Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam

Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Cover buku "Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam".
Cover buku “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam”.

Judul: Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam
Penulis: Dr. Yusuf Qaradhawi
Penerbit: Robbani Press – Jakarta
Cetakan: I; Juni 2011
Tebal: xviii + 161 Halaman; 23 cm
ISBN: 979-9078-76-8

dakwatuna.com – Salah satu tujuan utama Allah mengutus Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Sehingga, aspek akhlak ini menjadi sebuah titik sentral dalam ajaran Islam yang mulia.

Akhlak tidak bisa dipisahkan dengan aqidah. Keduanya merupakan sebuah kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan. Bahkan, baik dan tidaknya aqidah seorang muslim, bisa dilihat dengan mudah dari akhlaknya. Inilah mengapa pada suatu ketika Nabi pernah berpesan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka janganlah menyakiti tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berbicara yang baik atau diam. (HR Bukhari Muslim dari Abi Syuraih dan Abi Hurairah)

Dalam hadits tersebut, sangat jelas terlihat antara kualitas aqidah dengan akhlak seseorang. Sehingga yang paling benar aqidahnya adalah orang mukmin yang paling baik terhadap tetangganya, yang paling memuliakan tamunya, yang hanya berbicara kebaikan atau memilih diam lantaran menjaga lisannya dari ghibah, fitnah dan perkataan sia-sia lainnya.

Akhlak juga sangat terkait erat dengan ibadah. Ia merupakan buah ranum dari benarnya ibadah seorang hamba. Hal ini terlihat jelas dalam Firman Allah, “Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (al-Ankabuut: 45). Sehingga, mereka yang rajin shalatnya namun menunjukkan akhlak yang sebaliknya, maka shalatnya perlu dievaluasi. Bukan berhenti. Melainkan berusaha sekuat tenaga agar tujuan utamanya tercapai.

Terlebih lagi dalam hal perekonomian. Akhlak merupakan faktor penting yang tidak mungkin ditawar. Dan hal inilah yang menjadi salah satu bukti akan sempurnanya nilai-nilai Islam. Ia merupakan paket lengkap yang mengatur seluruh aspek. Jika akhlak diamalkan dalam perekonomian sesuai dengan yang Allah gariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah, maka umat manusia tidak akan pernah berada dalam krisis yang saat ini tengah melanda.

Karena dalam perekonomian Islam, nilai-nilai luhur terkait kemanusiaan sangatlah diperhatikan. Misalnya, tidak boleh memakan harta saudaranya secara batil, dilarang mengurangi takaran, tidak boleh menjual barang cacat tanpa sepengetahuan pembeli, monopoli tidak diberi tempat, riba’ diharamkan, dan seterusnya.

Dalam menyikapi harta, Islam mengambil sikap pertengahan. Bukan menolak harta secara ekstrim sehingga tersisih dari dunia. Ataupun menjadi hamba harta sehingga lupa mati dan menyangka bahwa dunia adalah surga bagi mereka.

Bagi kaum muslimin, harta hanyalah sarana. Agar kalimat-kalimat Allah lebih massif didakwahkan, dalam rangka mewujudkan Rahmat Islam bagi semesta. Jika hal ini sudah bisa dilakukan, maka kegemilangan yang pernah dicapai oleh generasi pertama umat ini akan segera diraih kembali.

Harta dan perekonomian juga menjadi isu sentral. Di mana saat ini, sumber-sumbernya dikuasai oleh musuh Islam. Hampir di seluruh aspek, mereka merajai. Alhasil, umat yang pernah mempunyai pemimpin sekaliber Umar bin Abdul Aziz ini, hanya menjadi pembantu. Bukan hanya di negeri musuh Islam. Bahkan, di negeri yang mayoritas muslim sekalipun.

Oleh karenanya, umat perlu dibangunkan. Apalagi, ketika fakta sudah nyata terbentang. Bahwa agama ini akan semakin kokoh dengan harta. Meskipun, tanpa harta, Allah bisa dengan mudah membuatnya tetap tak tertandingi.

Sebut saja ketika seorang muslim menikah kemudian memiliki anak. Maka tujuh hari selepas proses kelahiran sang buah hati, orang tua disunnahkan untuk melakukan aqiqah dengan satu atau dua ekor kambing. Rukun Islam yang ketiga juga terkait harta dan ekonomi, zakat. Jika seorang muslim memang ditakdirkan untuk tidak memiliki harta, mana mungkin Allah menyuruh hambaNya untuk menunaikan zakat? Begitupun dengan ibadah haji yang membutuhkan uang puluhan juta.

Sehingga bisa kita simpulkan. Bahwa semua perintah yang Allah berikan itu, apalagi yang ada kaitannya dengan harta, maka sejatinya Dia memerintahkan kita untuk menjadi kaya agar bisa melaksanakan itu semua dengan sebaik mungkin.

Yang penting dicatat, kaya bukan tujuan. Ia hanya jembatan yang harus ditempuh. Agar peribadahan kita sebagai HambaNya semakin sempurna. Hal berikutnya, harta bukanlah sumber kebahagiaan. Karena bahagia adanya dalam hati. Ia hanya bisa diraih manakala perintah Allah dilakukan secara sempurna.

Semoga umat Islam semakin memahami pentingnya harta dan bersegera menguasai aspek ini. Sehingga umat yang sejatinya kuat ini, tidak terus menerus menjadi bulan-bulanan musuh Islam. Semoga hadirnya buku ini menjadi panduan untuk itu. Selamat membaca. Karena kita punya Allah, maka semua musuh yang menyerang Islam dan kaum muslimin, tak berarti banyak dan tak mungkin mengurangi kemuliaan diin ini.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis, Pedagang dan Pembelajar

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization