Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Rasulullah Saw dan Ayat-ayat Teguran

Rasulullah Saw dan Ayat-ayat Teguran

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

al-quran solusidakwatuna.com – Lumrahnya, teguran karena ada kesalahan. Yang ditegur telah melakukan sebuah kesalahan yang menghendaki bimbingan dan tuntunan hidup sehingga tidak jatuh di kesalahan yang sama di lain waktu. Biasanya, orang yang ditegur senantiasa berusaha menyembunyikan kesalahan dan teguran itu dari orang lain, apa lagi jika teguran itu terasa keras dan pedas. Fitrah penciptaan manusia menghendaki seperti itu.

Di Al-qur’an, kerap kali dijumpai ayat-ayat teguran yang intonasi maknanya kadang terdengar lunak, kadang juga terasa keras dan pedas. Yang memukau di sini, ayat-ayat teguran tersebut terdengar lantunannya siang dan malam. Semuanya terdengar dengan jelas dan tidak satu pun dari mereka yang disembunyikan dari pendengaran dan pengetahuan. Tentunya, ini mengundang tanya: “Makna apa yang mungkin digoreskan keberadaan ayat-ayat teguran ini di Alqur’an?”

Di sini, penulis memberikan beberapa jawaban:

Pertama: yang diketahui bersama, Rasulullah Saw dikenal luas sebagai pribadi al-Amîn (yang terpercaya, punya amanah). Ayat-ayat teguran Alqur’an ini dalil lain dari amanah Rasulullah Saw dalam mengemban penyampaian wahyu. Seandainya Rasulullah Saw tidak punya amanah, ayat-ayat ini mungkin ditutup-tutupi dari pendengaran, sehingga Rasulullah Saw nampak seperti pribadi istimewa yang suci dari kesalahan-kesalahan seperti layaknya manusia biasa.

Kedua: justru keistimewaan Rasulullah Saw di sini, fitrahnya yang melangkahi jauh apa yang diprediksikan akal. Dia justru melantunkan sendiri ayat-ayat ini di pendengaran sahabat tanpa rasa berat dan malu sebelum mereka melantunkannya.

Ketiga: ayat-ayat teguran ini menunjukkan kehambaan mutlak Rasulullah Saw di hadapan kebesaran mutlak Allah yang Maha Agung. Inilah yang mendasari Rasulullah Saw untuk tidak berat memperdengarkan ayat-ayat ini di pendengaran sahabat-sahabatnya. Hal ini menanamkan  pelajaran besar bahwa ketinggian derajat hamba di sisi Allah SWT lebih ditentukan oleh sejauh mana hamba tersebut mengakui kehambaannya yang ditafsirkan lewat manifestasi-manifestasi ibadah.

Keempat: ayat-ayat teguran ini bukti nyata keotentikan Alqur’an yang senantiasa kemurniannya terpelihara sepanjang zaman. Rasulullah Saw sekedar penerima dan penyampai wahyu yang jauh dari pengaruh hawa nafsu untuk melakukan perubahan sedikit pun. Semuanya disampaikan seperti apa yang datang tanpa ada pergeseran redaksi.

Kelima: fitrah penciptaan Rasulullah Saw senantiasa tunduk di bawah hukum kausalitas Allah SWT. Kesalahan diperbuat, teguran pun datang. Ini bukti nyata atas pribadi kehambaan yang dimilikinya, seperti manusia lain. Olehnya itu, tidak ada yang menuhankan Rasulullah Saw dari umatnya, seperti umat-umat lain yang memberikan nabi-nabi mereka derajat ketuhanan yang sepatutnya tidak terjadi.

