Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Generasi Pembaca

Generasi Pembaca

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
membaca
Membaca (inet)

dakwatauna.com – Baik ekspedisi ke negeri jauh atau eksplorasi mandiri adalah konsep bagaimana memperluas space of learning untuk mempelajari berbagai ilmu kehidupan. Yaitu ilmu kehidupan yang tidak dikotomis antara ilmu dunia dan akhirat, tapi semua pengetahuan yang menjadi syarat pengelolaan bumi ini dengan ruh Qur’an. Dan Muhammad al-Fatih adalah model ideal tentang integralisasi pengetahuan tersebut dalam diri seorang pemuda muslim. Juga model ideal tentang bagaimana sebuah generasi baru disiapkan untuk misi besar selama delapan abad dengan konsep pengetahuan yang multi disipliner.

Namun ruang luas itu adalah bahan mentah. Adanya tidak menjamin ilmu terakses. Kesempatan mengakses pendidikan terbaik, di negara terbaik, di institusi terbaik bukan juga ukuran perkembangan pemikiran. Karena inti pengembangan pemikiran bukan pada ruangnya, bukan juga pada kelimpahan referensinya, tapi dalam aktivitas yang menjadi sifat pertama umat ini dalam Qur’an, yaitu membaca.

Di zamannya, Imam Syafi’i dan Hanbali hanyalah dua contoh anak muda yang berlama-lama menunggu di halaman kantor lokal pemerintahan, setiap hari, memungut lembaran-lembaran administrasi bekas yang halaman belakangnya bisa digunakan untuk menampung catatan pelajaran. Terkadang mengukir tulang belulang untuk berjuang mengkaji ulang pengetahuan. Itulah sumber pembelajaran mandiri mereka. Membaca dalam keterbatasan. Menabung pengetahuan dalam waktu yang panjang. Maka keduanya menjadi madzhab termapan hingga saat ini dari 4 madzhab yang paling terkenal.

Semesta ini diatur melalui hukum dan kaidah yang konstan dan universal, sebagaimana hukum cahaya ataupun gravitasi. Membaca adalah kaidah yang pertama kali Allah ajarkan. Kaidah itu bukanlah rumus ajaib umat Islam, tapi ia adalah kaidah yang juga konstan dan universal. Ia adalah syarat kebangkitan umat manapun, untuk agama apapun. Kaidah ini pernah mengantarkan generasi muslim zaman Abbasiyyah memimpin peradaban, sebagaimana mengantarkan generasi berpengetahuan Eropa menaklukkan dunia, dan seperti juga mengantarkan generasi pembaca Amerika memimpin pengetahuan.

Di zaman keemasan Islam ataupun masa kedigjayaan Eropa, faktor kelimpahan referensi signifikan berperan. Sehingga institusi pendidikan yang menimbun referensi menghegemoni domain pengetahuan. Sedang di zaman ini, kendala referensi dan sarana relatif tidak ada. Sumber pembelajaran melimpah di perpustakaan, di toko buku, dan di internet. Di tengah kelimpahan ini, tingkat buta huruf di seluruh negeri muslim mencapai 40%. Yaitu negeri-negeri yang Nabinya membebaskan tawanan perang dengan tebusan mengajari baca-tulis anak-anak muslim.

Ini saja sudah menjadi masalah bersama negeri-negeri muslim, karena keterputusan umat dari sumber bacaan adalah awal kemunduran pemikiran yang terekspresikan dalam budaya.

Namun krisis yang lebih akut adalah buta huruf generasi muda muslim akan ilmu-ilmu dasar kehidupan. Boleh jadi mampu membaca, menguasai kaidah matematika sejak kecil, mungkin menyelesaikan sarjana hingga doktoral, atau bahkan mengajar di universitas, namun aktivitas membaca berakhir seperti berakhirnya status kemahasiswaan. Sehingga mereka berlindung atas kegagapan menjawab persoalan zaman dibalik kenyamanan spesialisasi.

Kadang gagap politik sehingga tidak mampu memberi pilihan dan sikap secara rasional, atau gagap jurnalistik sehingga tidak mempunyai standar menimbang antara fakta dan opini, atau bisa jadi bingung untuk sekedar menjalani hidup harian yang paling sederhana soal kesehatan, gizi, anak, ibadah, psikologi suami-istri.

Membaca memang bukan tujuan, karena ia adalah alat menjadi berpengetahuan. Seperti juga diskusi, kuliah resmi di kelas, self learning melalui dokumenter-dokumenter yang banyak tersedia di Internet, ataupun studi lapangan. Semuanya adalah seperangkat alat dan proses berpengetahuan. Tapi tetap, membaca adalah inti aktivitas menjadi berpengetahuan yang belum bisa tergantikan.

Membaca tidak sama dengan memiliki buku atau duduk di perpustakaan atau bergelar akademik, walaupun ketiganya adalah lompatan besar bagi negeri yang indeks membacanya 0,001 kata UNESCO. Yaitu dari 1000 hanya seorang yang membaca. Tapi membaca adalah proses peningkatan kapasitas diri tanpa akhir. Karena kematangan spesialiasi dan keluasan wawasan tidak didapatkan melalui berbagai cara cepat dan training instan. Kemampuan ilmiah adalah akumulasi bacaan panjang yang sistematis. Pendidikan akademis adalah akselerator dan tools yang efisien, namun yang menjadi prioritas utama generasi muda tradisi ilmiah membaca.

Tantangan eksternal tradisi membaca ini selalu ada, bisa jadi pemerintah lemah memotivasi, atau salah strategi atau budaya menonton orang tua dan keluarga yang mendominasi rumah, hingga faktor kompetitor buku yang menghabiskan waktu. Tapi semua itu bukan kendala utama terlebih bukan kerangka berfikir generasi muda muslim yang melihat sebab masalah dari luar.

Karena membaca adalah identitas diri. Setiap akumulasi buku yang dibaca akan tampak dalam pola pikir yang mempengaruhi sikap dan gaya hidup. Maka bagi mereka, membaca bukan sekedar hobi di waktu luang, yang akan mudah ditinggalkan saat waktu padat, tapi ia bagian dari siklus hidup seperti makan dan tidur. Sehingga sebanyak apapun tanggung jawab keluarga, proyek kerja, padatnya rapat, atau menumpuknya tugas dakwah, waktu untuk membaca selalu ada. Ia ada bukan dari sisa kegiatan, bukan juga sekadar dialokasikan, tapi selalu disusupkan, di ruang belajar, kereta, saat menunggu bus, di perjalanan, bahkan saat bekerja, seperti Ninomiya Sontoku, Sang Filsuf, Moralis, ekonom, ahli pertanian yang patungnya menjadi simbol kebanggaan tradisi membaca Jepang.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Muhammad Elvandi lahir di Bandung, tahun 1986. Ia menyelesaikan seluruh pendidikan dasarnya di Bandung: SDN Cibuntu 5, SLTPN 25 dan SMUN 9. Bahasa Arab mulai dikenalnya dari dasar selama dua tahun di Ma’had Al Imarat dan bahasa Inggris selama sembilan bulan di LIA. Skill kepemimpinannya terlatih sejak pramuka, menjadi ketua IKMA rohis SLTPN 25, ketua bidang tarbiyah PRISMAN SMUN 9, dan president UCC (United Conversation Club) dan presiden mahasiswa BEM Al Imarat. Pengalaman menulis pertamanya adalah sebuah novel kepahlawanan di zaman perang salib ‘Syair Cinta Pejuang Damaskus‘ tahun 2006. Pertengahan tahun 2007 mendapatkan beasiswa kuliah S-1 di Universitas al-Azhar Mesir, jurusan Da’wah wa Tsaqâfah al-Islâmiyyah hingga selesai tahun 2011. Selama menjadi mahasiswa di Mesir kembali menekuni aktivitas kepenulisan hingga terbit buku ‘’Inilah Politikku’’. Juga terjun dalam organisasi mahasiswa dan menjadi ketua BPA-PPMI. Dan menjadi pembicara di puluhan forum Keislaman, Kepenulisan, Leadership, Public Speaking dan Politik. Ia menggemari sastra secara umum, juga buku-buku sejarah, pemikiran, dan politik. Tahun 2011 Elvandi meneruskan kuliah ke Perancis. Mempelajari bahasa Perancis dalam setahun di Saint Etienne lalu mengambil Master Filsafat di Institut Europeen des Sciences Humaines de Paris hingga 2014. Ia menjadi konsultan pendidikan dan keislaman untuk komunitas pekerja perusahaan Internasional Total Paris, juga menjadi pembicara keislaman dan keindonesiaan di KBRI Perancis, KBRI Autria, KBRI London, Forum Keislaman IWKZ Berlin, SGB Utrech Belanda, KIBAR United Kingdom, dan beberapa komunitas muslim lokal di Newcastle, Manchester, Glasgow dan Aberdeen. Tahun 2014 Elvandi mengambil mengambil Master kedua di University of Manchester pada program MA Political Science: Governance and Public Policy yang diselesaikan di pertengahan 2015. Saat ini Elvandi membangun beberapa lini bisnis di Indonesia dan Eropa, juga menjadi pembicara di forum-forum dalam dan luar negeri, serta menjadi dosen di Telkom University Bandung. Elvandi juga membina berbagai komunitas anak muda di Indonesia. MUDA Community (www.muda.id) adalah komunitas Muslim Berdaya yang fokus membangun kemampuan pemikiran dan ilmu-ilmu keislaman di generasi muda. Juga AFKAR Institute, adalah lembaga kajian strategis, Think Tank yang mengkaji tema-tema strategis keumatan di level Indonesia dan global.

Lihat Juga

Rusia: Turki Maju sejak Erdogan Memimpin

Figure
Organization