Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Permadani Surga

Permadani Surga

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

downloaddakwatuna.com – Suara rintik hujan yang sedari pagi belum berhenti, menemani zahrah menghabiskan waktu liburnya di kamar, hari itu sekolah sedang libur. Seharian ia betah di kamar, sesekali ia mengulang hafalannya sedang sisanya ia habiskan untuk melamun, akhir-akhir ini ia sedang banyak pikiran. Di tengah riuh rendah suara rintik hujan di luar, suara halus ibunya memecah lamunannya. Ibu Zahrah mengetuk pintu perlahan. tok.. tok..

“Zahrah, bisa bantu ibu membungkus nasi, nak? Maaf, kalau ibu mengganggu mu.”

“Ibu,” sahut Zahrah lembut, ia memutar badan ibunya sehingga membelakanginya lalu memeluknya sayang dan melanjutkan ucapannya,

“apanya yang mengganggu? Justru Zahrah yang harus meminta maaf karena daritadi Zahrah sibuk sendiri di kamar. Zahrah ngerti kok kalau nasi itu adalah satu-satunya ikhtiar kita untuk menyambung hari, dan sudah kewajiban Zahrah untuk membantu ibu, bukankah ibu dan anak adalah partner yang hebat? Jadi, ayo bu, Zahrah bantu.” Tandasnya sembari mengecup lembut pipi ibunya, ibunya pun terharu melihat kedewasaan berpikir serta keikhlasan anaknya itu.

Sejak kecil Zahrah sudah harus puas dibesarkan hanya dengan kasih sayang ibunya, karena ayahnya meninggal saat ia belum genap 1 tahun menghirup udara bebas di dunia ini. Ayahnya, sosok hebat yang tak pernah ia hafal raut wajahnya itu, meninggal karena kanker otak dan sejak saat itulah ibunya berjuang sendiri membesarkan Zahrah sampai sekarang. Ibunya membanting tulang siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua. Keterbatasan biaya dan minimnya kemampuan menjadikan pekerjaan sebagai penjual  nasi di sepanjang jalur peron stasiun kereta di dekat rumahnya sebagai satu-satunya ikhtiar yang bisa ibunya lakukan demi menyambung hari-hari mereka, meskipun demikian ibunya selalu mengajarkan Zahrah untuk bersyukur terhadap nikmat apapun yang Allah berikan kepada mereka.

Zahrah dilahirkan dengan kondisi ekonomi keluarga yang susah, ibunya tak punya sanak saudara yang bisa dimintai bantuan karena mereka pun mempunyai kondisi ekonomi yang sama sulitnya. Ditengah kondisi seperti itu, ibu zahrah bertekad kuat ingin menjadikan anaknya seseorang, yang bisa membantu orang-orang yang membutuhkan, dan yang terpenting ia ingin menjadikan anaknya seorang hafidzah Al-Qur’an suatu hari nanti. Keinginan untuk menjadikan Zahrah sebagai hafidzah Al-Qur’an ini datang bukan tanpa alasan, karena hal ini merupakan wasiat yang disampaikan oleh ayah Zahrah sebelum ia meninggal. Nama Zahrah, adalah sebuah doa yang dipanjatkan oleh ayahnya, Zahrah Hafidzah, maka dari itu ayahnya mengharapkan Zahrah bisa menjadi hamba yang menjaga hafalan Al-Qur’annya dengan dibalut keindahan dalam setiap bacaanya kelak. Tahun demi tahun dilalui Zahrah dengan penuh ketekunan dan kesungguhan untuk menghafal ayat-ayat Allah. Ia sadar amanah yang ayahnya berikan kepadanya bukan merupakan hal yang mudah, karena hanya orang-orang pilihan dan yang berazam kuatlah yang bisa menjadi menjadi ahli Qur’an. Pada saat ayahnya menitipkan wasiat terakhirnya kepadanya, ia tahu dengan usianya yang tak panjang, Zahrah lah yang menjadi satu-satunya harapan untuk bisa menunaikan mimpinya yang belum bisa ia wujudkan. Ia ingin anaknya kelak mendapat tempat yang mulia di hadapan Allah dan Rasulullah dengan menjadi seorang penghafal Al-Qur’an.

***

Sepuluh menit berlalu sejak ibunya meminta Zahrah membantunya membungkus semua nasi yang akan ia jual hari itu.

“Nasinya udah selesai dibungkus nak, kamu boleh kembali ke kamarmu.” Kata ibunya.

“Lho kenapa bu? Zahrah mau sekalian bantu ibu jualan.” Jawabnya.

“Gak usah nak. Biar ibu aja yang pergi. Kamu lanjutin hafalanmu saja ya? Nanti malam kan kamu ada ujian hafalan toh?” ibunya menolak, halus.

“Oh, itu, Ah.. tenang aja bu, Zahrah bisa kok muraja’ah sambil jualan. Dulu juga para sahabat bisa hafal 30 juz dalam kondisi perang,  bahkan mereka mampu menjaga hafalannya. Zahrah malu dong bu, kalau tidak bisa seperti mereka, hehehe. Apalagi, Zahrah ingin mendapat posisi yang terhormat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat dengan menghafal Al-Qur’an, jadi insyaAllah, Zahrah bisa tetap membantu ibu berjualan sambil tetap menghafalkan ayat-ayat Allah Yang Mahaindah itu.” Zahrah mengakhiri kalimatnya dengan seutas senyum. Ibunya ikut tersenyum, kecut.

“Hh.. iya nak, ibumu ini sekarang menyesal karena dari kecil tidak pernah belajar membaca Al-Qur’an, apalagi bisa berusaha menghafal sepertimu. Ibu baru ada kesempatan belajar Al-Qur’an setelah menikah dan mengenal ayahmu.” Ia menerawang jauh. Zahrah paham, ibunya dilahirkan di keluarga yang tidak begitu kental ajaran agamanya, berbeda dengan keluarga ayahnya. Zahrah mendekati ibunya, merangkulnya dari samping dan membisikkan kalimat penghibur bagi ibunya.

“Tidak apa-apa bu, yang penting sekarang ibu terus istiqamah belajar. Allah Mahatahu kok mana hambaNya yang mau berusaha, mana yang tidak. Bukankah nanti Allah melihat dari usaha yang sudah kita lakukan, proses yang telah kita lalui, dan bukan pada hasil yang telah kita capai? Pokoknya, terus berusaha bu, karena orang yang tak memiliki hafalan Al-Qur’an itu diibaratkan sebagai gubuk kumuh yang nyaris roboh. Apalagi, buat orang yang tidak mau belajar sama sekali, hehehe..”  mendengar jawaban Zahrah, ibunya tersenyum. Ia mengelus rambut anaknya yang kini mulai panjang itu.

“Melihat sifatmu yang teguh itu, mengingatkan ibu pada ayahmu nak.. kamu mirip sekali dengan dia.. semangatnya menular ke kamu, jika saja ia masih hidup, ia pasti akan sangat bangga melihatmu sekarang, tapi.. sayang, Allah berkehendak lain.” Air mata ibunya menetes. Ia kembali terkenang suami yang sangat ia cintai itu. Zahrah melepaskan rangkulannya, ia menatap ibunya lembut.

“Husssssshhhh.. ibu, jangan pernah menyalahkan kehendak Allah bu.. ikhlaskan bu, pasti ada hikmah dibalik apa yang sudah menjadi kuasa-Nya.”

“Uhm.. iya, Astaghfirullahal adzim.” Ibunya beristighfar, tapi kabut masih bergelayut di matanya. Zahrah kembali memeluknya dan mengatakan,

“lagian, aku kan anak ayah dan ibu, wajarlah kalau ada sifatku yang mirip dengan ayah, sama halnya ada sifatku yang sama persis seperti ibu. Ibu tahu apa?” Zahrah mencoba berteka-teki, berharap bisa membuat ibunya tersenyum.

“Apa nak?” jawab ibunya bingung.

“Zahrah sama pandai memasaknya seperti ibu, hehehe.” Jawabnya ringan.

“Ah, kamu bisa saja nak..” ibunya ikuttersenyum mendengar jawaban Zahrah. Zahrah lega ia bisa mengembalikan senyuman ibunya, ia menengok ke arah jendela, hujan sudah reda.

“Eh, hujannya udah berhenti tuh bu,  kita berangkat sekarang? Ntar nasinya keburu dingin lagi.. terus gak laku, gak ada pembeli, terus kita mau makan apa hari ini?” tanyanya beruntun dengan sorot mata bercanda.

