Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kuliah Pranikah: Mengenal Diri dan Calon Pasangan

Kuliah Pranikah: Mengenal Diri dan Calon Pasangan

Ilustrasi (griyapernikahan.com)
Ilustrasi (griyapernikahan.com)

dakwatuna.com – Menikah dan membentuk keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah (QS. Ar-Rum: 21) adalah dambaan semua orang. Siapapun yang menikah dan membentuk bahtera rumah tangga, berharap akan bisa memiliki keluarga yang harmonis. Kata harmonis memiliki makna keselarasan dan keserasian antara suami, istri dan seluruh anggota keluarga. Selaras dan serasi, menunjukkan suatu kesamaan tujuan dan cita-cita atau visi, walaupun kondisinya tidak selalu sama. Mungkin saja ada hal yang berbeda, namun perbedaan terbingkai dalam keselarasan dan keserasian.

Allah menciptakan manusia dalam wujud yang indah (QS. At-Tin: 4), dan untuk mereka Allah menciptakan pasangannya (QS. An-Nisa: 1). Secara naluriah, manusia akan memiliki ketertarikan kepada pasangan jenisnya. Ada sesuatu yang amat kuat menarik, sehingga laki-laki dengan dorongan naluriah dan fitrahnya mendekati perempuan. Sebaliknya, dengan perasaan dan kecenderungan alamiyahnya perempuan merasakan kesenangan terhadap laki-laki (QS. Ali Imran: 14).

Untuk merealisasikan ketertarikan tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar dan manusiawi, Tuhan memberikan tuntunan pernikahan (QS. An-Nisa’: 3). Pernikahanlah yang menyebabkan keserasian laki-laki dan perempuan tersusun dalam kerangka yang bijak dan manusiawi. Tanpa melalui pernikahan, hubungan dan ketertarikan antara lelaki dan perempuan tidak akan mendapatkan penyaluran secara bermartabat. Ekspresi dari kecenderungan hubungan lelaki dan perempuan akan menjadi liar dan destruktif.

Mengenal Diri Sendiri

Setiap manusia harus meyakini dan mengetahui dengan jelas, bahwa kehadirannya di muka bumi adalah untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56). Seluruh aktivitas kehidupannya, diam dan bergeraknya, tidur dan bangunnya adalah dalam rangka ibadah (Al An’am: 162-163). Maka pernikahan harus diletakkan dalam bingkai yang benar dan sakral, yaitu sebagai sarana peribadatan kepada Allah, untuk melaksanakan tugas kemanusiaan dan peradaban (QS. Al-Baqarah: 30).

Sebelum melaksanakan prosesi pernikahan, harus ada persiapan yang memadai dari kedua belah pihak. Kesiapan menikah ditandai oleh mantapnya niat dan langkah menuju kehidupan rumah tangga. Tidak ada rasa gamang atau keraguan tatkala memutuskan untuk menikah, dengan segala konsekuensi atau resiko yang akan dihadapi paska pernikahan.

Jika Anda seorang laki-laki, ada kesiapan dalam diri Anda untuk bertindak sebagai pemimpin dalam rumah tangga, untuk berperan sebagai bapak bagi anak-anak yang akan lahir nantinya dari pernikahan (QS. An-Nisa’: 34). Ada kesiapan dalam diri Anda untuk menanggung segala beban-beban kehidupan yang disebabkan oleh karena posisi Anda sebagai suami dan bapak.

Jika Anda seorang perempuan, harus ada kesiapan dalam diri untuk membuka ruang baru bagi intervensi seorang mitra yang bernama suami. Kesiapan untuk mengurangi sebagian otoritas atas dirinya sendiri lantaran keberadaan suami. Harus ada kesiapan untuk hamil, melahirkan dan menyusui, juga kesiapan untuk menanggung beban-beban baru yang muncul akibat hadirnya anak (QS. Al-Baqarah: 233).

Pertanyaan mendasar bagi Anda sebelum melaksanakan pernikahan adalah, sejauh mana kesiapan Anda untuk memasuki kehidupan keluarga? Potensi dan kekuatan apa yang telah Anda miliki untuk berumah tangga? Kelemahan dan kekurangan apa yang ada pada diri Anda? Apa tantangan yang Anda hadapi? Bagaimana dukungan keluarga dalam proses pernikahan Anda?

Berikutnya, dengan mengenali berbagai potensi, kekuatan, kelemahan, maupun tantangan yang Anda hadapi, Anda harus merumuskan matriks: bagaimana mengoptimalkan potensi dan kekuatan yang sudah ada? Bagaimana mengatasi kelemahan dan kekurangan yang Anda miliki? Bagaimana menghadapi tantangan yang menghadang di hadapan? Dari jawaban tersebut, Anda bisa menetapkan batas kesiapan untuk menikah.

Menikah memerlukan kejelasan visi, agar mampu menjalani kehidupan keluarga dengan arah dan aktivitas yang benar dan terarah. Pernikahan visioner berbeda dengan pernikahan pada umumnya, yang hanya mengandalkan hasrat biologis. Laki-laki dan perempuan harus memiliki visi yang jelas tentang arah keluarga yang akan dibentuk. Mereka memiliki pandangan yang terang tentang pengelolaan keluarga, sehingga tatkala menjalaninya, mereka tidak kebingungan orientasi dan kehilangan arah.

Mengenal Calon Pasangan

Mencari pasangan hidup hendaklah berdasarkan pertimbangan keagamaan. Bukan semata kecantikan, ketampanan, kekayaan, kedudukan, dan lain sebagainya. Pondasi agama harus sangat kuat melandasi pemilihan calon suami maupun calon istri, agar tidak terjebak dalam kubangan pilihan syahwat dan nafsu sesaat.

Di atas landasan kriteria agama ini, bisa dibangun kriteria lainnya yang bercorak fisik. Tentu saja boleh memilih suami tampan dan kaya, tentu saja boleh memilih istri yang cantik dan seksi, namun itu bukan pertimbangan utama. Kriteria fisik dan materi hanyalah tambahan nilai, dari nilai dasar yang sudah ditetapkan, yaitu kebaikan agama. Maka laki-laki dan perempuan harus memperbaiki kualitas keagamaan masing-masing, agar mereka layak mendapatkan jodoh yang baik pula kualitas agamanya.

Mengenal calon pasangan bisa dilakukan melalui sebuah proses ta’aruf (saling mengenal) antara laki-laki dan perempuan yang berproses menuju jenjang pernikahan. Ta’aruf dimaksudkan dalam rangka saling mengenali dan menjajagi kecocokan untuk meneruskan proses berikutnya. Hendaknya ta’aruf dilakukan dengan cara yang baik dan benar, menghindarkan diri dari jebakan syahwat, menghindarkan diri dari berbagai aktivitas yang terlarang menurut ketentuan agama.

Dalam proses ta’aruf, laki-laki dan perempuan bisa mendiskusikan visi kehidupan berumah tangga, agar keduanya bisa mendapatkan kesesuaian. Perbedaan karakter antara laki-laki dan perempuan bukanlah halangan, karena hal itu tidak bisa dihindarkan, sebab mereka memiliki kejiwaan dan struktur otak yang tidak sama. Perbedaan latar belakang keluarga juga bukan halangan. Demikian pula perbedaan kultur dan suku atau etnis, bukanlah penghalang kebahagiaan berumah tangga.

Yang paling utama adalah kesediaan untuk saling melengkapi, saling mengisi, saling memberikan yang terbaik, saling menerima apa adanya, saling berkomunikasi dengan nyaman, saling mendialogkan permasalahan, saling mengalah, saling mencintai dan menyayangi dalam segala kondisi dan situasi.

Wallahu a’lam bish shawab.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (12 votes, average: 9.08 out of 5)
Loading...
Senior Editor di�PT Era Intermedia, Pembina di�Harum Foundation, Direktur�Jogja family Center, Staf Ahli�Lembaga Psikologi Terapan Cahaya Umat. Alumni�Fakultas Farmasi�Universitas Gadjah Mada (UGM).

Lihat Juga

Bentuk-Bentuk Penyimpangan di Jalan Dakwah (Bagian ke-1: Penyimpangan Tujuan)

Figure
Organization