Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Meneguhkan Jiwa Pejuang Dakwah

Meneguhkan Jiwa Pejuang Dakwah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)

dakwatuna.com – Aku merenung panjang, melalui pikiran. Aku tersentuh helu, melalui hati. Inilah jalan yang ku tempuh. Inilah pilihan jejak hidup yang ku pilih. Dan aku ingin kita semua merenungkan diri dengan muhasabah dalam munajat yang dilakukan. Aku ingin kita berkaca pada sejarah dengan titah emasnya untuk kita mengintrospeksi jiwa. Aku ingin kita untuk kembali lebih mengenal sosok jiwa / diri kita dengan potensi yang besar serta pemahaman yang melangit. Yaaa, aku inginkan ini, dengan kembali pada diri jiwa kita.

Tenang dan hening. Sunyi dan senyap. Semua sudut kota mekah yang berada di sekitar enam mil dari ketinggian gua itu terlihat jelas. Sejelas purnama di malam hari. Atau matahari di siang hari. Lelaki di usia 37 tahun menjalani hari-hari yang panjang selama 3 tahun dalam kesunyian di gua itu. Ketika usianya genap 40 tahun malaikat Jibril datang padanya membawa wahyu dan seketika resmi menjadi nabi terakhir yang menutup rangkaian panjang sekitar 350 ribu nabi dan rasul. Ketika kembali ke rumah ia berkata kepada sang istri “sekarang tidak ada waktu tidur Khadijah “.

Para pencinta sejati membutuhkan saat-saat hening dan sunyi seperti itu. Karena cinta adalah tindakan member tanpa henti, maka para pencinta sejati membutuhkan energy besar untuk menjaga kesinambungan kontribusinya. Dalam keheningan dan kesunyian seperti itulah ia menyerap energy kehidupan ke dalam dirinya.

Itu adalah jenak-jenak di mana ia kembali ke dalam dirinya sendiri. Menemui ruhnya, menyapa jiwanya, berdialog dengan akalnya. Di sana ia menyatukan kembali bagian-bagian dirinya yang mungkin berserakan dalam lelah atau tercabik di jalan kehidupan yang panjang. Di sana ia menyegarkan kembali pada cita-cita luhur dari cinta yang agung. Di sana ia menguatkan kembali komitmennya pada cita-cita luhur cintanya. Di sana ia menyerap semua energy kehidupan yang ia perlukan untuk melanjutkan perjalanan cintanya. Di sana ia meneguhkan kembali tekadnya untuk terus mencinta dan mencinta.

Itu juga adalah jenak-jenak di mana ia kembali ke dalam dirinya lalu keluar membawa ruh, akalnya dan jiwanya menemui langit. Di sana ia menemukan kembali keyakinan pada kebenaran jalan cintanya. Di sana ia menyerap bantuan langit yang tak terbatas. Di sana ia menemukan kembali ketenangannya yang terganggu di sepanjang jalan cintanya.

Ketenangan adalah syarat utama untuk menjadi manusia yang produktif. Cinta mengharuskan kita memiliki orientasi pada performansi yang kuat. Dan itu hanya mungkin dicapai ketika kita mengalami titik keseimbangan tertinggi pada proses penerimaan dan pengeluaran energy. Ketenangan adalah cara menghemat energy. Tapi perenungan adalah cara menyerap energi. Dan memberi adalah cara menyalurkan energy. (Baca: Serial Cinta “H. M Anis Matta” Bagian Jalan Sunyi Sang Pencinta).

Inilah hal pertama yang harus kita lakukan dalam menyongsong jejak perjuangan kita. Karena pada dasarnya, masalah-masalah pribadi masih tercampurkan dalam kolektif jamaah di wajihah. Kedewasaan dalam bersikap belum begitu kokoh. Keikhlasan masih sangat perlu belajar lebih lagi. Ini memang seharusnya sudah dikholaskan, tapi labilnya jiwa masih mampu menghipnotis jiwa untuk mewujudkan semuanya.

Ikhwah fillah, ke mana jiwa/ruh perjuangan? Ke mana komitmen yang tertancap dalam ikrar? Ke mana pemahaman yang terbangun selama ini? Ke mana hasil tarbiyah yang selama ini kita geluti? Ke mana impian besar yang terlontarkan dalam argumentasi kala syura’? Ke mana??? Sudah sejauh mana pengorbanan kita untuk jalan ini? Sudah sebesar apa kontribusi kita untuk jalan ini? Sudah sejauh mana keikhlasan perjuangan kita dijalan ini???

Memang mungkin tidak pantas Ana mempertanyakan ini pada Antum/na semua, tapi Ana ingin kita merenungi pertanyaan ini. Ana ingin jiwa/ruh kita meresapi pertanyaan ini dalam tenang, hening, sunyi dan senyap munajat kita. Karena ini menyangkut perihal dan pilihan pribadi.

Ikhwah fillah, ketahuilah “Se-rasional apapun rasionalisasi yang Antum/na utarakan dalam rasionalisasi Antum/na, tetap akan menjadi Ir-rasional bila terkait dengan jalan dakwah ini”. Tinggal bagaimana Antum/na memilih.

