Ekspresi ‘Insya Allah’

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Juha keluar ke pasar untuk membeli himar, lalu seorang teman menemuinya, seraya bertanya: “Hendak ke mana engkau?” Jawab Juha: “Mau ke pasar untuk membeli himar.” Sambung temannya: “Ucapkanlah ‘insya Allah’ (jika Allah menghendaki).” Sahut Juha: “Bukan di sini tempatnya, karena dirham sudah ada di kantongku, dan himar sudah jelas ada di pasar.”  Namun ketika dia tengah berada di pasar, ternyata uangnya dicuri orang. Maka dia pun pulang dengan sangat kecewa. “Hai Juha, mana himarnya?” tanya sang teman. Jawab Juha: “Dirhamku dicuri orang, insya Allah…”

Selain mengandung unsur humoris, narasi yang termaktub dalam kitab Mi’atu Qishshah wa Qishshah karya M. Amin al-Jundi ini juga memberi wejangan pada kita agar waspada dan berlaku rendah hati dalam menyikapi hal-hal yang belum terjadi. Mereka yang ingin merealisasikan sebuah karya atau cita-cita—baik besar maupun kecil, jangan terbuai dengan kemampuan riil yang tampak di hadapannya, tapi kembalikanlah kepada masyi’ah (kehendak) Allah. Karena sering terjadi, analisa dan prediksi hebat dari para pakar dan pengamat handal pun harus takluk pada kenyataan objektif yang memang harus terjadi, dan tidak bisa dipungkiri.

Karena itu, ucapan ’insya Allah’ dalam menyikapi hal-hal yang akan atau belum terjadi seyogianya tak hanya menjadi tradisi lisan belaka, tapi juga merupakan adab yang lahir dari kesadaran ideologis dan teologis yang mendalam dari pengucapnya. Sehingga ekspresi ‘insya Allah’ yang terlontar dari mulutnya sekaligus menjadi cermin dari kerendahhatiannya di hadapan Allah.

Tahukah kita bahwa Sulaeman bin Daud harus menerima kenyataan pahit lantaran tidak mengucapkan ‘insya Allah’ ini—seperti yang dituturkan Rasulullah: “Sulaeman bin Daud alaihimassalam berkata, ‘Saya akan berkeliling (menggilir) 70 istriku dalam semalam, di mana dari setiap istri itu akan lahir seorang anak yang berperang di jalan Allah. Lalu dikatakan kepadanya: Ucapkanlah ‘Insya Allah’, namun ia tidak mengucapkannya. Maka ia pun menggilir 70 istrinya, dan tidak seorang pun dari mereka yang melahirkan anak kecuali seorang istrinya yang melahirkan “setengah orang” (maksudnya: yang kurang sempurna penciptaannya).

Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Demi Dzat Yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya ia (Sulaiman) berkata ‘insya Allah’, niscaya ia tidak berdosa dan terpenuhi hajatnya” (HR. Shahihain).

Nabi kita sendiri pernah mengalami hal senada— meleset dari apa yang beliau duga, sehingga menjadi pelajaran berharga buat kita umatnya. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa ketika Nabi ditanya tentang kisah Ashhabul Kahfi (penghuni goa), beliau menjawab, “Besok, aku akan menjawab (pertanyaan) kalian” tanpa mengaitkannya dengan masyi’ah ilahiyah (tidak mengucapkan ‘insya Allah’). Dan ternyata wahyu terlambat datang sampai lima belas hari, sehingga beliau tidak bisa memberikan jawaban seperti yang sudah dijanjikan.

Peristiwa inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) ‘insya Allah’” (al-Kahfi: 23-24).

Wallahu A‘lam.

Konten ini telah dimodifikasi pada 01/05/13 | 00:40 00:40

Alumni IAIN Jakarta, menulis di beberapa media massa sejak tahun 80an, penerjemah & penyunting sejumlah buku, Pimpinan Pondok Pesantren Yatim Riyadhul Minnah Bekasi. Lahir di Bekasi pada bulan Juni 1966. Bersama satu istri dan keempat anaknya kini tinggal di Sukadarma Sukatani Bekasi
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...