“Oh iya, yaudah kita berangkat sekarang. Zahrah tolong bantu ibu bawa ember ini keluar ya, ibu mau mengunci pintu belakang dulu.”

Your request is my honor, Ma’am…” ia menjawab dengan bahasa inggris yang fasih, ibunya hanya geleng-geleng kepala. Zahrah tertawa, selain mendengarkannya mengaji, ia tahu ibunya juga selalu senang mendengarnya berbahasa inggris, meskipun ibunya itu tidak begitu paham dengan apa yang ia katakan.

Sekembalinya ibunya dari mengunci pintu, mereka berdua kemudian berjalan menuju stasiun kereta kecil yang berada tak jauh dari rumah mereka. Senja menjemput hari, seharian menjajakan nasi, tak terasa waktu sore hari telah menjelang. Ibunya mengemasi barang dagangannya yang hanya tersisa beberapa bungkus dan segera pulang. Hari ini ia ingin mengantar anaknya untuk ujian hafalan Al-Qur’an yang merupakan ujian terakhir bagi anaknya itu sehingga bisa menjadi seorang hufazd Al-Qur’an.

“Alhamdulillah, hari ini jualannya lumayan, hari libur banyak orang ditempat ini. Ayo, kita balik ke rumah!”

“Kita? Tumben gak sampai maghrib seperti biasanya bu? Ibu gak mau sekalian menjual nasinya sampai habis, masih ada beberapa itu bu. Gak sayang ya?”

“Hehe, gak papa. Ini beberapa udah dipesan sama Bu Sarni, sisanya ibu mau kasih ke teman-temanmu. Ibu juga sudah masak buat ustadzahmu. Ibu mau ikut kamu ujian hafalan. Ibu ingin lihat anak ibu menjadi seorang hufazdh Al-Qur’an hari ini.”

“Iiihh, ibu ini lebay bin alay ah, banyak anak-anak kecil di palestina yang sudah hafal jauh lebih baik dari Zahrah, dan orang tuanya biasa aja, gak perlu sampe nganter-nganter ngeliatin anaknya ujian segala.” Jawab Zahrah gemas, ia senang karena ibunya begitu memperhatikannya, tapi ia juga tidak mau merepotkan ibunya.

“Mereka dan ibu kan berbeda, nak.. kalau mereka, gimana orang tuanya bisa nganter, kalau banyak di antara mereka yang orang tuanya sudah meninggal karena serangan roket Israel? Kamu? Kamu masih ada ibu yang sehat wal afiat dan sangat ingin melihatmu menjadi seorang hufadz..”

“Ehm, yauda deh ibu boleh ikut, hehehe.. tapi, Zahrah mau kasih tahu ibu, kalau di Palestina itu banyak anak-anak hafal Al-Qur’an bukan sekedar untuk mendapat gelar hufadz, tujuan mereka benar-benar ikhlas ingin menjadi ahli Al-Qur’an dan keluarga Allah ditengah kondisi Negara yang diporak-porandakan laknatullah Israel, coba bandingkan dengan anak-anak muda di negeri kita ini, ditengah kondisi Negara yang damai, aman, dan tenteram ini? Beda jauh kan bu? Banyak dari mereka malah lebih sibuk dengan lagu-lagu band-band alay yang biasa tampil di stasiun-stasiun televisi. Mereka lebih hafal ratusan lirik lagu-lagu band yang isinya cinta-cintaan, lebih banyak menghabiskan waktu buat nonton boyband ama girlband daripada mendengarkan murottal Al-Qur’an padahal kesempatan mereka untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan anak-anak di palestina. Kenyataan yang ada di Negara kita ini sungguh ironi, kan bu? Katanya Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar tapi usaha masyarakatnya untuk menjalankan dan mengamalkan perintah agamaNya masih sangat minim.” Cerocos Zahrah. Ibunya hanya mampu tersenyum simpul, ia paham betul, Zahrah akan sangat berapi-api jika sudah menyangkut masalah penerapan ajaran agama yang masih sangat minim di Indonesia.

“Hafalnya paling surat Al-Fathihah saja, begitu kan?” Ibunya menambahkan dengan perkataan yang sering diucapkan zahrah ketika mengkritik kondisi anak muda sekarang.

