tegas.

Lelaki di hadapanku menghembuskan nafas besarnya. Senyumnya semakin mengembang. Ah, wajah ini samar-samar pernah hadir dalam mimpiku. Wajah lelaki shalih.

“Tapi aku pernah jatuh cinta,” ujarku. Kulihat reaksi keterkejutannya.

“Namanya Hasan. Nama sederhana itu begitu kuat menarik perhatianku,” kutarik tanganku dari genggamannya. Kemudian kurebahkan tubuhku di atas ranjang yang ditaburi melati. Aroma wangi di mana-mana. Suamiku mengiringiku. Tercium bau yang tak kalah wangi. Ah.

“Dia lelaki sederhana. Seorang guru madrasah. Namun jangan ditanya bagaimana dia ketika berbicara. Kata-katanya sederhana. Topik pembicaraannya juga sederhana. Tapi ketika Hasan sudah berbicara, orang-orang yang mendengarnya bagai tersihir. Dia pandai mencari celah untuk bisa membangkitkan semangat orang. Tua muda, kaya miskin, orang kota ataupun desa, semua mampu direbut hatinya. Dia pandai mengarahkan umat. Dengan ketulusannya, semangatnya dan perjuangannya, umat ini dibangkitkan dari tidur panjangnya.”

“Kesibukannya yang luar biasa, jaulahnya yang merambah hingga ke dusun di puncak gunung sampai lembah dan pantai tidak membuatnya mengabaikan keluarga. Kesetiaannya kepada isteri, perhatian dan kasih sayangnya kepada anak-anaknya membuat keluarganya tak pernah merasakan kepergiannya yang bisa setiap saat. Siapa yang tak jatuh cinta kepada lelaki seperti itu?” kataku dengan nada bertanya.

“Dialah Hasan. Sang Pembangun.”

Tubuh di sampingku bergerak. Dipeluknya aku dengan erat.

“Cintaku padanya takkan pudar. Bahkan aku berharap engkau bisa menjadi Hasan bagiku. Dan umat ini.” Ujarku dengan mata dan hidung berair. Aku tak berani memandang wajah lelakiku. Kubalas pelukannya sebagai isyarat.

“Dan Yusuf. Dia pun lelaki sederhana. Aku tak pernah tertarik dengan lelaki perlente dan klimis. Yusuf ini seorang tukang kayu. Ya, tukang kayu. Tapi kalau dia sudah berbicara, jangan ditanya siapa yang tidak akan terpesona dengan argumennya. Kemampuannya mempertahankan pendapat memang luar biasa. Aku tak tahu apa ada lelaki lain yang seperti itu. Di hadapannya, engkau seolah berjumpa dengan orator ulung yang tidak hanya mempesona akalmu tetapi juga hatimu. Dia mampu menggerakkan orang, bahkan yang levelnya jauh di atasnya. Dia yang terdepan dalam membela ketidakadilan. Tidak hanya dengan kata-kata tapi dengan pembuktian. Dia memang lelaki sejati. Aku teringat kata-katanya yang tajam bernas ketika hakim yang mengadilinya mempertanyakan bagaimana dia yang seorang tukang kayu bisa mengomandoi para sarjana, pengusaha dan orang-orang hebat lainnya. Jawabnya, Nabi Nuh adalah seorang tukang kayu dan dia Nabi. Apa profesi yang lebih tinggi dari nabi?”

“Yusuf Thal’at.” Kata suamiku.

“Engkau mengenalnya?” tanyaku. Kupandang wajahnya. Dipegangnya kedua telapak tanganku dan diciuminya. Matanya menganak sungai.

“Jika Hasan Al Banna dan Yusuf Thal’at adalah lelaki yang engkau cintai. Aku rela….”

Genggaman tangan kami menguat.

“Lalu Umar. Mereka ini orang-orang besar.  Namun mereka tak sok hebat. Dengan kekuasaan dan harta yang dimilikinya mereka tetap teguh dengan kesederhanaannya.”

“Umar bin Al Khattab dan Umar bin Abdul Aziz?” terkanya.

“Dan Umar Tilmisani. Lelaki-lelaki sepanjang zaman yang akan selalu dicemburui. Lelaki yang membuktikan kelelakiannya dengan jantan. Dengan jiwa raganya dia wujudkan apa yang menjadi prinsip hidupnya.”

“Engkau,” kataku sambil mengambil nafas panjang mengumpulkan keberanian. “ingatlah mereka semua ini. Lelaki-lelaki inilah yang aku cintai. Yang kecintaannya kepada Allah dan Rasul serta jihad fi sabilillah melebihi cinta kepada dirinya sendiri dan seisi bumi. Engkau yang telah mengambil aku sebagai isteri dengan perjanjian yang kuat, dengan amanah dari Allah, jangan sekali-kali lengah dengan tiga hal ini. Karena jika engkau sampai mundur ke belakang, ingatlah bahwa ada lelaki-lelaki ini yang begitu aku cintai. Engkau harus senantiasa mencemburui mereka karena merekalah lelaki yang diidamkan para wanita dan bidadari surga. Bahkan merekapun dicemburui oleh setiap lelaki beriman pemburu syahid.”

Tatapan mata kami beradu. Air mata memburamkan pandangan kami. Namun aku yakin kami telah sependapat.

“Sekarang ini berkumpul manusia berjuta-juta di medan Rabaah Al Adawiyah untuk mendukung seorang lelaki . Lelaki yang paling dicemburui setiap mukmin saat ini karena pembelaan yang diterimanya. Pembelaan Allah SWT dan pembelaan kaum mukminin bahkan mereka yang tak seakidah juga turut membelanya karena kebersihan hatinya dan kuatnya memegang amanah. Ketinggian budinya tidak hanya kepada sesama mukmin bahkan kepada mereka yang memusuhinya. Komitmennya kepada Islam dan kegigihannya memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat dalam tanggung jawabnya membuatnya dicintai siapapun. Bahkan mereka yang memenuhi Rabaah Al Adawiyah sudah membawa kain kafannya masing-masing serta menuliskan nama-nama mereka di pergelangan tangan mereka sendiri. Agar kelak ketika syahid menjemput, orang tak susah mengembalikan mereka kepada keluarganya. Tidak cemburukah engkau kepada lelaki ini, Suamiku? Lelaki yang senantiasa membela agama-Nya maka Allah SWT yang akan membelanya.”

Wahai Muhammad, bersabarlah dengan ujian ini. Sesungguhnya kemenangan itu sangat dekat. Kesabaranlah yang menjadi obatnya. Satu tahun amanahmu bak air hujan yang membasahi tanah yang lebih dari 30 tahun kekeringan dihisap rezim Firaun.

Yaa Muhammad Mursi, Salaamun alaika.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Ibu rumah tangga dengan empat orang anak. Menyelesaikan studi master dalam bidang Solar Cell di jurusan Kimia, Fakulti Sains, Universiti Teknologi Malaysia pada tahun 2010. Aktif di Ikatan Keluarga Muslim Indonesia (IKMI) Johor, sebuah organisasi pemberdayaan TKI di Malaysia. Pengurus PIP PKS Johor. Tinggal di Johor Bahru, Malaysia.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization