Topic
Home / Berita / Internasional / Eropa / Pasukan Pimpinan Perancis Kepung Timbuktu

Pasukan Pimpinan Perancis Kepung Timbuktu

Tentara Prancis berjalan melewati sebuah hanggar di pangkalan udara militer Mali di Bamako, Senin (14/1). (Reuters/Joe Penney)
Tentara Prancis berjalan melewati sebuah hanggar di pangkalan udara militer Mali di Bamako, Senin (14/1). (Reuters/Joe Penney)
dakwatuna.com – Bamako. Pasukan pimpinan Prancis mendekati dan mengepung kota gurun Mali Timbuktu Minggu sesudah menguasai sederet kota lain dalam ofensif melawan kelompok-kelompok perlawanan di utara negara itu.

Satu tim pengintai Mali telah mencapai pinggiran Timbuktu, kata perwira senior Mali, menambahkan bahwa pasukan Perancis dan Mali sedang mendekati kota tersebut “tanpa menghadapi perlawanan”.

Gerak maju itu sesudah pasukan Perancis dan Mali Sabtu merebut kota Gao di timur Timbuktu, kemenangan terbesar sejauh ini dalam operasi 17 hari melawan militan.

Dan sebagai pukulan lain terhadap pemberontak, yang telah menguasai utara negara itu selama 10 bulan, serangan udara Prancis menghancurkan rumah pemimpin kelompok terkait Al Qaida di kota Kidal semalam, menurut sumber keamanan Mali.

Berita tim pengintai Mali mendekati Timbuktu muncul setelah Perdana Menteri Jean-Marc Ayrault mengatakan pasukan bergerak maju ke pos perdagangan gurun kuno dan pusat studi Islam, di mana 333 orang suci Muslim diyakini dikuburkan.

Gao adalah kota terbesar dari enam kota yang dikuasai pasukan Prancis dan Mali sejak mereka melancarkan ofensi pada 11 Januari untuk merebut gurun luas utara dari kelompok perlawanan di tengah kekhawatiran bahwa wilayah tersebut dapat menjadi sarang teror.

Letnan Adama Coulibaly, berbicara dari Gao, mengatakan pasukan Mali “disambut dengan tepuk tangan kerumunan dan teriakan ‘Hidup Mali’, ‘Hidup Prancis'”.

Pasukan pimpinan Perancis Sabtu merebut kota itu dari Gerakan bagi Keutuhan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO) yang diduga terkait Al Qaida, salah satu kelompok yang menguasai Mali bagian utara pada April tahun lalu.

Sebuah sumber keamanan Mali juga mengatakan rumah ketua Ansar Dine (Pembela Iman) Iyad Ag Ghaly dihancurkan dalam serangan udara terhadap basis-basis perlawanan, 1.500 kilometer utara ibu kota Bamako.

Krisis Mali pecah pada April pascakudeta kacau di Bamako. Aliansi pemberontak Tuareg mencari tanah air merdeka di utara bergabung dengan kekuatan kelompok-kelompok perlawanan, menguasai Kidal terlebih dahulu dan kemudian Gao dan Timbuktu.

Kaum perlawanan dengan cepat meminggirkan Tuareg, menerapkan hukum yang mereka anggap sebagai hukum Islam yang membuat para pelanggar dicambuk, dirajam atau dieksekusi.

Mereka juga melarang musik dan televisi, memaksa wanita memakai cadar dan menghancurkan tempat suci religius kuno situs Warisan Dunia Timbuktu.

Prancis melancarkan serangannya sesudah kaum perlawanan tersebut menguasai kota tengah dan mendesak lebih dalam ke wilayah pemerintah menuju Bamako.

Penduduk yang melarikan diri dari Timbuktu gembira menghadapi gerak maju pasukan Prancis.

“Kami merasa bahwa kami segera akan dibebaskan,” kata Sidi Toure, seorang pedagang berusia 67 tahun.

“Mereka memukuli kami ketika kami merokok atau mendengarkan musik,” kata Amadou Alassane Mega, seorang siswa. “Mereka mesti membayar apa yang mereka buat terhadap kami. Kami akan memukuli mereka juga.”

PBB mengatakan 9.000 orang telah melarikan diri dari Mali sejak dimulainya serangan Prancis, menjadikan jumlah total pengungsi menjadi 150.000 sementara sekitar 230.000 tercampak secara internal.

Pada pertemuan puncak Uni Afrika di Addis Ababa dimana para pemimpin mendiskusikan penambahan jumlah pasukan untuk Mali, ketua UA yang habis masa jabatannya dan Presiden Benin Thomas Boni Yayi menggambarkan tanggapan UA lambat dan mengatakan tindakan Prancis merupakan sesuatu “yang harus kami lakukan sejak dari dulu untuk membela negara anggota”.

Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa Ban Ki-moon mengatakan kepada pertemuan puncak dia “bertekad untuk melakukan segala sesuatu untuk membantu rakyat Mali”, namun juga mendesak Bamako untuk memastikan “proses politik inklusif” dan “restorasi penuh tatanan konstitusional”.

Para menteri pertahanan dari kelompok regional Afrika Barat ECOWAS sepakat Sabtu untuk memperbesar janji pasukan mereka bagi Mali menjadi 5.700. Chad, yang bukan anggota blok 15 negara itu, telah menjanjikan ekstra 2.000 tentara.

Prancis telah menempatkan 2.500 pasukan dan mengatakan 1.900 pasukan Afrika kini berada di daratan Mali dan Niger.

Ayrault, yang sedang tur ke Amerika Selatan, sementara meminta lebih banyak bantuan bagi upaya Mali mengatakan tiap negara “dapat menyumbangkan, seturut caranya, untuk membantu negara ini dan negara-negara di Afrika Barat yang datang minta bantuan”. (K004/B Kunto Wibisono/Ant)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Ramadhan: Mendidik Untuk Optimis

Figure
Organization