Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / PKS dan Badai Konspirasi

PKS dan Badai Konspirasi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Mari sejenak kita berbalik (set back) ke belakang di saat PKS mulai ramai diberitakan media masa. Saat itu adalah saat ketika kita semua dikagetkan dengan penangkapan Ustadz LHI oleh KPK. Kita semua kaget dan kebanyakan bertanya-tanya tentang kebenaran fakta di balik alasan penangkapan tersebut.

Syahdan, kemudian orkestra pun segera mengganti lagunya yang bernada dramatis dengan pilihan lagu bernuansa heroisme. Ustadz Muh. Anis Matta segera mengambil alih kepemimpinan partai dengan sedikit membuat letupan dalam orasinya dengan menyebut ‘konspirasi’ di dalamnya. Ini tidak terlepas dari peralihan lagu dramatis ke lagu bernuansa heroisme tadi.

Intinya, ada konspirasi di balik penangkapan Ustadz LHI dan sepertinya inilah yang ada di balik pikiran hampir semua kader. Hemat penulis anggapan semacam ini tidak sedikit pun mengandung kesalahan kalau mengingat banyaknya kasus-kasus korupsi dan manipulasi yang dilupakan atau dengan kata lain dibiarkan mewangi semerbak memenuhi rongga penciuman kita. Tetapi tiba-tiba tanpa kabar dan peringatan, tanpa isu dan gosip katanya-katanya dan bahkan angin pun berdiam, Presiden PKS tertangkap tangan penyuapan.

Ah! Ini konspirasi. Ini konspirasi. Inilah yang ada di benak kita saat itu. Dan, begitulah konteks yang tepat jika kita ingin menggunakan pilihan kata ‘konspirasi’ dalam narasi kita. Namun, penulis ingin lebih menekankan lagi konteks yang bagus lagi manakala kita menggunakan kata ‘konspirasi’ dalam wacana dan narasi.

Kata konspirasi akan lebih baik penggunaannya kalau kita kompilasikan dengan situasi atau kalimat yang lebih menegaskan akan adanya kemungkinan sebuah konspirasi. Misalnya, Mahfud Siddiq pernah menyinggung bahwa beliau mengetahui akan ada upaya memperkarakan si A dan si B sebelum lebaran tiba (mungkin beliau menggunakan teknologi 4D dan wi-fi dalam memindai informasi ini).

Lebih menguat lagi jika seseorang dengan kekuasaan yang sangat kuat di negeri ini misalnya melontarkan kata-kata, “Hati-hati jangan bermain-main dengan saya!”

Nah apa yang Antum pikirkan? Konspirasi. Konspirasi. Ada konspirasi di balik perkara Ustadz LHI dan upaya mengaitkannya dengan kader-kader PKS lainnya.

Konspirasi dan bahasa kita

Jangan malu atau sungkan menggunakan kata ‘konspirasi’ dalam diksi kita saat berwacana dan menyampaikan narasi. Sebab kata konspirasi ini sudah dimasukkan dalam tesaurus Bahasa Indonesia jadi kita bebas menggunakannya. Meskipun kata ini belum dimasukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] (2008).

Menurut tesaurus padanan kata konspirasi adalah intrik, kolusi, perkomplotan, persekongkolan, dan persekutuan. Intrik menurut KBBI adalah “kabar bohong yang sengaja disebarkan untuk menjatuhkan lawan.” Masih menurut KBBI, kolusi adalah “kerja sama secara tersembunyi untuk tujuan tidak terpuji,” sama artinya dengan persekongkolan. Perkomplotan artinya “persekutuan secara rahasia untuk kejahatan.”

Kata ‘konspirasi’ perlu kita sosialisasikan penggunaannya mengingat kata ini belum termasuk ke dalam KBBI (2008), meskipun sudah dimasukkan ke dalam tesaurus Bahasa Indonesia.

Selain itu kita perlu menyambut momentum yang tepat ini untuk menggunakan kata ‘konspirasi’ sebagai bagian dari kecanggihan berbahasa kita. Mengapa? Karena penulis khawatir masa-masa ini akan segera berakhir, ketika tidak ada lagi kata ‘konspirasi’ disebabkan kemunculan era teknologi nirkabel yang mampu memindai dan menerjemahkan apa yang ada dibalik pikiran seseorang yang akan melakukan konspirasi.

Di masa depan tidak akan ada lagi konspirasi karena semua orang akan mampu menyadap dan memindai semua informasi cukup dengan cara duduk bersebelahan, pastikan tersedia sambungan nirkabel (wi-fi), maka semua informasi yang ada di otak kita akan terpetakan secara jelas. Selamat datang era informasi keterbukaan tanpa konspirasi!

Maka, gunakan kecanggihan bahasa kita menggunakan kata konspirasi selagi bisa. Sebab di era keterbukaan kata konspirasi tidak akan disebut lagi. Kata ini akan segera digantikan kata lain yang lebih tepat dan sesuai dengan zamannya.

Penulis memang sedikit overdosis alias lebay dalam memaknai perlunya kita memasyarakatkan kata ‘konspirasi’ ini karena kekhawatiran akan kehilangan momentum kita menikmati canggihnya makna kata ‘konspirasi’ sebab ia akan menghilang ketika teknologi informasi telah mampu membaca rencana jahat dan persekongkolan seseorang atau suatu kelompok. Tidak ada lagi konspirasi sebab segalanya dapat diantisipasi dengan membaca semua hal yang telah terpetakan di dalam otak perencana konspirasi melalui teknologi digital wi-fi secara real time.

Kalau tidak yakin juga silakan tanyakan potensi ini mungkin terjadi di masa depan pada pakar tomografi, Warsito Purwo Taruno, Ph.D. Meskipun belum secanggih dalam bayangan penulis, akan ada teknologi yang mampu membaca informasi yang tersimpan dalam otak manusia, kabarnya Dr. Warsito sedang mengembangkan teknologi tomografi yang akan mampu membaca otak secara real time. Nah, langkah selanjutnya tinggal mengembangkan bagaimana membaca otak manusia secara nirkabel. Luar biasa! Dunia tanpa konspirasi di depan kita.

Sejarah konspirasi

Konspirasi menurut buku “Conspiracy Theories in American History: An Encyclopedia (hal. 15)” yang diedit oleh Peter Knight (2007) adalah ketika sekelompok kecil orang kuat (powerful) bergabung bersama-sama secara rahasia untuk merencanakan dan melaksanakan perbuatan ilegal dan tidak tepat, khususnya perbuatan yang mengganggu berlangsungnya peristiwa.

Menurut Knight, ada kemungkinan orang memandang konspirasi dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang yang menganggap konspirasi adalah hal “yang mengganggu berlangsungnya peristiwa”, sementara orang lainnya lagi menganggap konspirasi sebagai tontonan anjing-makan-anjing (dog-eat-dog) dari manuver politik.

Knight menyebutnya konspirasi pula jika komplotan berniat untuk melakukan tindakan tertentu dan sangat menyadari konsekuensinya.

Knight (2007) menjelaskan bahwa dalam sejarah Amerika pernah berkembang pemikiran konspirasi sebagai sebuah pendekatan yang disebut sejarawan Richard Hofstadler dengan istilah “paranoid style in American politics”. Menurut Knight, pendekatan ini menjelaskan keberadaan retorika konspirasi sebagai suatu tanda dari sesuatu yang mirip dengan paranoia (kecurigaan) kolektif.

Paranoia kolektif ini tidak diartikan sebagai diagnosis klinis yang dimaksudkan sebagai delusi (waham), melainkan hanyalah penggunaan kategori paranoia psikologis sebagai cara untuk mengidentifikasi dan kemudian menjelaskan ciri-cirinya.

Teori yang menganggap konspirasi sebagai paranoia bercirikan adanya peningkatan kecurigaan, perasaan teraniaya, proyeksi yang mengerikan terhadap musuh yang menekan (merepresi) [fantasi yang diyakini], ketakutan apokaliptik bahwa seluruh jalan kehidupan berada dalam ancaman, dan secara paradoks merasakan kenyamanan dan kehebatan dalam posisi yang terpinggirkan (termarginalkan) dalam panggung politik [panggung sejarah], tetapi faktanya menjadi pusat perhatian meskipun menjadi obyek dari rencana jahat terhadap kelompoknya.

Konspirasi sebagai ‘anjing makan anjing’ (dog-eat-dog), menurut istlah Knight, dalam panggung politik di Indonesia mungkin lebih tepat disebut sebagai penyebab sehingga memunculkan akibatnya, yaitu yang disebut Knight sebagai konspirasi paranoia. PKS mungkin saat ini merasakan akibat semacam ini bahwa ada ancaman, ada marginalisasi namun secara paradoks merasa nyaman dalam situasi ini, dan sedang menjadi pusat perhatian publik. Sehingga PKS dan para kadernya, merasakan kewaspadaan yang luar biasa dalam menghadapi badai politik yang sedang menerpanya. Tapi benarkan cara berpikir seperti ini yang terjadi pada masa PKS?

‘Kepanikan moral’ dan ‘Pengkambinghitaman’

Peter Knight juga menjelaskan tentang konspirasi sebagai bagian besar dari pola pengkambinghitaman. Menurut pandangan konspirasi sebagai pengkambinghitaman, konspirasi adalah adanya korban dari kampanye besar kebencian yang dipopulerkan.

Teori konspirasi ‘pengkambinghitaman’ berbeda dengan wacana ‘paranoid style’. Mereka yang meyakini ‘paranoid style’ atau ‘gaya paranoid’ merasa tidak mampu membantu diri mereka sendiri dan merasa sebagai korban dari sebuah gaya pemikiran yang [berkabut], merasakan terlalu lama mengalah terhadap histeria massa yang epidemi.

Sedangkan dalam teori konspirasi ‘pengkambinghitaman’ mereka yang meyakini teori ini atau setidaknya pemimpin kelompok yang menularkan keyakinan ini menganggap konspirasi hanya sebagai penyebaran rumor yang tidak perlu diyakini kebenarannya.

Teori konspirasi ‘pengkambinghitaman’, menurut Peter Knight, dalam perkembangan lebih lanjut mengedepankan gagasan bahwa orang yang berada pada pusat kekuasaan (center of power) kemungkinan menciptakan (mempromosikan) suatu ledakan populer demonologi (demon= setan) demi kepentingan politik. Teori ini dikenal pula dengan istilah teori elitis ‘moral panics’ atau ‘kepanikan moral’ karena menunjukkan bahwa elit dengan sengaja menyulut kepanikan moral untuk melegitimasi tindakan represif yang sebenarnya tidak dapat diterima pihak lainnya.

Baik teori konspirasi ‘pengkambinghitaman’ maupun teori konspirasi ‘kepanikan moral’ sesungguhnya sama-sama memberikan keuntungan dari segi politik dan ekonomi (vested political and economic interests) dari upaya mempromosikan keyakinan konspirasi.

Sebelum orang mampu membaca pikiran lawan-lawan politiknya konspirasi adalah hal yang abstrak. Bisa jadi konspirasi adalah apa yang disebut Christine Feehan dalam bukunya “Conspiracy Game” sebagai The GhostWalker dalam ‘The GostWalker Creed’, Kredo GhostWalker sebagai berikut:

“[Kami adalah the GhostWalkers, kami hidup dalam bayangan. Laut, bumi, dan udara adalah domain kami. Tak ada prajurit yang jatuh tertinggal di belakang. Kami loyal dan terikat kehormatan. Kami tak terlihat musuh dan kami menghancurkan mereka di mana pun kami menemukan mereka. Kami meyakini keadilan dan kami melindungi negara kami dan mereka yang tidak dapat melindungi mereka sendiri. Kami bergerak tak terlihat, tak terdengar, dan tak diketahui. Kami adalah GhostWalker. Ada kehormatan di dalam bayangan dan itulah kami. Kami bergerak sangat sunyi di hutan atau pun gurun. Kami berjalan di antara musuh kami tak terlihat dan tak terdengar. Menyerang tanpa suara dan menghilang bersama angin sebelum musuh mengetahui keberadaan kami. Kami mengumpulkan informasi dan menanti dengan sangat sabar demi saat yang sempurna segera menghandirkan keadilan. Kami adalah kasih sayang dan kekejaman. Kami tak kenal lelah dan bertekad kuat. Kami adalah the GhostWalker dan malam adalah milik kami].”

Bayangkanlah konspirasi itu adalah sebuah bayangan, mereka tidak tampak kasat mata dan mereka ada di mana-mana, mereka ada di antara kita. Para konspirator bekerja dengan sangat loyal dan bekerja dengan kebanggaan yang penuh dan bagi mereka pekerjaannya itu adalah sebuah kehormatan. Mereka menyerang musuh-musuhnya tiba-tiba dan menghilang bersama angin. Mereka tekun dan sabar mengumpulkan semua informasi yang diperlukan. Mereka ramah dan penuh kasih sayang, tetapi juga bisa menjadi sangat kejam. Dan, satu hal yang sangat menarik adalah bahwa mereka tidak pernah tidur. Malam adalah waktu di mana mereka merencanakan dan melakukan aktivitasnya.

Konspirasi di sekitar kita

Tidak ada yang perlu kita khawatirkan dengan kehadiran konspirasi di antara kita dan di sekitar kita. Era informasi keterbukaan kita yakini sebagai sebab mengapa kita tidak perlu mencemaskan konspirasi. Meskipun konspirasi itu adalah bayangan dan tidak terlihat musuh, seperti kata Christine Feehan, namun era keterbukaan menyebabkan orang-orang menyadari kedok-kedok konspirasi itu.

Apa yang tidak mungkin diketahui di dunia ini. Bahkan teknologi yang tidak mungkin saja mampu diciptakan. Oleh karena itu pakar Fisika, Albert Einstein, menganggap justru dibalik sesuatu yang mustahil (absurd) akan muncul suatu harapan. “If at first an idea does not sound absurd, then there is no hope for it”.

Bahkan, pakar Fisika lainnya Michio Kaku menegaskan di masa depan kita akan mampu membaca pikiran orang lain dan memindahkan benda-benda dengan kekuatan pikiran kita. Artinya, di masa depan tidak ada tempat lagi bagi bersarangnya konspirasi di muka bumi ini. Semua akan dengan mudah kita baca dan kita lakukan perlawanan jika ada seseorang atau sekelompok orang berencana melakukan makar jahat kepada orang atau pihak lain.

Konspirasi dan dakwah

Dan, bagi kader dakwahlah tertuju kata-kata terakhir yang disebutkan Christine Feehan. Malam waktu di mana kita mengatur siasat dan menyiapkan segala sesuatunya. Malam adalah waktu kita menyiapkan ruhiyah kita dengan bermunajat kepada yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Malam adalah konspirasi kita dengan Ilahi Rabb, Pemilik semesta alam.

Hendaklah kita suburkan pikiran dan karsa kita bahwa konspirasi adalah pil pahit perjuangan, namun ia menyehatkan tubuh seluruhnya. Bahkan sepanjang sejarah kenabian pun mereka selalu menghadapi konspirasi, tapi ternyata itulah cara Allah menapis dan membedakan orang-orang bertaqwa dari orang-orang yang munafik.

Kita meyakini kemenangan akan segera tiba dan badai pasti berlalu. Meskipun kini kita bertanya-tanya sampai kapankah badai ini berlangsung. Mari kita renungkan pesan Ustadz Hilmi Aminuddin, “Kalau langkah-langkah kita sesuai dengan irsyadat (bimbingan) dan taujihat (arahan-arahan) rabbaniyyah wan nabawiyah (Rabb dan Nabi), kita akan dimenangkan oleh Allah SWT. Insya Allah”.

 

Tainan City, Taiwan, 19 Mei 2013

 

@abifahmiazizi

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis adalah mahasiswa National Cheng Kung University (NCKU), Tainan-Taiwan. Gemar menulis artikel-artikel lepas dan beberapa puisi. Menulis adalah perjalanan kata-kata (journey of the words) dalam menemukan cinta Ilahi.

Lihat Juga

PKS Gencar Bantu Korban Gempa dan Tsunami Sulteng

Figure
Organization