Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kalau Mau yang Nyaman, Bukan Namanya Tarbiyah

Kalau Mau yang Nyaman, Bukan Namanya Tarbiyah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Tarbiyah wanita muslimah (ukkiunso3d.wordpress.com)
Tarbiyah wanita muslimah (ukkiunso3d.wordpress.com)

dakwatuna.com – Hidup itu tidak statis tapi dinamis. Ada hal yang mempengaruhi pergerakan (kehidupan) kita. Salah satunya adalah berbagai urusan yang diamanahkan kepada kita atau masalah-masalah (tantangan) yang dihadapkan kepada kita untuk diselesaikan, sebagai bagian dari proses menjalani kehidupan. Jika kita tidak mau bermasalah maka mati saja. Memang benar, setelah meninggal kita sudah tidak punya masalah di dunia. Permasalahan kita yang ada di dunia biasanya akan diwariskan kepada keluarga kita baik secara langsung atau tidak langsung. Tapi permasalahan akhirat menghadang kita, apakah kita mendapat nikmat kubur atau siksa kubur. Memang nikmat kubur adalah nikmat yang diharapkan setiap orang di alam barzakh, dan surga adalah cita-cita semua umat. Tapi siapa jamin setelah kita meninggal dunia, kita mendapat nikmat kubur atau bahkan surga?

Kita bisa menjadi dewasa karena kita bergerak (dinamis). Karena pergerakan itu yang menjadikan kita bertemu dengan segala urusan (tantangan) dari berbagai sisinya. Urusan yang akan kita selesaikan itu banyak, sehingga dianjurkan fokus pada permasalahan agar bisa diselesaikan dengan maksimal. Setelah itu baru kita beralih pada permasalahan selanjutnya.

Allah berfirman “Maka apabila telah menyelesaikan suatu urusan, kerjakanlah urusan yang lain, dan kepada Tuhanmu gemar dan berharaplah!” (Al-Insyiroh ayat 7-8).

Penyelesaian masalah merupakan salah satu tahap pendewasaan hidup dan sarana menambah kapasitas diri kita dalam menjalani kehidupan. Kalau tantangan hari ini belum bisa kita selesaikan, maka akan sangat kewalahan kita menghadapi tantangan hari esok. Karena sejatinya tantangan yang akan kita hadapi di hari esok levelnya sudah meningkat dari tantangan hari ini. So, hadapi dan jangan lari.

Begitu juga dengan tarbiyah, dalam aktivitas tarbiyah akan ada dinamika di dalamnya. Mulai dari rekomposisi pergantian murabbi, pergantian teman satu liqoat. Serta gonjang ganjing yang menimpa jamaah ini. Perbedaan geografis pun kadang bisa menimbulkan dinamika dalam aktivitas tarbiyah (halaqah) serta dinamika yang lainnya.

Dengan dinamika yang ada kadang ikhwah kurang nyaman lagi dalam menjalai aktivitas tarbawinya. Alasannya banyak, bisa jadi di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Merasa mendapat teman liqa yang kurang pas

Hubungan emosional yang sudah terbangun dengan teman-teman liqoatnya yang dulu sangat wajar jika merasa kehilangan dan harus menyesuaikan ulang dengan karakteristik teman-teman liqoatnya yang baru. Sebenarnya permasalahan ini sudah clear kalau kita sudah menerapkan rukun halaqah dalam aktivitas tarbawi kita. Bagaimana kita dituntut lebih mengenal (ta’aruf), lebih memahami (tafahum), lebih saling menolong (ta’awun) dan saling menanggung beban (takaful). Jika kita sudah bersedia memasuki jamaah ini maka kita diminta untuk menerapkan rukun ini. Tidak mudah memang, tapi harus dicoba-dan terus dicoba. Minimal coba membuka materi rukun halaqah kembali. Sehingga tidak ada alasan lagi kalau kita merasa tidak cocok dengannya karena tidak gaul, merasa lebih muda, merasa lebih tua, pasif (pendiam), atau apapun yang kita sangkakan pada teman-teman kita. Di sini kita dituntut untuk menyelami emosi mereka. Sekali lagi tidak mudah memang, tapi minimal kita tidak menampakkan ketidaksenangan dengan mereka. Kalau sudah akut maka kita selesaikan secara kekeluargaan, tidak menghindar dari persoalan dan endingnya kita memilih tidak mau berangkat halaqah alias keluar.

Ada juga masalah yang timbul karena ditempatkan dengan orang yang tidak selevel. Baik merasa level kita lebih tinggi dari mereka atau kita merasa yang jauh di bawah mereka. Jangan menyalahkan kaderisasi dalam hal ini. Mereka insya Allah sudah mempertimbangkan segala macamnya. Sekedar menanyakan alasan tidak dilarang. Tapi kader yang baik insya Allah sami’na wa atho’na. Toh kita yakin mereka tidak akan menjerumuskan kita. Tujuan mereka juga bukan untuk mengurangi jumlah kita, tapi menambah dan mensolidkan. Mereka punya sudut pandang yang lain yang sudah dimusyawarahkan. Meskipun kita tidak ikut musyawarah. Kalau semua kader diajak musyawarah bisa jadi prosesnya akan panjang, tidak efektif dan tidak efisien… Jamaah sudah menunjuknya sebagai orang yang mempunyai tanggung jawab untuk mereshuffle kelompok kita. Kalau kita percaya jamaah ini sudah sepantasnya kita percaya padanya. Jangan ada istilah nggremeng atau ngomong di belakang. Ingat!!! Alqiyadah wal jundiyah.

2. Merasa mendapat Murabbi yang kurang pas sesuai keinginan.

Semua menginginkan Murabbi ideal tapi stok murabbi ideal itu terbatas. Kita menginginkan murabbi dengan kriteria ini, itu dan sebagainya. Kadang tidak dilihat SDM yang ada seperti apa. Kalau ingin menjadi murabbi ideal, cobalah dulu menjadi Mutarabbi ideal. Sudahkah kita lakukan itu? Sehingga kita tidak banyak menuntut hak.

Tidak kita pungkiri, bahwa banyaknya kader tarbiyah di berbagai daerah adalah hasil “suntikan” dari berbagai kampus di Indonesia. Makannya kalau mau pindah domisili, minta surat mutasi sama Murabbi. Pada masa-masa awal, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang banyak memasok stok kader di berbagai daerah. Sekarang mungkin bisa jadi bergeser ke Perguruan Tinggi Negeri lainnya. Terutama Perguruan tinggi ternama yang masuk kategori Dakwah kampus tahap dua dan tiga yang mempunyai LDK yang solid (Kriteria LDK Mapan. Sehingga kalau mau nyari Murabbi bergelar Lc harus ngantri. Yakin saja ada rencana Allah yang lebih indah ketika kita mendapatkan murabbi baru tersebut. Sekali lagi ini proses belajar. Minimal belajar menerima hasil keputusan. Ingat, jadi Mutarabbi ideal dulu sebelum menuntut murabbi ideal. Kalau kita tidak bisa mendapatkan ilmu yang diharapkan dari murabbi yang baru kan bisa mencari ilmu di luar halaqah. Banyak sarananya, ada tatsqif, penugasan dll. Sudahkah itu kita jalankan dengan maksimal?

3. Mendapat Murabbi baru yang sering berinteraksi (dekat) dengannya

Ini biasanya terjadi di kampus. Biasanya yang membuat tidak nyaman karena satu kontrakan atau satu angkatan, atau karena terlalu sering berinteraksi dengannya sehingga mutarabbi sudah tahu “belang” Murabbi bahkan sebaliknya. Meski kita tahu tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Bisa jadi dari masalah sepele yang dibesar-besarkan sendiri hanya ingin mencari alasan agar tidak mendapatkan murabbi seperti itu.

Sudah tidak asing di khalayak ramai, perkataan seseorang kadang tidak lagi diperdengarkan meskipun perkataannya sangat baik dan benar hanya karena belang masa lalunya. Cobalah berusaha memaafkan dan hidup berdampingan secara emosional dengan harmonis. Umar bin Khattab juga mempunyai belang masa lalu, tapi Allah, Rasul dan rakyatnya tidak mengungkit-ungkit masalahnya.

Jika yang dipermasalahkan karena terlalu dekat. Bukankah halaqah memang dibuat sistemnya agar kita semakin dekat dengan semua orang? Memang masalah psikologi dan “chemistry” calon murabbi dan Mutarabbi menjadi pertimbangan dalam pengelompokan. Tapi kalau sudah ditetapkan demikian insya Allah ada alasan yang lebih kuat dan maslahat jika kita dipasangkan dengannya.

Ada hikmah dibalik itu semua. Salah satunya kita dituntut untuk belajar ilmu baru, ilmu bagaimana bisa menerima orang lain yang bukan seperti kita harapkan. Karena sejatinya mereka juga saudara kita. Bukan namanya tarbiyah kalau kita cuma nyaman-nyaman saja. Kalau kata Murabbi saya dulu “justru dengan tarbiyah kita dituntut merasakan hal yang kurang nyaman. Kadang seorang murabbi mencari-cari apa yang Mutarabbi tidak sukai. Setelah itu sang Mutarabbi mendapatkan tugas untuk berinteraksi dengan apa yang tidak ia sukai. Kita menginginkan Mutarabbi multi talenta, tidak terjebak dengan trauma persepsi yang menimbulkan seseorang itu merasa tidak bisa sehingga kapasitas dirinya menjadi tumbuh dan berkembang seperti arti kata tarbiyah itu sendiri. Penugasan yang diberikan oleh sang murabbi bisa jadi akan dibenturkan dengan kondisi fisik, ma’nawi/ ruhy, finansial, kapasitas kepemimpinan dan lain sebagainya. Baru disuruh dan di tugasi ini itu sudah ngambek, cemen nanyanya. Apa seperti itu yang diinginkan dari tarbiyah?”

Tarbiyah ini menumbuhkan kita dan mengembangkan kita dengan dinamika yang ada, Tarbiyah bisa dikatakan berhasil manakala kita bisa menyesuaikan dengan dinamika yang ada tapi tetap dalam koridor syar’i. Dengan dinamika yang ada justru kita akan mendapatkan ilmu yang lebih banyak dari berbagai sisinya.

Allahu alam bishowab. 

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Tentang

#Konsultan, #Alumni FSLDK, #Melingkar, Pencari Ridho Allah SWT

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization