Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Eksplorasi Mandiri

Eksplorasi Mandiri

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Gurun (inet)
Gurun (inet)

dakwatuna.com – Sampai batas tertentu, mempelajari semesta hingga ke negeri jauh memberi banyak variasi pengalaman dan sudut pandang kehidupan yang mengembangkan pemikiran. Itulah salah satu rahasia perjalanan internasional Muhammad kecil ke Syam dan Yaman yang membuatnya matang di misi kenabian masa mendatang. Begitupun kisah para perantau ilmu yang arungi ribuan mil mencari cahaya pengetahuan untuk terangi redupnya kampung halaman.

Namun ekspedisi ke negeri jauh bukan jalan tunggal, karena revolusi teknologi hari ini merevolusi cara belajar, yaitu eksplorasi mandiri atau belajar otodidak. Yang pertama unggul karena diri dipaksa menghadapi tantangan situasi, geografi, dan problem-problem baru yang bahkan tidak pernah terpikir di daerah asal.

Dalam ekspedisi ke dataran jauh lingkungan eksternal memaksa motivasi agar terus membara, tapi dalam eksplorasi mandiri obsesi internal yang memberi nafas kerja. Jika dalam ekspedisi jauh situasi-situasi baru yang menyuplai bahan pengetahuan, dalam eksplorasi mandiri perencanaan yang menentukan objek pembahasan. Dalam ekspedisi jauh masyarakat baru, budaya baru memaksa Anda berbahasa baru lalu menggali pengetahuan dengan bahasa itu, dalam eksplorasi mandiri kursus bahasa jalan pembuka pemahaman.

Eksplorasi mandiri, adalah jalan para pemuda yang mengalahkan kesempitan kesempatan. Yaitu mereka yang mengembangkan pikiran tanpa menunggu waktu ujian, namun mengkonversi cita-cita menjadi motivasi kerja. Mereka yang tidak mengeluhkan keterbatasan pendidikan formal namun membuat sendiri kurikulum kehidupan. Mereka yang tidak dibimbing dosen kelas namun dipandu pergaulan yang cerdas. Mereka yang tidak hidup di negeri asing tapi memasuki komunitas bahasa asing. Motivasi, guru, metodologi dan bahasa adalah empat perangkat eksplorasi mandiri, atau belajar otodidak.

Jika para ulama menganggap sepertiga Islam terangkum dalam hadits, “innamal a’mâlu bin niyyât” [sunguh, kerja-kerja itu tergantung motifnya], itu bukan hanya karena urusan ikhlas-tidak ikhlas, tapi juga ia menunjukkan makna lain yang sama dalamnya, yaitu skala motivasi. Seperti tingkat motivasi hijrah generasi sahabat yang berlevel, yang akhirnya menjadi ukuran kinerja mereka, begitupun hidup manusia secara umum, mengikuti kaidah sosial tersebut. Karya manusia yang megah selalu berbahan bakar motivasi yang melimpah.

Motivasi pemuda pembelajar yang hanya mengejar kerja di perusahaan minyak tidak sama dengan motivasi pemuda yang bermimpi mengisi kekosongan umat Islam dari pakar minyak bumi atau nuklir atau undang-undang internasional atau pakar manuskrip sejarah negeri. Ingatan akan cita-cita besar itulah yang pada akhirnya terus mengisi motivasinya untuk mengeksplorasi pengetahuan walau secara mandiri dalam waktu yang panjang.

Tapi motivasi menggebu itu membutuhkan arah yang benar. Karena ilmu yang benar dibagun atas fondasi metodologi yang benar. Tidak ada lagi manusia yang mampu menjadi pakar multi disiplin seperti Ibnu Sina, atau Aristoteles. Dan waktu yang ada tidak akan cukup untuk membaca semua buku terbaik yang pernah tercipta. Cita-cita yang jelaslah yang menentukan satuan-satuan objek yang perlu dikuasai. Bahan pengetahuan untuk menjadi negarawan tidak sama dengan pakar tata kota, dan metodologi menjadi pakar nutrisi tidak sama dengan pakar kimia. Namun semuanya bisa dipelajari secara mandiri.

Ia hanya membutuhkan team pengarah. Ia membutuhkan guru-guru yang mengarahkan metodologi paling efisien untuk menguasai bidang tertentu. Guru tidak sama dengan buku, karena mereka telah melewati ranjau kekeliruan dalam perjalanan menuju kepakaran.

Mereka tidak hanya berdiri di ruang kuliah, tapi di tempat kerja, tetangga, di masjid, di pasar, atau bahkan anak-anak muda yang berkesempatan mendapatkan asupan resmi lembaga-lembaga pendidikan formal. Mereka adalah orang-orang yang lebih dulu mempelajari bidang yang kita harapkan dan menyelesaikannya. Karena orang bijak bukan hanya belajar dari kesalahan pribadi, tapi tidak perlu mengulangi kesalahan orang lain.

Dalam eksplorasi mandiri, guru tidak berfungsi sebagai pentransfer detail materi tapi arah umum metodologi. Berupa batasan pembahasan dalam suatu ilmu, tahapan dan referensi utamanya. Karena pada akhirnya, metodologi itu seperti pakaian yang mempuyai ukuran. Para pemuda sendirilah yang menjabarkan metodologi umum itu, lalu membuat rencana pembelajaran tahunan, hingga akhir usianya. Mereka sendirilah, dan bukan guru, yang menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan seperti: dalam potongan usia tertentu, target ilmu apa yang harus selesai? Bagaimana membaginya dalam jadwal bulanan atau mingguan? Buku apa saja yang perlu dibaca? Pakar mana saja yang perlu dimintai konsultasi?

Perangkat lain adalah bahasa asing. Dibalik setiap cerita revolusi pengetahuan, selalu berdiri barisan para pemuda cendekia yang melampaui ketidakberdayaan bahasa negerinya dalam persaingan pengetahuan yang paling mutakhir. Seperti generasi awal ilmuwan-ilmuwan Yunani yang menerjemahkan pengetahuan Mesir kuno dan Babilonia, kemudian muslim Arab zaman Daulah Umawiyyah dan Abbasiyyah yang menerjemahkan pengetahuan Yunani, lalu bangsa Eropa abad pertengahan yang menterjemah pengetahuan dari negeri-negeri muslim khususnya dari Andalusia di Spanyol, Sisilia di Italia dan Istambul di Turki.

Generasi muda yang menguasai bahasa asing itu tidak bertugas mengadopsi budaya asing yang baru, namun menyerapnya sebagai bahan yang diolah menjadi solusi yang paling tepat bagi negerinya. Karena seperti itu siklus sejarah dan alur kebangkitan sebuah umat. Dari murid menjadi guru, dari pengikut pengetahuan menjadi pemimpin peradaban.

Bahasa asing bukan lagi makhluk asing di Indonesia karena lembaga kursus seperti gedung-gedung Dubai di tanah tandus. Ia tumbuh dengan pesat dan menyebar di kota-kota besar. Namun bahasa asing bukan hanya untuk berdendang dan berbincang apalagi prestise. Ia adalah alat untuk membuka gembok-gembok pengetahuan, kacamata untuk membaca literatur-literatur terbaik sepanjang zaman. Bahasa asing, khususnya Arab, Inggris, Perancis, Cina, Jepang, bagi pemuda bukan lagi untuk obrolan harian dalam club bahasa, tapi kebiasaan dalam telaah riset dan kajian-kajian dalam eksplorasi mandiri. Tanpa bahasa asing, walau dengan semangat membaja, guru yang membina, dan metodologi yang rapi tertata, suatu saat akan dirasai, bahwa ruang gerak eksplorasi mandiri terasa sangat sempit.

Redaktur: Samin Barkah, Lc. M.E

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Muhammad Elvandi lahir di Bandung, tahun 1986. Ia menyelesaikan seluruh pendidikan dasarnya di Bandung: SDN Cibuntu 5, SLTPN 25 dan SMUN 9. Bahasa Arab mulai dikenalnya dari dasar selama dua tahun di Ma’had Al Imarat dan bahasa Inggris selama sembilan bulan di LIA. Skill kepemimpinannya terlatih sejak pramuka, menjadi ketua IKMA rohis SLTPN 25, ketua bidang tarbiyah PRISMAN SMUN 9, dan president UCC (United Conversation Club) dan presiden mahasiswa BEM Al Imarat. Pengalaman menulis pertamanya adalah sebuah novel kepahlawanan di zaman perang salib ‘Syair Cinta Pejuang Damaskus‘ tahun 2006. Pertengahan tahun 2007 mendapatkan beasiswa kuliah S-1 di Universitas al-Azhar Mesir, jurusan Da’wah wa Tsaqâfah al-Islâmiyyah hingga selesai tahun 2011. Selama menjadi mahasiswa di Mesir kembali menekuni aktivitas kepenulisan hingga terbit buku ‘’Inilah Politikku’’. Juga terjun dalam organisasi mahasiswa dan menjadi ketua BPA-PPMI. Dan menjadi pembicara di puluhan forum Keislaman, Kepenulisan, Leadership, Public Speaking dan Politik. Ia menggemari sastra secara umum, juga buku-buku sejarah, pemikiran, dan politik. Tahun 2011 Elvandi meneruskan kuliah ke Perancis. Mempelajari bahasa Perancis dalam setahun di Saint Etienne lalu mengambil Master Filsafat di Institut Europeen des Sciences Humaines de Paris hingga 2014. Ia menjadi konsultan pendidikan dan keislaman untuk komunitas pekerja perusahaan Internasional Total Paris, juga menjadi pembicara keislaman dan keindonesiaan di KBRI Perancis, KBRI Autria, KBRI London, Forum Keislaman IWKZ Berlin, SGB Utrech Belanda, KIBAR United Kingdom, dan beberapa komunitas muslim lokal di Newcastle, Manchester, Glasgow dan Aberdeen. Tahun 2014 Elvandi mengambil mengambil Master kedua di University of Manchester pada program MA Political Science: Governance and Public Policy yang diselesaikan di pertengahan 2015. Saat ini Elvandi membangun beberapa lini bisnis di Indonesia dan Eropa, juga menjadi pembicara di forum-forum dalam dan luar negeri, serta menjadi dosen di Telkom University Bandung. Elvandi juga membina berbagai komunitas anak muda di Indonesia. MUDA Community (www.muda.id) adalah komunitas Muslim Berdaya yang fokus membangun kemampuan pemikiran dan ilmu-ilmu keislaman di generasi muda. Juga AFKAR Institute, adalah lembaga kajian strategis, Think Tank yang mengkaji tema-tema strategis keumatan di level Indonesia dan global.

Lihat Juga

Muhammad Jadi Nama Paling Populer di Berlin dan Sejumlah Kota di Eropa

Figure
Organization