Bagaimana Mungkin Aku Berpaling Darimu?

Ilustrasi – Anak belajar membaca huruf jawi (studiofrost.com)

dakwatuna.com – Hari ini, Jumat 21 Oktober 2011, tidak biasanya aku tepat waktu datang ke sekolah. Karena, selain julukan Anak Rohis, julukan tukang telat juga melekat di dahiku. Ini disebabkan aku yang memiliki tugas menumpuk yang harus aku kerjakan selaku bendahara resmi, dan sekretaris tidak resmi Rohis. Sehingga kerap kali aku menyelesaikannya di pagi hari.

Aku sampai di kelas dengan sambutan yang lumayan meriah. Yah, beberapa temanku mengatakan “Tumben, Sya. Gak telat”. Aku hanya tertawa dan mengeluarkan senyuman bangga disertai sedikit delikan. Aku mencari-cari kawan terdekatku di kelas, Mia, yang ternyata sedang belajar TIK. Panik. Ternyata hari ini jadi ulangan! Aku belum belajar sama sekali. Tadi malam aku begadang mengerjakan laporan pertanggungjawaban triwulan Rohis. Dan gawatnya, TIK adalah mata pelajaran pertama. Jam di handphoneku menunjukkan pukul 06.20, waktuku hanya 10 menit sampai bel masuk berdentang. Dan mungkin sekitar 15 menit sampai guruku tiba di depan lab komputer. Aku hanya bisa pasrah dan mengeluarkan buku paket TIK milikku. Mia datang mengajakku belajar di lorong kelas. Aku mengikutinya.

Kemudian, sesuatu yang tidak disangka-sangka datang. Mia membocorkan ‘sesuatu tentang ulangan’ dari kawannya di kelas sebelah. Aku hanya terdiam. Ya, aku tahu yang aku lakukan ini salah. Namun saat ini, pikiranku sedang kalut. Aku secara tidak langsung menyalahkan Rohis yang memberiku setumpuk tugas yang terpaksa mengalihkanku dari pelajaran sekolah. Sehingga aku mendengarkan Mia dengan seksama. Langsung aku tahu, materi bagian apa saja yang nanti akan keluar. Cepat-cepat aku membuka buku, dan hanya menghafal bagian tertentu itu saja. Dan sesuai dengan perkiraanku, dalam sekitar 25 menit yang berharga aku selesai belajar. Pak Ridwan, guruku ternyata sudah datang dan menyuruh kami segera memasuki lab.

Berikutnya, aku mengalami ulangan teraneh sepanjang hidupku. Bentuk ulangannya online. Kami disuruh menempati komputer dan membuka ridwan-ICT.blogspot.com yang tidak lain adalah blog guru TIK kami. Alisku berkerut. Bagaimana mungkin ulangan online? Tapi aku hanya bisa mengikuti instruksi guruku ini. Ternyata, aku mendapatkan giliran di gelombang kedua. Alhamdulillah, artinya aku diberikan kesempatan untuk membaca lagi buku paketku. Aku berkonsentrasi mengerjakan latihan akhir bab dan menghafal materi yang baru saja dibocorkan oleh Mia bersama beberapa temanku. Baru sekitar 10 menit, sebagian besar temanku sudah keluar dari lab dengan wajah yang sumringah. Berdasarkan informasi dari mereka, ulangan hanya 10 soal pilihan ganda dan terasa mudah. Aku menghembuskan napas lega. Semoga hal itu juga berlaku untukku.

Lima menit berikutnya, Pak Ridwan mempersilakan kami yang tersisa untuk memasuki lab. Sebelum aku memilih komputer, aku mengetes koneksi internet tersebut. Setelah yakin tersambung, aku segera mengetik URL tujuan dan mengucapkan basmalah. Satu demi satu soal aku baca. Dan ternyata, soal berasal dari latihan akhir bab dan sebagian besar berasal dari materi yang telah aku hafal. Aku bersorak dalam hati. Akhirnya, sampailah aku di soal terakhir. Dan ternyata, jawabanku benar semua! Seharusnya aku bersorak gembira saat ini. Seharusnya aku berbangga dengan nilai sempurnaku. Namun, ada perasaan yang mengganjal di hatiku. Nilai ini hanyalah semu. Sebelumnya, aku sudah tahu bagian mana saja yang akan keluar. Ada penyesalan yang teramat besar dalam hatiku. Tidak ada euforia mendapatkan nilai 100 sama sekali. Benar kata orang-orang, nilai 100 yang didapat dengan cara licik tidak akan terasa nikmat. Aku beristighfar sebanyak mungkin.

Jarum jam di dinding menunjukkan waktu 07.15. Masih tersisa 45 menit lagi sampai pelajaran TIK selesai. Dan lagi, menurut murid XI IPA 1, Bu Eka, guru BP kelasku tidak masuk. Berarti, pelajaran BP yang seharusnya setelah TIK akan kosong. Aku menghitung-hitung waktu yang lowong itu. 45 menit sisa pelajaran TIK, 45 menit pelajaran BP yang akan kosong, 30 menit waktu istirahat, dan 90 menit waktu pelajaran tanpa guru. Karena, Ibu Tina, guru PKn kami sedang sakit dan hanya memberikan tugas. Hmm, itu berarti sampai pulang kelasku akan kosong. PKn adalah pelajaran terakhir kami di hari Jum’at. Dan itu berarti pula, sampai jam 10.45 aku akan ‘galau’ memikirkan apa yang akan aku lakukan.

Aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan, tempat favoritku. Semburan udara dingin yang sejuk segera menyambutku begitu pintu perpustakaan dibuka. Seperti biasa, aku memilih untuk duduk di kubikel pojok setelah sebelumnya menyambar sembarang buku dari rak. Di situ, aku bisa dengan bebas memikirkan apapun tanpa ada yang mengganggu. Tanpa suara bising yang seolah tidak pernah hilang apabila aku berada di dalam kelas.

Nah, apa yang aku pikirkan? Kelebat-kelebat kenanganku akan Rohis datang tanpa diundang. Aku memikirkan sikapku yang akhir-akhir ini seolah-olah “memusuhi” kawanku di Rohis. Sudah berapa kali aku bolos Evaluasi Jum’at. Sudah berapa lama tugas laporan pertanggungjawaban aku tinggalkan. Sudah berapa alasan yang aku karang untuk menenangkan hatiku. Saat ini, aku hanya letih. Letih harus mengurusi segala hal tentang Rohis. Letih akan tugasku dan tugas tidak resmiku yang begitu menggunung. Aku merasa seolah hanya sebagai pesuruh. Jadi bendahara event ini ya, atau tolong jadi sekretaris, Sya. Bahkan, semenjak sekretaris Rohis minggat dari tugasnya, bukannya dicari pengganti yang baru, mereka malah membebankan tugas itu kepadaku. Aku kewalahan. Baik fisik maupun mentalku tidak cukup tangguh untuk menanggungnya. Aku marah, kepada semua orang yang kabur dari Rohis dengan alasan yang berwarna-warni.

Aku selalu menatap dengan iri pada mereka. Baik ketua Rohis maupun ketua keputrian. Juga mereka yang tidak memiliki tugas rutin. Tidak pernah sekalipun mereka pusing harus mengerjakan segala macam tetek bengek laporan dan lainnya. Cukup berpikir, lalu meminta tolong padaku untuk melakukan sisanya. Aku ingin berteriak bahwa mereka curang. Karena mereka masih memiliki waktu untuk fokus pada pelajaran sekolah. Sementara malam-malamku selalu penuh dengan proposal, LPJ, dan lainnya. Aku selalu ingin menangis jika mengingat wajah Ummi yang tahu nilai-nilaiku yang merosot. Tanpa terasa, air mata muncul mengaburkan pandangan. Aku segera mengerjapkan mata untuk menyingkirkan titik-titik hangat itu. Berusaha mengalihkan pikiranku dari menyalahkan Rohis akan apa yang terjadi padaku saat ini.