Rasanya kecil sekali qadhaya-qadhaya ini, ukhuwah, komitmen, komunikasi, dll. Bukankah kita telah sepakat ini remeh temeh! Bukankah kita punya tim! Apa memang kurang tsiqah dengan tim! Bukankah kita punya obat ampuh untuk itu dengan “syura”! Kembali kita pertanyakan jiwa kita. Karena bisa jadi Kita telah terlampau jauh terhanyut dengan perahu nafsu dan ego jiwa kita. Hingga menutup akses untuk sebuah mencari walau sebuah solusi.

Kita telah menguasai, betapa mengharu biru dan berdarah-darah perjuangan pembawa Risalah awalun kita. Padang pasir yang tandus menjadi medan, terik matahari menyengat menjadi cahaya penerang jejaknya, serta jahiliyah menjadi garapan objek dakwahnya. Siksaan dan cacian menjadi makanan wajib dalam perjuangannya. Karena itulah tarbiyah dalam dakwah yang mereka peroleh.

Kita tau “Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai. Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.

Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga… Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yang diturunkan Allah. Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang.

Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang shalih, yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat shalat.

Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan.

Tidak, Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”. Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani.  Justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi. Akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.

Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.

Begitu pun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan”, hal itu sudah menjadi kewajaran… Dan menjadi semacam tonik bagi iman…

Karena itu kamu tahu. Pejuang yang heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah dia petunjuk. Sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang”. Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta. Mengajak kita untuk terus berlari.

Lantas Kita??? Apa yang telah kita perbuat ? Sudah seberapakah pengorbanan kita? Kembali harus kita pertanyakan pada jiwa kita.

Namun dengan kondisi dakwah seperti ini, kita juga sama-sama tau, bahwasanya dakwah ini tidak sama sekali membutuhkan kita. Sangatlah sering kita dengar, bahwa dakwah ini ada atau tidak adanya kita akan terus ada berkobar menjulang angkasa. Seharusnya ini menjadikan kita lebih mencintai dakwah ini. Seharusnya ini menjadikan kita lebih membutuhkan dakwah ini. Seharusnya ini lebih mempertebal komitmen dan semangat kita dalam berjuang. Karena benar, pada dasarnya dakwah ini tidak membutuhkan kita. Dakwah ini ada karena ALLAH.SWT sendiri yang melindunginya. Karena dakwah ini suci yang dijaga langsung oleh ROBB yang maha suci. Jadi jangan pernah Antum/na mengira dan terbesit dalam hati, kalau dakwah ini berutang ada Antum/na sehingga dengan adanya Antum/na dakwah ini tetap ada.

Tugas kita pertama hanya memilih. Yaa memilih mau kearah mana langkah Antum/na ulurkan dalam rotasi jejak hidup. Apa menjadi jundi ALLAH atau jundinya duniawi, apa menjadi pengikut jejak perjuangan Rasulullah.SAW atau menjadi pengikut heroik dan gemerlapnya dunia. Apa menjadi pejuang sejati yang siap tempur bagaimanapun kondisi medannya atau menjadi pembelot dengan berbagai rasionalisasi yang Antum/na utarakan (???).

Kita semua cerdas dan tentunya pasti tidak akan salah pilih. Tinggal bagaimana dengan pilihan tersebut Antum/na bermanuver dengan dinamika perjuangan di medan dan rumah kita.

Ikhwah fillah, namun apakah tidak begitu menggiurkan untuk kita akan Jannah ILLAHI yang dijanjikan pada pejuang RisalahNYA ini? Apakah tidak begitu ingin kita berlomba-lomba menjembut amal-amal melalui garapan amanah kita? Apakah tidak ingin untuk mengukir sejarah gemilang?

Ikhwah fillah, seharusnya juga kita sadari, bahwa memang, pada dasarnya orang-orang yang bergelar pahlawan itu sedikit. Karena memang membutuhkan jiwa dan mentalitas kepahlawanan pula untuk menjemput gelar tersebut. kita yang masih bertahan kokoh dengan terpaan ombak yang mampu mengikis asa, azzam dan komitmen, yang masih bertahan dalam medan yang penuh dengan onak dan duri yang menusuk jejak, yang terus berjuang menyebarkan rahmatan lil alamin dengan medan yang gersang, panas dan berdebu ini, ADALAH PARA PEJUANG SEJATI dengan gelar kepahlawanannya. Pejuang sejati yang ikhlas dalam bergerak, kuat dalam melaju dan tegar dalam berjuang. Pejuang sejati yang terus bertahan dalam kondisi apapun di medan perjuangannya. Pejuang sejati yang tidak akan mau meninggalkan medan perjuangannya tanpa ada peninggalan berharga sebagai wujud menggapai visi. Pejuang sejati yang tidak akan mau pergi ketika medan perjuangannya masih menjadi pikirannya. Pejuang sejati baru akan beralih ke medan juangnya yang lain ketika medan perjuangannya itu telah sesuai dengan harapannya. Jadilah pejuang sejati itu kawan bukan pecundang!! Allahu’allam.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Lahir di Kab. Musi Rawas, Juli 1992. Sekarang sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Program Khusus pada Studi Hukum dan Kenegaraan (HTN). Aktif pengelola dakwah Fakultas Hukum UNSRI dan sebagai Ketua Umum KAMMI Komisariat AL-AQSHO UNSRI.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization