Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / KB, Masih Relevankah? (Bagian ke-1)

KB, Masih Relevankah? (Bagian ke-1)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (iluvislam.com)
Ilustrasi (iluvislam.com)

dakwatuna.com – Allah telah mengangkat Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi Penutup yang membawa Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia. IA dengan segala kebesaran Nya tentu saja sudah memperhitungkan bahwa sebagai agama penutup, Islam “dirancang” untuk mempunyai sifat paling sempurna dan menyempurnakan. Kesempurnaan agama ini salah satunya tercermin dari sistem hukumnya yang komprehensif. Sistem hukum Islam mengatur segala yang berkaitan dengan aktivitas, keperluan dan kepentingan manusia. Keluarga berencana juga merupakan salah satu bahasan dalam hukum Islam. Keluarga berencana (KB) mempunyai pengertian (1) memberi jeda antar kelahiran anak untuk memudahkan proses menyusui dan untuk menjaga kesehatan ibu dan anak; (2) memilih masa yang sesuai untuk kehamilan; (3) mengatur jumlah anak untuk disesuaikan dengan “keperluan” keluarga, dan juga sesuai dengan kemampuan keuangan, pendidikan dan proses membesarkan anak. (Omran, Abdel Rahim 1992)

Legalitas KB di mata Islam telah lama menjadi perdebatan panjang, Dalam artikel ini, penulis memaparkan pendapat dari ulama-ulama yang pro dan kontra berdasarkan dari buku-buku karangan mereka. Para ulama, termasuk salah satunya Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Jadel Haq Ali Jadel Haq setuju bahwa berdasarkan pengamatan secara komprehensif terhadap ayat-ayat Qur’an, tidak ditemukan ayat yang secara eksplisit melarang pencegahan kehamilan atau pembatasan jumlah anak, tetapi ada beberapa hadits yang mengindikasikan bahwa pencegahan kehamilan diperbolehkan.

Pendapat Ulama

Imam al Ghazali yang mengikuti mazhab Syafi’i menegaskan dalam Ihya’ Ulum al Din bahwa ada empat klasifikasi berkaitan dengan perencanaan keluarga antara lain: (i) diizinkan secara mutlak; (ii) diizinkan dengan syarat istri setuju, dan dilarang jika istri tidak setuju; (iii) diizinkan jika dengan budak, tetapi tidak dengan istri; (iv) dilarang secara mutlak.

Al Ghazali kemudian mengatakan, “Cara yang benar menurut kami (mazhab Syafi’i), pencegahan kehamilan adalah diizinkan”. Lebih jauh ia kemudian mengemukakan alasannya antara lain: (i) memelihara kecantikan dan kesehatannya wanita; (ii) melindungi wanita dari situasi yang “menyusahkan” (dicerai); (iii) menghindarkan diri dari kehinaan (kemelaratan) dan kepenatan fisik sebagai konsekuensi jika mempunyai terlalu banyak anak. Ia juga mengungkapkan bahwa ini adalah salah satu jalan untuk memelihara keimanan.

Mazhab Hanafi mengizinkan pencegahan pembuahan dengan syarat istri mengizinkan, tetapi kemudian para ulama dari mazhab ini berpendapat bahwa izin istri tidak perlu dalam kondisi yang bisa menurunkan tingkat keimanan; dalam arti kemungkinan mempunyai keturunan yang tidak shalih. Sedangkan mazhab Maliki dan Hambali mengizinkan KB dengan persetujuan istri.

Islam memandang satuan keluarga sebagai suatu unit yang sakral sebagai sarana mencurahkan kasih sayang. Seperti yang dikemukakan dalam surat al-A’Raf ayat 189. Sebuah pernikahan membawa konsekuensi besar, antara lain membesarkan anak-anak agar menjadi pribadi yang shalih, sehat, dan berpendidikan. Jika belum mampu menanggung konsekuensi ini, maka pernikahan sebaiknya ditunda. Hal ini dituangkan dalam surat an-Nuur ayat 33.

Nabi Muhammad saw juga menekankan, “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu ada yang telah sanggup menikah, maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat, menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.”

Beberapa relevansi dari perencanaan sebuah keluarga terutama berkaitan dengan beberapa poin yaitu: (i) Faktor kesehatan terutama ibu; (ii) kapasitas ekonomi untuk mendukung berjalannya sebuah keluarga termasuk menjamin masa depan anak-anak; (iii) kapasitas kebudayaan yaitu memberikan pendidikan yang cukup bagi anak-anak, terutama pendidikan agama; (iv) ketersediaan waktu untuk merawat anak-anak termasuk merangsang pertumbuhan intelektualnya; (v) dukungan komunitas sekitar termasuk sekolahan, sarana kesehatan, perumahan yang layak.

Islam Sebagai “Agama Berencana”

Jika kita amati, ayat-ayat Qur’an sering kali menekankan bahwa semua yang ada di bumi ini diciptakan dengan sebuah urutan perencanaan.

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al Qamar 54: 49)

Muslim juga dianjurkan untuk merenungi hakikat ciptaan-Nya. “… dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (Ali Imran 3:19)

Salah satu ayat “perencanaan” tercermin dalam surat Yasin ayat 40. “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam-pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”

Keteraturan penciptaan alam ini merupakan salah satu bentuk kewujudan Allah swt, sebagaimana dikatakan dalam surat al Mulk ayat 1-3.

Bentuk lain dari perencanaan dalam Islam adalah perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu. Ya, kita sebagai Muslim diperintahkan untuk shalat lima waktu, bukankah ini suatu bentuk “perencanaan” dan keteraturan dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika kita berangkat tidur malam, kita pasti akan “berencana” untuk melaksanakan shalat Subuh pada keesokan pagi, dan saat kita tengah di Subuh hari, kita akan berencana untuk melaksanakan shalat Zhuhur pada siang harinya, begitu seterusnya.

Kita juga dapat merenungi kisah Nabi Yusuf AS Sebagai Nabi Allah, perencanaannya saat itu adalah membuat persiapan pada tujuh tahun pertama untuk menghadapi kekeringan dan paceklik pada tujuh tahun berikutnya. Dan nabi Yusuf AS berkata, “Yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. (Yusuf 12:37). Salah satu cermin pentingnya perencanaan dari Nabi Muhammad SAW adalah saat beliau menyimpan hasil bumi dari tanah Khaibar selama satu tahun sebagai cadangan untuk kepentingan masa berikutnya, seperti yang diberitakan oleh Imam Zabidi.

Keluarga Berencana Dalam Pandangan Islam

Dua sumber fundamental hukum Islam adalah syariah dan fiqih. Syariah dalam bahasa Arab diartikan sebagai “jalan yang diikuti”.

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al Jaatsiyah 45:18)

Sedangkan fiqih adalah ilmu dari syariah. Secara harfiah diartikan sebagai, pemahaman, pandangan, atau kemampuan untuk memahami dan mendapatkan ilmu dari syariah.

Dalam kaitannya dengan perencanaan keluarga, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menulis sebuah artikel yang sangat berpengaruh pada tahun 1985. Ia menulis sebuah hadits shahih yang diriwayatkan yang disampaikan oleh Jabir Ibn Abdullah:

“Kami biasa melakukan pencegahan kehamilan (al azl atau dalam bahasa Inggris -coitus interruptus-), bersamaan dengan jangka masa diturunkannya al Qur’an. Jika memang praktik ini dilarang, pastilah al Qur’an akan menyebutkan pelarangannya. (HR Muslim)

Selanjutnya menurut syeikh Qaradhawi, oleh karena itu Jabir menganggap bahwa jika Qur’an “diam” berkaitan tentang sesuatu hal, maka itu pertanda bahwa praktik ini “diizinkan”.

Sebagai Muslim, kita sebaiknya tidak memahami hukum Islam secara sempit, karena zaman terus berubah. Tetapi ini bukan berarti kita mentolelir hal-hal mendasar yang telah ditetapkan oleh Qur’an, seperti pelarangan mencuri, larangan makan daging babi dsb.