“Hehehehe, iya. Dan, banyak dari mereka yang malah lebih hafal kata-kata You know me so well, girl I love you, girl I need you…  atau kalau gak Baby i love you, love you love you so much. Anak manis makan sayur lodeh, miris deh… begini ini kalau firman Allah mulai dikesampingkan.” Sambung Zahrah berapi-api, ia menambahkan penekanan dalam pantun singkat yang ia ucapkan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ibunya tersenyum, ia tahu Zahrah benar, dalam hati ia bersyukur Zahrah termasuk salah satu dari sedikit anak muda di Negara ini yang tidak larut dalam pergaulan ala bebek. Ibu Zahrah menggandeng tangan Zahrah lembut, memintanya bergegas.

“Udah lah nak, gak usah berpanjang lebar. Kan ada kamu, anak-anak dengan semangat sepertimu lah yang akan mengubah Negeri kita ini. Ayo, kita berangkat, nanti kamu terlambat kalau kita tidak segera pulang.”

“ Yah, tapi kalau lebih banyak anak alay nya ya sama saja.. bu.” Kata Zahrah yang masih berniat meneruskan kata-katanya, tapi ibunya lebih dulu memotong.

“Hehehe, iya setidaknya ada beberapa lah yang tidak, tidak semua alay kan? Hehehe. Udah adzan ashar tuh, ayo kita beresin ini terus langsung pulang. Kamu masih ada beberapa jam untuk muroja’ah lagi sebelum ujian nanti.”

“Ya sudah, ayo bu.” Jawab Zahra akhirnya.

Di tengah merdu suara panggilan sholat ashar yang dikumandangkan oleh muadzin dari surau di dekat rumah mereka, ibu dan anak itu pun berjalan ringan kembali ke peraduan mungil mereka yang tak jauh dari stasiun, menembus senja yang memulai kehadirannya dengan malu-malu di ufuk barat.

***

Selepas isya’, Zahrah berjalan menuju tempat lembaga bimbingan Al-Qur’an yang terletak di kampung tetangga, bersama ibu dan beberapa temannya. Lima menit berlalu, Zahrah, Ibu dan teman-temannya sampai di sebuah bangunan putih yang merupakan lembaga bimbingan Al-Qur’an. Di dalam, sudah menunggu beberapa ustadzah yang siap menguji bacaan, tajwid, makhrojul huruf dan hafalan Zahrah. Sejauh ini, Zahrah sudah menghafal 28 juz pada ujian-ujian sebelumnya. Hari ini tinggal 2 juz saja. Zahrah terlihat tenang, sebaliknya ibunya terlihat gelisah. Ia menggenggam tangan Zahrah erat. Setelah menunggu beberapa teman yang mendapatkan giliran ujian lebih dulu, akhirnya Zahra mendapatkan gilirannya. Dia melangkah tenang menuju meja ustadzah yang akan mengujinya. Setelah mengucapkan salam dan bertanya sekedarnya, sang ustadzah mempersilahkan Zahrah untuk memulai ujiannya. Zahrah mengawali bacaannya dengan ta’awudz dan mulai melantunkan hafalannya dari surat Al-Mulk juz 29.

Sepuluh menit berlalu, di tengah lantunan bacaannya, belum setengah juz, baru pada surat Al-Haqqah ayat 19, tiba-tiba sakit yang dirasakannya selama ini kembali menyerangnya. Ia menghentikan bacaannya dan memejamkan matanya erat, mencoba menghalau rasa sakit yang sangat. Ustadzah pengujinya mulai cemas memperhatikan air muka Zahrah yang terlihat tengah berusaha keras menahan rasa sakit. Ibunya pun mulai khawatir, tapi Zahrah bergeming. Dua menit yang menegangkan berlalu sebelum Zahrah akhirnya bersuara, serak.

“Aduh, sakit ini membuat Zahrah susah untuk menyelesaikanya, bu..”

“Tenang nak. pelan-pelan.” Ibunya berusaha menenangkan Zahrah.

“Tapi kepala Zahrah sakit sekali bu, rasanya seperti..” ia menggantungkan kalimatnya. Sekali lagi memejamkan matanya. Ibunya semakin khawatir, sepertinya sakit kepala Zahrah bukan hal yang main-main tapi ia berusaha untuk menghalau segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Sang ustadzah yang daritadi memperhatikan, ikut menguatkan Zahrah.