Astaghfirullah… Aku beristighfar berulang kali. Saat ini yang aku butuhkan adalah ketenangan hati. Aku segera melangkahkan kaki menuju Mushalla Ulil Albaab, tempat favoritku di sekolah setelah perpustakaan. Di perjalanan, aku bertemu dengan Fandi, ketua Rohis sekolah kami. Walaupun aku sudah berusaha menghindar, tapi tetap saja dia melihatku. Duh, aku sedang tidak ingin bertemu dengannya. Dia pasti akan menagih LPJ serta laporan keuangan yang sudah lewat deadline sejak minggu lalu. Aku harus berkelit darinya.

Tanpa disangka-sangka, Rahma -sahabatku- keluar dari kelasnya di XI IPA 4. Aku segera menggandeng tangannya dan berpura-pura mengobrol seru dengannya. Fandi hanya menghembuskan nafasnya. Aku mengenali tingkahnya, yang artinya dia sedang kesal. Aku segera berjalan cepat menuju mushalla. Rahma hanya tertawa melihat tingkah kami.

“Hahahaha. Sya, sampai kapan kamu mau menghindar terus?”, Tanya Rahma dengan ekspresi geli. Aku diam. Sebenarnya, selain aku yang memang sedang menghindari kontak dengan Rohis, printerku rusak. Rahma yang sudah mendengar alasanku, kontan saja tertawa. Pasalnya, alasan ini selalu menjadi alasanku semenjak SMP. Printer tuaku memang langganan memasuki toko reparasi. Namun kali ini, memang yang terparah. Sepertinya sudah tidak bisa diperbaiki. Padahal, sebagai seorang sekretaris dan bendahara, printer seolah menjadi bagian terpenting dalam hidup. Untuk membeli printer baru, sepertinya tidak mungkin. Kondisi ekonomi keluargaku sedang tidak baik saat ini. Satu lagi masalah yang memberatkan hatiku. Sepertinya, Dia sedang memberiku ujian yang bertubi-tubi. Tidak mungkin aku memaksa orang tuaku. Aku menghembuskan napas dengan berat.

“Syaaaa! Kok bengong?” Tanya Rahma sembari mengibaskan tangannya ke depan mukaku. Aku terkesiap. Ternyata aku dari tadi melamun. Rahma memperhatikanku dengan raut khawatir. Hanya Rahma seorang yang tahu segala masalahku. Tahu akan keberatanku saat ini, juga kesibukanku.

Aku yang sebagai BPH di Rohis, juga sebagai sekretaris peringatan maulid di sekolahku. Ditambah lagi, bendahara maulid kali ini tidak pernah ikut rapat sama sekali. Bahkan di hari H-nya pun dia tidak datang. Sehingga terpaksa aku harus menanggung kerjanya. Bayangkan! Sudah dua event berturut-turut aku menjadi sekretaris resmi dan bendahara tidak resmi. Badanku yang memang gampang sakit sudah menerima akibatnya. Minggu kemarin aku drop. Seminggu aku tidak masuk sekolah. Hal itu semakin meninggikan tembok pembatas antara aku dan Rohis.

Seseorang pernah berkata kepadaku. Ada kalanya kita berada di puncak kebosanan. Di mana kita akan merasa capek, dan tidak mempunyai tekad seperti saat kita mendaki puncak itu. Aku sudah mencoba melihat sisi positifnya. Insya Allah, pengorbananku ini diganjar oleh pahala. Namun lama-lama, penglihatan dari sisi negatif datang menghantuiku. Aku merasa ingin berhenti.

