Perempuan Maktabah yang Tak Kukenal

Ilustrasi (kawanimut)

dakwatuna.com – Aku bertemu dengan seorang perempuan di maktabah. Ia duduk di hadapanku, satu meja. Jemarinya tak henti mengetik. Sesekali menelepon.

Mengetik skripsi, katanya. Ia baru mengerjakan dua minggu, padahal teman yang lain sudah hampir selesai.

Deadlinenya pertengahan Maret ini. “I’ll finished it, are u sure?” tanyanya. Aku mengangkat bahu, nyengir, “Injury time!”

“Mahasiswa sini, mas?” tanyanya.

Aku menidakkan. Dan cerita pun mengalir dari mulutnya. Tentang masa lalunya.

Perempuan itu dulu kuliah di LP Tarakanita, jurusan sekretaris. Biasa, kampus katolik disiplin, dosennya kebanyakan dari luar negeri. Galak-galak. Atas kegalakan itu, tak heran banyak lulusannya yang kariernya cemerlang. Perempuan ini masih bercerita, terus bercuap bak penyiar radio.

Dan ternyata ia memang pernah kerja di Prambors. Pantas saja.

Lulus dari Tarakanita ia melanglang buana dari perusahaan multinasional, bekerja dengan orang Jerman, Belanda, Vietnam dan lainnya.

Kariernya cemerlang, segala fasilitas ia dapatkan. Ia bangga, bisa menikmati itu semua. “Bahkan aku bisa…” tangannya seperti orang nyuci piring.

Pada suatu hari anaknya sakit-sakitan, dan ia memutuskan untuk, “…Saya pun resign, demi anak saya,” lirihnya.

Ujian tak sampai di situ. Sesembuhnya anak, giliran ia yang sakit. Tubuhnya kedinginan. Suaminya sudah memeluk dan memberi beberapa selimut tebal, tetap dingin.

“Terkena malaria,” ucapnya.

Berjalannya waktu, ia pun menemukan sesuatu yang berharga. “Aku tidak tahu kapan tepatnya, hidayah ini terlalu indah,” ucapnya.

“Maaf ya, aku banyak bicara. Saya memang lebih banyak bicara, karena karir saya memang lebih ke public speaking. Beda dengan mas yang penulis,” ceritanya ceria.

Perempuan berkaca mata itu mengakhiri ketikan. “Jadi, pinjam ini? Saya juga tidak tahu bahasa Arabnya “membawa”,” ia menyodorkan kamus kecil.

Aku hanya meminjam sebentar, membolak-balik saja. “Mungkin kalo aku ceritakan semua akan jadi sinetron he-he-he,” mukanya makin bulat.

Tak lama, ia berbenah. Pamit. Meninggalkan maktabah kampus hijau. Dan aku baru ingat satu hal, aku lupa menanyakan: siapa nama, mbak?

Konten ini telah dimodifikasi pada 19/03/13 | 09:47 09:47

Koordinator Syiar Humas Badan Dakwah Rohani Islam (Badaris) BSI Jakarta. Menulis bagi saya adalah kebutuhan tak ubahnya makanan jiwa. Kebahagiaan sebagai seorang penulis ketika tulisan saya mendatangkan manfaat buat orang lain.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...