Kemampuan “penyesuaian diri” hukum Islam terhadap perubahan zaman diutarakan dengan jelas oleh ulama abad ke-19 Ibn Abdin (mazhab Hanafi), “Banyak hukum yang berbeda dalam rentang waktu yang berbeda, karena adat, kebiasaan masyarakat dan kebutuhan yang berubah. Sangat jelas, jika pemahaman akan hukum “tidak beradaptasi”, maka kesusahan akan melanda manusia, yang pada akhirnya akan melanggar prinsip hukum Islam itu sendiri yang menganjurkan untuk meringankan beban manusia dan menghindari hal yang memberatkan.” [1]

Sama halnya dengan pendapat Ibn Abdin, ulama dari mazhab Maliki, al Qurafi, juga menyatakan, “Pemahaman akan hukum Islam secara sempit dan kaku hanya akan mendorong seorang Muslim semakin jauh dari jalan-Nya, yang kemudian akan menjadikannya seorang yang bodoh, tidak paham dan tidak mampu meneladani sikap-sikap ulama terdahulu.”[2]

Aplikasi KB dalam pandangan hukum Islam yang “telah disesuaikan” diutarakan oleh ulama Al Azhar, Sheikh al-Sharabassi pada tahun (1974). Ia menyatakan, “Hukum Islam berurusan dengan sesuatu yang berubah, baik itu perubahan kondisi manusia atau waktu dan tempat; hukum ini tidak meletakkan sesuatu yang berubah pada posisi yang pasti, kaku dan sempit dengan formula yang serba pasti, melainkan menyerahkan opini dan pemahaman kepada komunitas ulama yang dibatasi dengan kerangka hukum Islam.”

Dalam kaitannya dengan perencanaan keluarga, tidak ada satu pun ayat dalam Qur’an yang secara lugas melarang perencanaan kehamilan. Menurut para ahli fiqih, “diamnya” Al Qur’an bukan berarti bahwa Allah mengabaikan hal ini karena Ia Maha Tahu. Mereka menganggap bahwa diamnya Al Qur’an dalam hal ini merupakan pertanda bahwa pengaturan kelahiran anak bukanlah suatu yang terlarang.

Tidak ada yang salah jika terjadi pro dan kontra dalam keluarga berencana, tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa beberapa orang terkadang memulai argumen dengan pendapat dan prasangka yang dicari-cari dari al Qur’an. Dan jika mereka tidak menemukan sesuatu dalam al Qur’an yang mampu mendukung opini mereka, mereka akan melebih-lebihkan makna dari ayat-ayat al Qur’an yang mereka anggap dapat mendukung pendapat mereka. Metoda yang benar adalah memulai sesuatu dengan Qur’an, dan mencari dukungan dari tafsir juga Sunah, dan kemudian membentuk opini.

Keluarga Berencana Sebagai Bagian Dari “Pembunuhan”

Hampir semua yang menentang konsep KB menganggap bahwa al-azl atau semua praktek yang dimaksudkan untuk mencegah kehamilan sama dengan pembunuhan, sesuatu yang dilarang keras oleh Qur’an.[3] Argumen mereka berdasarkan ayat,

“… dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.” (Al An’am: 151)

Dan mereka yang khawatir menjadi miskin dengan kehadiran anak, Allah memperingatkan,

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.” (Al Israa’: 31)

Selain itu, surat at Takwiir ayat 8-9 dan surat al-Mumtahana ayat 12 termasuk digunakan sebagai argumen oleh pihak penentang KB. Walaupun begitu, pihak penentang KB mengakui bahwa cuplikan ayat-ayat di atas merupakan sebuah larangan yang tidak langsung dan tidak ada ayat yang secara eksplisit menyatakan larangannya.[4]

Di lain pihak, pendukung KB menganggap bahwa perencanaan kehamilan dengan kontrasepsi hanyalah langkah pencegah kehamilan, dan tidak ada kaitannya dengan pembunuhan.[5] Dalam argumennya, pihak pendukung ini mengutarakan sejarah Imam Ali RA beserta khalifah Umar bin Khattab dan beberapa sahabat lainnya yang menolak bahwa pencegahan kehamilan (al azl) adalah bagian dari pembunuhan (wa’d). Imam Ali RA menganggap bahwa pembunuhan terhadap bayi (wa’d) hanya terjadi jika janin mencapai lapisan ke tujuh, ia menyatakan demikian berdasarkan surat al-Mu’minuun ayat 12, 13, 14. Pada saat itu khalifah Umar setuju dan memuji interpretasi Ali RA. Bagaimanapun, sejarah ini berdasarkan hadits Judama yang beberapa ulama menganggapnya sebagai hadits lemah.

Qadar, Rezeki Dan Tawakkal

Golongan kontra menganggap bahwa perencanaan keluarga melalui pengaturan kehamilan merupakan tindakan yang melawan ketetapan-Nya, dan suatu bukti “ketidakpercayaan” kepada Allah untuk menjamin kebutuhan anak. Mereka mengutarakan beberapa ayat al Qur’an untuk mendukung argumennya.

Qadar

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (At Takwiir: 29)

“Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.” (Al A’raf: 188)

Rezeki

Dan tidak ada suatu binatang melata [709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (Huud: 6)

Oleh karena itu, Allah pasti akan menjamin seluruh kebutuhan makhluk-Nya termasuk anak-anak.

Tawakkal

Sebagai muslim, sudah seharusnya kita menyandarkan segala keperluan hidup kita kepada Allah, termasuk semua hal yang berkaitan dengan anak-anak. Hal ini jelas tercantum dalam al Qur’an termasuk surat al-Mumtahana ayat 4 dan surat ath-Thalaaq ayat 2-3.

Anak sebagai “Harta”

Golongan penentang KB menganggap bahwa anak adalah harta tak ternilai seperti yang disebutkan dalam al Qur’an.

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Al Kahfi: 46) dan juga yang tercantum dalam surat al Furqaan ayat 74, serta permohonan Nabi Zakaria AS yang tertuang dalam surat ali Imran ayat 38.

Golongan yang pro dengan konsep KB menjawab bahwa anak memang merupakan aset berharga yang tak ternilai dan juga sebagai penerus keturunan, tetapi ini tidak selalu berarti harus anak dalam jumlah yang banyak, yang bisa jadi “terlantar” dan kurang perhatian sehingga pendidikan agama pun kurang. Mereka mengemukakan ayat di bawah ini sebagai landasan argumennya.

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al Kahfi: 46)

Dari ayat 46 surat al Kahfi ini, menurut pendukung KB, mempunyai banyak anak dan harta tidak seharusnya selalu “menyenangkan” Allah, tetapi kualitas dari manusia itu sendiri yang lebih terpuji di hadapan Allah. Sebagaimana disebutkan juga oleh surat Saba ayat 37. Selanjutnya Qur’an juga mengingatkan bahwa anak-anak dan harta bisa menjadi sumber fitnah, seperti yang disebutkan surat al Anfal ayat 28.

Golongan pendukung KB juga mengangkat surat 37 ayat 100 tentang doa nabi Zakaria AS. Ia lebih “memilih” berdoa agar dianugerahi anak yang baik dan bukan berdoa untuk mempunyai banyak anak. Jika kita melihat keadaan sekitar kita dengan segala kompleksitasnya, mau tidak mau harus kita akui bahwa mendidik anak untuk menjadi manusia yang baik, dan mampu membela agamanya bukanlah sesuatu yang mudah.



[1] Ibn ’Abdin cited in Madkour, ibid, vol. 1, p. 297.

[2] Al-Qarafi in Madkour, vol. 1., p. 301.

[3] Maudoudi Harakat, p. 79 and Abu Zahra ‘Tanzim al Nasl’, Liwae 1962.

 

[4] Maudoudi, op.cit, hal. 138–43.

 

[5] Sheikh al-Najjar Ru’yah, p. 30; Sheikh Jadel Haq Fatwa and al-Ghazali Ihya’, vol. 2, hal. 53.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pelajar Postgraduate di IIUM (International Islamic Univ. Malaysia), Kuala Lumpur, Malaysia.

Lihat Juga

Muhammad Jadi Nama Paling Populer di Berlin dan Sejumlah Kota di Eropa

Figure
Organization