Rahma yang melihat perubahan pada raut mukaku, segera memasang tampang cemas. Persahabatan kami yang sudah terjalin semenjak dua tahun memang membuat kami hafal bagaimana ekspresi kami ketika sedang marah, kesal, stres, bahagia, dan lain sebagainya. Dan ekspresiku mukaku saat ini, sepertinya dibaca oleh Rahma sebagai… Entahlah. Yang jelas, saat ini Rahma hanya diam tanpa berkata apa-apa.

“Sya, masalah kamu semakin berat saat ini. Kenapa gak coba kita tabayyun sama pengurus yang lainnya?” Usul Rahma. Aku diam. Entahlah, aku sendiri tidak tahu apa memang itu yang aku butuhkan. Namun, hati kecilku seolah berteriak menyetujui usul Rahma. Dan tanpa aku pikirkan lebih lanjut, aku mengangguk pelan.

“Kau benar, Ma. Mungkin aku akan membicarakannya saat evaluasi nanti. Sekarang, aku ingin shalat Dhuha dulu. Mau ikut?”

“Tentu saja!” kata Rahma dengan tampang berseri-seri sambil menggaet tanganku menuju ke tempat wudhu.

***

Tak terasa, saat ini sudah pukul 10.45, yang artinya bel pulang sudah berbunyi. Aku merasa gugup. Karena nanti, aku akan berbicara panjang lebar dengan mereka. Entah apa yang nanti akan aku katakan. Mungkin aku akan meminta -istilahnya- cuti sebagai panitia event selama sebulan ke depan. Aku ingin fokus pada pekerjaanku sebagai bendahara, pada pelajaran sekolah, juga pada keluargaku di rumah. Hatiku selalu pedih tiap kali aku mengingat kondisi keluargaku sekarang. Semenjak abi kehilangan pekerjaannya, dan adik kecilku divonis menderita disleksia, hidupku berubah. Apalagi, adikku yang lain juga akan menginjak bangku SMP tahun depan. Namun aku sudah memutuskan untuk menyimpan masalah keluargaku sendiri. Bagaimana nanti aku akan berbicara dengan mereka, aku tidak tahu, biarlah nanti mengalir sendiri.

Aku berjalan lambat-lambat menuju ruang kelas X6 yang sudah dipinjam. Sepanjang lorong menuju ke sana, tak sedikit pun aku menyapa teman-temanku. Dengan menundukkan wajah, aku berjalan tanpa menarik perhatian. Pikiranku sedang ruwet. Tak sampai lima menit, aku sampai di depan kelas X6. Aku menghembuskan napas dalam-dalam. Apa yang sebenarnya aku pikirkan? Takut? Khawatir? Bahkan aku sendiri tidak tahu.

Pintu kelas X6 kudorong dengan berat. Pintu yang sudah tua, membuatnya mengeluarkan bunyi yang keriut keras begitu dibuka. Kontan semua wajah menghadap ke arah pintu. Mereka semua menyambutku. Dengan salam yang serempak dan wajah yang hangat. Begitu hangat, sampai melumerkan bagian hatiku yang tanpa aku sadari telah membeku. Begitu hangat, seolah-olah aku tidak pernah meninggalkan mereka.

Tanpa terasa, aku meneteskan air mataku. Ya Allah! Apa yang telah kupikirkan? Mereka adalah keluargaku. Dan aku telah meninggalkannya di saat-saat terakhir ini. Satu persatu kawanku memelukku. Sedangkan yang ikhwan hanya berpura-pura melihat ke arah lain. Ah, betapa aku merindukan mereka. Ke mana saja aku selama ini?

Namun, mengapa tingkah mereka seolah-olah sudah tahu masalahku? Kulihat Rahma sedang duduk pojok sambil bersedekap dan tersenyum penuh arti. Aku segera mengerti. Dasar sahabatku yang satu ini. Pasti dia sudah tahu bahwa aku hanya akan diam dan tidak berbicara apa-apa. Sehingga dia mengambil keputusan sendiri untuk segera berbicara duluan.