Keenam: Rasulullah Saw ditegur Alqur’an karena kebijakannya menyalahi apa yang sepatutnya diambil dalam sebuah kasus. Kesalahan itu lahir dari ijtihad murni yang jauh dari hawa nafsu. Olehnya itu, ijtihad Rasulullah Saw di sini tidak keluar dari jalur ijtihad yang digariskan oleh hadits Rasulullah Saw yang menegaskan bahwa yang sesuai hukum ijtihadnya dengan ketetapan Allah SWT di kasus tersebut akan mendapatkan dua pahala, dan bagi yang menyalahinya hanya satu pahala saja. (riwayat secara makna dari hadits Amru bin al-Ash di Shahîh Imam Muslim).

Di antara ayat-ayat teguran tersebut yang terdengar lunak, At-Taubah[9]: 43([1])

)عَفَا اللَّهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ)

Di sini, teguran Alqur’an terasa lembut sejak dari awal. Ini ditandai dengan kalimat pertama yang diawali dengan (عَفَا اللهُ عَنْكَ), yang artinya: “Allah SWT telah memaafkanmu wahai Muhammad.” Yang demikian itu karena Rasulullah Saw mengizinkan sebagian sahabat untuk tidak ikut serta di perang Tabuk (perang yang harus menempuh perjalanan panjang di musim panas). Sebelum mereka diizinkan, Rasulullah Saw meminta mereka bersumpah atas kebenaran alasan mereka. Di antara para sahabat tersebut yang berjumlah lebih 80: Ka’b bin Mâlik, Marârah bin ar-Rabî’e, dan Hilâl bin Umayyah al-Wâqifi. Rasulullah Saw ditegur halus Alqur’an karena dia memberikan izin tersebut tanpa mencek-up lebih lanjut kebenaran ucapan mereka. Di sini, Rasulullah Saw dituntut untuk lebih waspada menerima keterangan-keterangan mereka, tidak tergesa-gesa mengambil hukum, teliti dan cermat memfatwakan hukum sesuai dengan kondisi yang ada, dan tidak dikelabui oleh lahiriah mereka saja. Olehnya itu, Alqur’an menganjurkan Rasulullah Saw untuk tidak mengizinkan mereka kecuali telah nampak olehnya yang benar dari yang bohong.

Teguran lain dari Alqur’an yang terlihat lembut, At-Tahrîm[66]: 1

(يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ).

Ada beberapa sebab yang disebutkan ahli tafsir dari turunnya ayat ini. Yang sah dari sebab itu riwayat pertama dari Sayyidah Aisyah RA di Shahîh Imam Bukhâri([2]) dan Imam Muslim([3]) yang meriwayatkan janji Rasulullah Saw kepada Sayyidah Aisyah RA dan Sayyidah Hafsah RA untuk tidak minum madu yang kedua kalinya di rumah Sayyidah Zaenab binti Jahsyen. Rasulullah Saw mengucapkan janji tersebut demi meredam kecemburuan kedua istrinya tersebut.  

Sebab lain yang disebutkan, hadits riwayat Sayyidina Anas RA di Sunan Imam An-Nasâi,([4]) as-Sunan al-Kubra Imam al-Baihaqi,([5]) dan al-Mustadrak Imam Hakim([6]) yang meriwayatkan janji Rasulullah Saw kepada Sayyidah Aisyah RA dan Sayyidah Hafsah RA untuk tidak menggauli kembali istrinya Mariyah al-Qibtiyyah, ibu Ibrahim. Rasulullah Saw mengucapkan janji tersebut untuk meredam kecemburuan kedua istrinya tersebut.

Olehnya itu, Syekh Ibn Hajar di “Fathul Bâri”([7]) Imam as-Suyuti di “Iklîl fi Istinbhat at-Tanzîl”([8]), dan Imam as-Syaukâni di tafsirnya “Fathul Qadîr([9]) menghitung sah kedua kemungkinan tersebut sebagai sebab turunnya ayat ini.

Hematnya, sebab apa pun yang dijustifikasi sebagai sebab turunnya ayat ini, Rasulullah Saw ditegur halus dengan panggilan kenabian (يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ) yang artinya: ”wahai Nabi.” Ini yang diamini penafsirannya Syekh al-Alusi di tafsirnya “Ruhul Maâni.” Di lain sisi, Imam ar-Râzi di tafsirnya melihat (لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكَ) yang artinya: “mengapa engkau (nabi Muhammad Saw) mencegah dirimu untuk mendatangi apa yang dihalalkan Allah SWT untukmu,” ia melihat pertanyaan ini menyiratkan penyangkalan keras yang menyesalkan Rasulullah Saw  mengeluarkan pernyataan tersebut.

Hemat penulis, kedua teguran tersebut dapat dipadukan. Rasulullah Saw ditegur halus sebelum datangnya teguran kedua yang terdengar keras dan pedas, sehingga Rasulullah Saw siap mendengarkan pesan-pesan teguran tersebut.

Jadi, Alqur’an menegur Rasulullah Saw dengan teguran tersebut karena mencegah dirinya mendatangi apa yang dihalalkan Allah SWT. Karena Rasulullah Saw menyalahi hukum Allah ini, ia ditegur, sehingga dengan sendirinya akan menjadi pelajaran besar terhadap umatnya untuk tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari.

Sementara itu, yang berintonasi keras dan pedas dari ayat-ayat teguran Alqur’an, Al-Anfâl[8]: 67-69

(مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ @ لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ @ فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ).

Di sini, teguran Alqur’an terasa keras dan pedas sejak dari awal yang diawali dengan مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ أَسْرَى)), yang artinya: “tidak sepatutnya Nabi Saw punya tawanan.”

Rasulullah Saw ditegur karena ia lebih memilih tebusan dari 70 pembesar orang-orang musyrik yang ditangkap di perang Badar seperti yang diusulkan mayoritas sahabat, termasuk Sayyidina Abu Bakar RA, dan tidak mengeksekusi mereka seperti yang diusulkan Sayyidina Umar RA.

Rasulullah Saw memutuskan hal tersebut dengan pelbagai pertimbangan:

  1. Masyarakat Islam di Madinah kala itu butuh kekuatan ekonomi untuk menguatkan stabilitas keamanan dan integritas negara mereka yang terancam ronrongan musuh. Olehnya itu, Rasulullah Saw memutuskan mengambil uang tebusan sebagai jaminan kebebasan mereka. Di samping itu, uang tebusan tersebut membantu penyediaan fasilitas-fasilitas jihad yang senantiasa butuh pembenahan.
  2. Rasulullah Saw senantiasa mengharapkan keislaman mereka dan keislaman keturunan mereka. Olehnya itu, Rasulullah Saw lebih memilih opsi pertama.
  3. Opsi pertama ini lebih ringan dari opsi kedua yang secara lahiriah nampak keras dan tidak berprikemanusiaan, mengeksekusi mereka semua. Olehnya itu, Rasulullah Saw lebih memilihnya, melihat fitrah penciptaannya yang lebih memilih opsi yang paling ringan dari pelbagai opsi yang ada di sebuah kasus.

Sementara itu, Hukum Allah SWT menghendaki Rasulullah Saw memilih opsi kedua. Yang demikian itu karena dengan terbunuhnya pembesar-pembesar musyrikin, Kekuatan Islam akan ditakuti, kalimat Allah SWT tinggi berkibar tidak terkalahkan, dan mencegah musuh Islam berpikir yang kedua kalinya untuk melakukan invasi militer. Olehnya itu, Rasulullah Saw ditegur Alqur’an karena ijtihadnya menyalahi apa yang sepatutnya di ambil dalam kasus ini.

Kasus ini mengingatkan kita beberapa pelajaran mendasar dalam meniti kehidupan, di antaranya:

Pertama: orang-orang yang lebih mengedepankan kehidupan dunia atas akhirat berhak mendapatkan teguran, sehingga mereka kembali ke jalan yang lurus.

Kedua: sesungguhnya taufiq dari Allah Saw semata, manusia hanya berusaha, kadang benar dan kadang juga salah.

Ketiga: para sahabat boleh berijtihad di hadapan Rasulullah Saw jika mereka diminta.