“Zahrah berdo’a kepada Allah, minta diberi kekuatan.” Katanya. Zahrah terlihat tidak lagi sanggup untuk melanjutkan ujiannya. Ia menatap ibu Zahrah. Berdua, ia saling tatap dengan ibu Zahrah yang terlihat sama cemasnya.

“Udah jangan dipaksa nak, istirahat aja dulu. Ustadzah ujiannya bisa diundur besok?” putus ibu Zahrah akhirnya. Ia tidak tega melihat raut kesakitan pada wajah putrinya. Ia menatap sang ustadzah, meminta persetujuan, sang ustadzah mengangguk dan berkata,

“bisa, bu.. kalau melihat kondisi Zahrah seperti ini, memang lebih baik tidak perlu dipakasakan, ujiannya bisa disambung besok. Tapi, saya ingin bertanya.. sebenarnya, Zahrah kenapa? Akhir-akhir ini saya sering melihat dia menahan rasa sakit jika sedang muroja’ah dengan ustadzahnya.” Pertanyaan sang ustadzah membuat ibu Zahrah bingung, ia sama sekali tidak tahu jika putrinya itu sudah sering mengalami sakit kepala tidak wajar seperti yang ia saksikan hari ini. Ia menatap Zahrah, Zahrah tertunduk takut. Sang ustadzah penguji menangkap kebingungan yang terpampang jelas di wajah ibu Zahrah, ia kembali bertanya.

“Ibu tidak tahu kalau Zahrah sudah sering seperti ini sebelumnya?”

“Tidak, ustadzah.”

“Sudah 2 bulan ini ibu, saya sebenarnya mau bilang, tapi Zahrah mengatakan, ia sudah sering cerita ke ibu, dan dia mengatakan kalau ibu bilang itu cuma sakit kepala.” Jelas sang ustadzah. Ibu Zahrah hanya mampu menggeleng, air matanya menetes satu demi satu. Ia menatap putrinya, dalam.

“Kenapa kamu gak cerita nak?”

“Maaf, bu.” Zahrah menunduk, menangis.

“Kenapa nak?” ibunya mendesak.

“Zahrah takut ibu terbebani, ibu sudah terlalu banyak menanggung beban selama ini.” Jawabnya.

“Bukan begitu caranya nak.. Kalau zahrah sakit, cerita ke ibu, biar bisa kita cari obatnya, ibu takut ada apa-apa denganmu, apalagi ini sudah dua bulan. Ibu takut kalau terlambat, ibu akan kehilanganmu seperti kehilangan ayahmu dulu.” Ibunya mulai menangis sesenggukan.

“Maafkan Zahrah, bu..” Ia menangis. Sakit di kepalanya belum reda, tapi ia memutuskan tidak akan menunda ujiannya sampai besok, firasatnya mengatakan hari ini adalah kesempatan terakhirnya. Ia meminta kepada ustadzahnya untuk melanjutkan ujiannya. Ibunya melarangnya, tapi Zahrah mengatakan bahwa inilah kebanggaan yang bisa ia persembahkan untuk ayah dan ibunya, ia takut ia tidak akan pernah bisa memberikan kebanggaan yang lain. Ibunya meraih Zahrah dalam pelukannya dan mengatakan,

“semuanya sudah lebih dari cukup nak. Ibu tidak pernah berharap kamu bisa memberikan kebanggaan kepada ibu dan ayah, menerima baktimu yang ikhlas untuk ibu, menyaksikanmu menunaikan amanah ayahmu dengan menjadi penghafal Al-Qur’an, semua itu sudah lebih dari cukup, Zahrah..” kedua ibu dan anak itu larut dalam keharuan.

“Zahrah mengerti bu, tapi ijinkan Zahrah untuk melanjutkan ujian Zahrah, Zahrah bisa. Zahrah tidak apa-apa.” Desak Zahrah. Ibunya mengalah, ia mengijinkan Zahrah untuk melanjutkan ujiannya, meskipun ia sangat khawatir dengan kondisi putri semata wayangnya itu.

Satu jam berlalu. Dengan sisa-sisa usahanya, Zahrah ternyata tidak mampu menyelesaikan ujiannya. Ia pingsan saat berusaha menyelesaikan surat ke 79, surat An-Nazi’at. Ibunya panik, jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan lewat, puskesmas desa sudah lama tutup, sedang dokter umum di desa pinggiran seperti ini sangat jarang, maka ia memutuskan untuk membawa Zahrah ke rumah sakit yang letaknya lumayan jauh dari perkampungan mereka.