“Sya, jangan nangis lagi dong. Malu tuh sama yang ikhwan,”tutur Rahma sambil berjalan ke arahku. “Nah, teman-teman, sudah pada tahu kan apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, tolong singkirkan pikiran negatif kalian ya. Kita bantu Kasya.” Ujar Rahma sambil tersenyum.

***

Kami duduk melingkar di lantai beralaskan tikar. Satu persatu kami berbicara, bertukar pikiran dan pendapat. Bahkan, mereka memberikan solusi atas masalah-masalahku. Ah, indahnya ukhuwah. Kami sepakat, bahwa aku -hanya untuk sebulan ini- akan vacuum sebagai panitia event untuk mengistirahatkan mental dan fisikku. Aku juga akan mulai menjual karya-karya flanelku yang alhamdulillah sudah diakui di kalangan teman dekatku. Lumayan, setidaknya aku tidak akan meminta uang jajan kepada orangtua. Keputrian akan membantuku memasarkannya. Lagi-lagi aku hanya dapat mengucapkan terima kasih.

Hal yang membuatku meneteskan air mata lagi, adalah ketika Fandi dan Rangga –ketua maulid- mengucapkan terima kasih atas dedikasiku selama ini. Mereka berkata jujur, bahwa tanpa aku, mungkin mereka akan kelabakan mencari penggantiku. Mereka juga mengatakan, bahwa aku menjadi contoh bahwa selama ini, kita harus mau mengerjakan sesuatu. Bukan hanya memikirkan, lalu menyuruh orang lain mengerjakannya. Aku jadi sedikit geer. Mukaku menjadi merah, tapi itu juga karena aku habis menangis lho. Terlebih teman-temanku berkata bahwa mereka akan membantuku.

Sungguh, aku merasa malu karena aku sempat menyalahkan mereka akan kesulitan-kesulitan yang menimpaku. Ketika aku berpikir seandainya saja mereka tidak memberikanku tugas-tugas tersebut. Aku segera menyadari, bahwa Dialah yang mengirimiku ujian itu. Untuk mengujiku, juga untuk membuatku lebih kuat. Bukankah Allah tidak pernah memberikan ujian kepada seorang hamba apabila dia tidak mampu menanggungnya? Karena berkat kawan-kawanku, aku tidak lagi takut akan ujian ataupun cobaan yang menghampiri. Bukankah dibalik satu kesulitan terdapat dua kemudahan?

***

Sekarang pukul 11.30 WIB. Hanya setengah hari, aku mendapatkan hartaku kembali. Yaitu, kepercayaan dan kenyamanan terhadap keluargaku di Rohis. Juga segala solusi dari segala permasalahanku. Senyumku terus mengembang. Hari yang cukup panjang, tapi juga cukup singkat. Terima kasih duhai kawan, sahabat, keluarga. Yang telah memberikanku asupan rohani untuk mengimbangi kehidupanku di SMA ini. Yang telah membantuku untuk menjadi diriku sendiri, membantuku mencari arti hidup ini. Memberikanku oasis di tengah maraknya kehidupan SMA.

Bagaimana mungkin aku berpaling darimu? Ketika kita telah berbagi suka dan duka sejak pertama kali bertemu. Ketika kita telah berkomitmen bersama untuk melayarkan bahtera dakwah mungil di sekolah tercinta ini? Ketika kita saling belajar mengenai ukhuwah? Ketika kita saling mengingatkan satu dan yang lainnya? Ketika kamu mempertemukan aku dengan kawan yang selayaknya saudara? Jazakumullah khairan katsiran, Rohis.

Konten ini telah dimodifikasi pada 12/04/13 | 04:41 04:41

Seorang pelajar biasa yang bermimpi dapat menggugah dunia lewat kekuatan kata demi kata.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...