Anak-Anak Muslim Rohingya Alami Trauma Akibat Penyiksaan

dakwatuna.com – Kachin. Ribuan anak pengungsi Rohingya yang hidup dengan luka-luka akibat penyiksaan mengalami trauma terhadap penganiayaan oleh umat Budha serta menghadapi ancaman kematian selama di kapal atau kamp-kamp pengungsian.

“Rumah kami dibakar dengan bensin dan polisi militer menembak ke arah orang-orang yang melarikan diri,” kata Shwe Tun Naing, salah seorang remaja dari Muslim Rohingya berusia 15 tahun yang lolos dari kematian dalam serangan Budha dan Polisi militer juga menghadapi ancaman kematian dengan terkatung-katung dalam kapal.

“Seorang Biksu Budha memotong lengan dari seorang Muslim yang melarikan diri. Sementara polisi menembakkan senjata, memotong dengan pedang, menendang, menggunakan ketapel dan panah untuk membunuh. Itu sangat sadis,” ungkapnya.

Rohingya merupakan etnis minoritas muslim yang mendiami wilayah Arakan sebelah utara Myanmar berbatasan dengan Bangladesh, dahulu wilayah ini dikenal dengan sebutan Rohang dan saat ini lebih dikenal dengan Rakhine.

Sejak kemerdekaan negara Myanmar pada tahun 1948, Rohingya menjadi satu-satunya etnis yang paling tertindas di Myanmar bahkan di dunia. Hal itu sesuai dengan pernyataan yang dikutip dari United Nations (PBB) yang menyatakan bahwa etnis Rohingya merupakan etnis paling teraniaya di muka bumi.

Selain teraniaya, Rohingya juga tidak diakui sebagai bagian dari bangsa Myanmar, padahal Rohingya berada di Arakan sejak Abad 7 M.

Ribuan pengungsi muslim Rohingya lainnya tinggal di kamp tersebar di negara bagian barat Rakhine dekat kota Sittwe. Sekitar 140.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke berbagai negara selama bentrokan sektarian dengan mayoritas Buddha pada tahun lalu.

“Ribuan anak telah terkena dampak konflik di negara bagian Kachin,” kata James Gray, seorang spesialis perlindungan anak untuk PBB (UNICEF) seperti dikutip Rohingya News Agency (RNA) dipantau Mi’raj News Agency (MINA).

Sementara lembaga internasional itu telah mampu memberikan dukungan dan bantuan kepada mereka yang membutuhkan dukungan psikososial selama 18 bulan terakhir di wilayah yang dikontrol pemerintah.

“Kebutuhan anak-anak itu tidak terpenuhi karena ini adalah jenis hal-hal yang sekunder untuk makanan dan tempat tinggal,” kata Oddney Gumaer, Direktur Advokasi Internasional Mitra Relief and Development, salah satu LSM internasional.

“Di dunia Barat ketika ada krisis atau bencana ada psikolog dan tim krisis di lokasi yang segera memberikan tindakan lanjut. Tapi bagi orang-orang ini (Rohingya), tidak ada dukungan seperti itu,” jelasnya.

Banyak pengungsi Rohingya telah mengungsi untuk waktu yang lama. Beberapa pengungsi berada di kamp pengungsian selama lebih dari 20 bulan, memicu kebutuhan baru dan tambahan untuk layanan dasar dan perlindungan sosial. (sj/rs/mina)

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...