Teguran lain Alqur’an yang bernada keras, Q.S. Al-Ahzab[33]: 37-38([10])

(وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا @ مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ ۖ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا).

Ayat ini turun menegur Rasulullah Saw yang menyembunyikan berita Allah SWT yang memberitahunya bahwa ia akan menikahi Zaenab setelah ditalak suaminya, Zaid, anak angkatnya sendiri. Yang demikian itu takut dicela musuhnya yang mengharamkan orang tua angkat menikahi istri anak angkat yang telah ditalaknya sesuai dengan adat jahiliah yang berlaku pada saat itu. Namun, ijtihad Rasulullah Saw ini ditegur langsung firman Allah:

(وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ).

Di sini Rasululllah Saw sepatutnya memberitahu Zaid apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya, tanpa menunda pemberitaan tersebut hanya karena didasari pertimbangan di atas.

Hematnya, kisah teguran ini menanamkan pelajaran-pelajaran besar terhadap umat ini, di antaranya:

Pertama: ayat teguran ini membatalkan adat jahiliah yang memberikan anak angkat hak-hak nasab, seperti: hak waris, hukum nasab, dan yang diakui hanyalah nasab sah yang jelas.

Kedua: keistimewaan Rasulullah Saw di sini, Sayyidah Zaenab RA dinikahinya tanpa akad dan mahar karena yang menikahkannya dengan Rasulullah Saw adalah Allah SWT secara langsung dari langit.

Yang tidak kalah keras dan pedasnya, teguran Q.S. Abasa:[80] 1-11

)عَبَسَ وَتَوَلَّى @ أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ @ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى @ أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ @ أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ @ فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى @ وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ @ وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَىٰ @ وَهُوَ يَخْشَىٰ @ فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ @ كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ (

Karena Rasulullah Saw mengedepankan maslahat umum dari maslahat pribadi, ia bermuka masam dan memalingkan mukanya dari Abdullah bin Ummi Maktum yang datang meminta fatwa agama yang terkait langsung dengan dirinya dan lebih memilih bertatap muka dengan pembesar orang-orang musyrik yang datang meminta tausiah tentang kebenaran agama Islam. Rasulullah Saw melihat titik cerah dan harapan besar terhadap kemenangan Islam dari kedatangan mereka, ia mengharap kedatangan itu menjadi kunci keberhasilan tersebarnya Islam di pelosok tanah Arab. Namun, Alqur’an melihat lain, benih-benih keimanan yang mengakar kuat di hati Abdullah bin ummi Maktum jauh lebih bernilai di sisi Allah SWT dari mereka yang datang membawa hati batu mendengarkan tausiah Rasulullah Saw. Bukankah pengikut besar para nabi-nabi Allah di awal mula syariat islam tersebar adalah para fakir-miskin? Bukankah pembangkan itu datang dari mereka yang menamakan diri orang-orang berwawasan luas, elit, dan berstatus sosial tinggi, sementara itu, akal mereka picik dan hati mereka pun membusuk. Karena Rasulullah Saw menyalahi apa yang dikehendaki Sunnah Allah tersebut, ia ditegur keras kumpulan ayat di atas.

Di antara pelajaran-pelajaran besar yang dihembuskan kumpulan ayat teguran ini:

Pertama: alqur’an ingin membimbing Rasulullah Saw untuk lebih memerhatikan sahabat yang punya akal sehat dan cemerlang yang ingin menimba ilmu Islam lebih mendalam lagi dari pada mereka yang datang dengan hati mati dan akal yang dipenuhi kecongkakan dan kesombongan.

Kedua: hidayah Allah SWT tidak melihat status sosial seseorang, tetapi Allah SWT memberi hidayah kepada siapa saja yang dikehendakinya. Di samping itu, dakwah Islam membumi dan mendunia, serta tidak membeda-bedakan derajat sosial kemasyarakatan seseorang.

Ketiga: alqur’an bukan kitab yang sengaja diturunkan untuk memuji atau mencela, tetapi ia merangkai kisah menjadi cermin kehidupan yang membiaskan makna-makna hidup yang kaya dan mulia. Olehnya itu, pelaku dari kata kerja di ayat ini: عَبَسَ وَتَوَلّى)) tidak disebutkan, meskipun yang disepakati bersama bahwa pelakunya adalah Rasulullah Saw.

Di penghujung tulisan ini, saya mengajak pecinta dan perindu Rasulullah Saw menyuarakan kesimpulan berikut:

“Meskipun Rasulullah Saw punya super keistimewaan di luar dari apa yang dimiliki umatnya, tetapi umat ini punya hak mengetahui batas-batas kemanusiaan Rasulullah Saw. Ayat-ayat teguran di atas merupakan indikasi kuat dari matinya suara-suara yang menuntut Rasulullah Saw untuk dipertuhankan seperti saudaranya Nabi Isa As. Di lain sisi, ayat-ayat teguran tersebut bukti kuat kejernihan dan kemurnian Alqur’an yang senantiasa terjaga abadi dari hawa nafsu manusia yang terdorong melakukan perubahan terhadapnya. Alqur’an bukan perkataan Muhammad atau hasil belajar-mengajar antara Rasulullah Saw dengan ahli kitab seperti yang disuarakan sebagian orientalis. Seandainya demikian, tentu Rasulullah Saw menyembunyikan kelompok teguran tersebut yang kadang terdengar keras dari pendengaran kita. Akan tetapi, ayat ini terlihat manis memperkaya makna-makna kemanusiaan dan kehambaan Rasulullah Saw yang menanamkan pesan-pesan sosial yang hidup dan hikmah-hikmah kehidupan yang menyegarkan. Kemudian, mereka pun menjadi dalil hidup lain terhadap panggilan Rasulullah Saw sebagai hamba yang paling terpercaya (الأَمِيْن)

#######



([1])Masalah ini telah dikaji di tesis kami yang berjudul

موقف القرآن من اجتهاد الرسول e (دراسة أصولية تفسيرية(

Respon Alqur’an terhadap Ijtihad Rasulullah Saw (perspektif Ushul Fiqih dan Tafsir)” yang digelar di sidang terbuka di Auditorium Syekh Abdul Halim Mahmud, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, pada tanggal 10 Oktober 2010.

([2])   Kitab Tafsir, bab (يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكَ), hadits. No: 4912, hlm. 1367, kitab Thalaq, bab (لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكَ), hadits. No: 5267, hlm. 1464

([3])  Kitab Thalaq, bab Wujub al-Qaffarah ala Man Harrama Imraatah wa lam Yanwi at-Thalaq, hadits. No: 3751, hlm. 736

([4])   Kitab Isyrah an-Nisâ’I, bab al-ghirah, hadits. No: 3959, hlm. 612

([5])   Kitab al-Khul’I wa at-Thalaq, bab Man Qala li Amatih: “Anti alayya Harâm la Yurîdu Itâqan, hadits. No: 15076, 7/578

([6])   Kitab at-Tafsîr, bab Tafsîr Surah at-Tahrîm, hadits. No: 3881, hlm. 580

([7])   Vol. 8, hlm. 658

([8])   hlm. 269

([9])   vol. 5, hlm. 250

([10]) Masalah ini telah dikupas jelas di tulisan kami “Jauhkan Tangan-Tangan Jahil Anda dari Kesucian Rasulullah Saw” yang dimuat di: https://www.dakwatuna.com/2012/12/25651/jauhkan-tangan-tangan-jahil-anda-dari-kesucian-rasulullah-saw/

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pensyarah antar-bangsa (Dosen) Fakulti Pengajian Alqur'an dan Sunnah, universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Degree, Master, Phd: Universiti Al-Azhar, Cairo. Egypt

Lihat Juga

Perlunya Belajar Tafsir Al-Qur’an Bagi Setiap Muslim

Figure
Organization