Dua jam menunggu di ruangan yang didominasi oleh warna putih, ibu Zahrah menatap putrinya lekat. Dokter yang memeriksa kondisi Zahrah dua jam yang lalu mengatakan bahwa Zahrah memiliki indikasi mengidap penyakit yang sama persis seperti yang diderita ayahnya dulu. Perempuan yang usianya menjelang setengah abad itu kini hanya mampu menangis di samping tempat tidur putrinya. Zahrah tersadar, ia membuka matanya pelan dan mendapati ibunya sedang menangis menatapnya. Zahrah tersenyum, berusaha menguatkan, kemungkinan terburuk yang ia takutkan sepertinya memang benar-benar sudah terjadi.

“Bu..” panggilnya pelan. Ibu Zahrah diam tidak menjawab.

“Maaf bu, selama ini Zahrah sudah menyembunyikannya dari ibu, kepala Zahrah sebenarnya sering sakit, dan saat Zahrah sedang berusaha untuk menghafal sering sekali rasa sakit itu muncul, biasanya, kalau Zahrah sudah gak tahan, zahrah membentur-bentrukan kepala zahrah ke tembok untuk mengurangi rasa sakitnya.” Air mata Zahrah menetes deras.

“Sudah nak, sudah. Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa.. ibu memaafkanmu, sekarang, kamu istirahat saja, semoga Allah lekas memberi kesembuhan untukmu.” Ucap ibunya. Ia terlihat menahan kemungkinan bahwa Zahrah akan pergi meninggalkannya, sama seperti suaminya dulu.

“Zahrah sakit apa, bu? Parah ya” tanya Zahrah.

“Sudahlah, Zahrah. Kamu tidak perlu memikirkan penyakitmu, yang perlu kamu pikirkan adalah bagaimana kamu bisa sembuh, dan kembali bersama-sama ibu seperti sebelumnya.” Kata ibunya.

“Berarti memang parah.” Zahrah menyimpulkan. Ia tersenyum pahit, lalu melanjutkan kata-katanya.

“Maafkan Zahrah ya bu, Zahrah belum bisa membahagiakan ibu, dan sekarang justru Zahrah menyusahkan ibu.” Ia memalingkan mukanya, menangis.

“Zahrah, ketulusan mu melebihi kebahagiaan apapun yang bisa kamu berikan kepada ibu nak, saat anak seusiamu banyak yang menghabiskan waktunya untuk bermain menghabiskan kesenangan masa usia anak-anaknya, kamu sudah mau merelakan waktu untuk membantu ibu berjualan nasi dan mempelajari Al-Qur’an seperti amanah ayahmu. Ditengah banyak berita anak-anak remaja tawuran, minum-minuman keras, pacaran hingga melakukan hubungan bebas, kamu dengan istiqamah belajar memahami agamamu dan berusaha menjadi pribadi muslimah yang tangguh, kamu shalihatnya ibu nak, harapan bagi ibu..  bagi ibu itu sudah lebih dari cukup.”

“Zahrah sayang ibu dan ayah.. Zahrah ingin mempersembahkan permadani terindah buat ayah dan ibu di surga kelak, dimana hanya anak yang sholihah dan mampu menghafal Al-Qur’an saja yang bisa melakukannya.”

“Tapi, kamu lah Permadani Surga yang sesungguhnya bagi ayah dan ibu nak.” Ibunya menangis. Mata Zahrah tertutup, sebelum benar-benar lelap ia mengatakan,

“Zahrah capek bu, Zahrah tidur dulu ya? Zahrah janji, Zahrah akan sembuh, dengan ijin Allah. Zahrah belum akan pergi sebelum Zahrah bisa menyelesaikan hafalan Zahrah.” Dan mata Zahrah pun benar-benar terpejam damai. Terlalu damai hingga ia tak pernah lagi membuka matanya setelah malam itu. Permadani surga itu pergi meninggalkan ibunya yang teramat menyayanginya.

 

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Semester 4 di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) yang sebelumnya sempat kuliah di Jurusan Geofisika UGM selama 2 semester, tahun ini dipercaya mendapat amanah sebagai Wakil Ketua Forum Kerjasama Rohani Islam Perguruan Tinggi Kedinasan (FOKRI PTK)

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization