Topic
Home / Berita / Opini / Defisit Politik Partisipatif

Defisit Politik Partisipatif

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – Menjelang bergulirnya perhelatan demokrasi elektoral masih belum tampak gemerlap seremonial dimata pemilih. Budaya politik partisipatif masyarakat terhadap perhelatan akbar ini terkesan kurang mengusik hati para pemilih padahal ritual elektoral ini menyangkut masa depan bangsa, bahkan sebagian masyarakat tidak peduli dengan keberlangsungan proses ritualisasi politik elektoral.

Baru-baru ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis daftar calon sementara (DCS) yang akan menjadi wakil rakyat di legislatif. Namun sampai batas akhir penutupan pengaduan masyarakat terhadap wakil rakyat yang bermasalah terlihat minimnya respon dan partisipasi publik. Padahal KPU telah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi publik untuk dapat mengkritisi rekam jejak para calon wakil rakyatnya. Sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan bila direlasikan keinginan semua pihak untuk dapat mengawal proses politik elektoral dengan baik. Fenomena menurunnya partisipasi publik atau defisit politik partisipatif terhadap tahapan penyelenggara pemilu menunjukkan menguatnya gejala deparpolisasi dan krisis representasi dimata publik. Bisa jadi publik telah jenuh dengan proses ritualisasi politik elektoral yang saban hari belum juga memberikan dampak yang berarti bagi kehidupan mereka.

Padahal dalam survei Kompas dengan populasi pemilik telepon menunjukkan 86,6 persen pemilih menginginkan partai politik untuk mengumumkan rekam jejak calon anggota legislatif, hanya 11,0 persen yang menyatakan tidak perlu dan sisanya tidak tahu, ini semakin membuktikan publik menginginkan caleg yang berani mengunggah rekam jejaknya di hadapan publik.

Beberapa Kendala

Menurunnya politik partisipasi dikalangan masyarakat dalam mengkritisi daftar caleg sementara ditenggarai bukan semata-semata menguatnya gejala deparpolisasi ditengah masyarakat, namun sepak terjang lembaga penyelenggara pemilu terutama kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) turut juga dimintai pertangungjawabannya. Ada beberapa hal yang melandasi menurunnya partisipasi publik terhadap daftar caleg sementara.

Pertama, menurunnya kinerja KPU dalam upaya mensosialisasikan DCS disemua tingkatan. Format dan skema sosialisasi DCS oleh KPU masih terkesan kurang menarik hati publik. Gaya (style) KPU dalam mensosialisasikan DCS masih bersifat konvensional. Tidak ada sebuah gebrakan dan inovasi baru untuk menggugah hati pemilih agar terlibat lebih aktif dalam mengkritisi caleg bermasalah yang telah terdaftar dalam DCS. Malah dibeberapa daerah KPUD enggan untuk mempublikasikan DCS di media massa lokal. Bila daftar DCS saja enggan untuk dipublikasikan apalagi menyangkut rekam jejak atau riwayat hidup para caleg.

Kedua, aturan KPU mengenai mekanisme tanggapan terkesan seperti pasal karet, artinya tanggapan yang dapat diproses masih seputar keabsahan persyaratan administrasi pencalonan, padahal belum tentu caleg yang baik secara administratif juga memiliki rekam jejak integritas dan moralitas yang baik. Wajar bila selama ini tanggapan yang masuk ke KPU hanya sebatas pada penggunaan ijazah palsu, caleg yang masih berstatus pegawai negeri sipil, KTP kadaluarsa, sampai urusan pernikahan tidak sah dan poligami.

Ketiga, belum jelasnya jaminan kerahasiaan yang diberikan oleh KPU kepada setiap pelapor, sebab selama ini KPU selalu berujar bahwa setiap tanggapan harus diikuti oleh identitas pelapor dan KPU akan memberikan jaminan kerahasiaan identitas pelapor. Hal ini dimaklumi agar meminimalisi pengaduan yang bersifat dibuat-buat namun tetap saja publik menilai hal ini rawan kebocoran. Lain halnya bila KPU mengunakan model anomin. Pelaporan model anonim sedikit banyak akan mampu membawa publik merasa lebih berani dalam mengkiritisi DCS yang telah terdaftar.

Keempat, banyak caleg yang tidak mau riwayat hidupnya dipublikasikan. Menurut Litbang Kompas, PPP menjadi partai terbesar (109 caleg) yang keberatan bila riwayat hidupnya (curriculum vitae) dipublikasikan secara umum termasuk Okky Asokawati. Diikuti oleh Partai Gerindra dengan 14 caleg yang salah satunya Irawan Ronodipuro. Kemudian partai Golkar ada 7 caleg termasuk generasi cendana Siti Hediati Soeharto, PKB 5 caleg, Partai Demokrat 2 caleg, Partai Hanura 1 caleg dan Partai Nasdem 1 caleg yang keberatan jika CV-nya diunggah di situs KPU. Ditambah lagi ada sekitar 2.100 caleg atau 32 persen caleg yang beralamat DKI Jakarta tetapi mencalonkan diri dari wilayah diluar Ibu Kota, sehingga publik merasa ragu caleg tersebut akan mampu menjadi wakil mereka dilegislatif. Untuk hal yang satu ini semua parpol terkesan tidak peduli dengan maraknya gaya sentralistik dan elitis, padahal bila parpol lebih mementingkan potensi putra daerah bisa dijamin akan terjalin hubungan yang harmonis antara caleg dan konstituennya.

Epilog

Guna membangkitkan kembali budaya politik partisipatif publik dalam kontestasi demokrasi peran serta partai politik mutlak diperlukan. karena setiap tanggapan yang masuk ke KPU akan bersifat sia-sia bila tanggapan yang masuk akan dikembalikan kepada parpol pengusung. Padahal bila dilihat dari proses seleksi caleg nuansa politik transaksional masih sangat kental, sehingga dipastikan parpol sangat sulit untuk mendelete caleg yang bermasalah.

Publik akan respek pada partai politik yang tegas dan tidak memberi tempat kepada sosok yang bermasalah untuk tidak dicalonkan. Sebab, bagaimana bisa mengagregasi kepentingan rakyat jika suka korupsi, melanggar HAM, menonton film porno saat sidang, malas mengikuti sidang untuk membicarakan nasib rakyat, menjaga jarak dengan rakyat dan bahkan sering melakukan politik hipokrit yaitu bertindak tidak sesuai dengan ucapan. Bila alasan caleg tidak mau mengunggah riwayat hidupnya karena ada persoalan mendasar terkait tujuan dan motivasinya sebagai caleg maka caleg seperti ini tidak layak menjadi wakil rakyat.

Akhirnya budaya politik partisipatif dikalangan masyarakat harus terus dikumandangan oleh semua simpul pro demokrasi dalam mengawal proses penyelenggaraan pemilu, sehingga rakyat tidak dipaksa memilih kucing dalam karung. Memilih caleg yang berani mengunggah rekam jejaknya akan lebih baik dibanding caleg pesohor namun selalu menutup diri dan menjaga jarak dengan rakyat.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Peneliti Partai Politik di Bulaksumur Empat Research dan Consulting (BERC) Yogyakarta, Penganjur Sholat Dhuha.Twitter :@Bimotry dan Pendiri Penerbit BIMOTRY

Lihat Juga

Rusia: Turki Maju sejak Erdogan Memimpin

Figure
Organization