Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Potret Politik Banten: Antara Loyalitas dan Pemahaman

Potret Politik Banten: Antara Loyalitas dan Pemahaman

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – “Saya bangga di sepanjang jalan protokol Kota Serang banyak terpasang Asmaul Husna. Tapi, saya akan lebih bangga ketika Asmaul Husna tersebut tertanam di setiap lubuk hati masyarakat Kota Serang dan Banten pada umumnya.” (Ceramah seorang kyai saat peringatan Isra Mi’raj di sebuah masjid di Serang, Banten)

“Mang, tangi….!!!”[1]

“Wis jam papat, sedenget maning adzan shubuh…”[2]

Teriakan Sang Lurah pondok terdengar “serak-serak basah” memecah keheningan malam Pon-Pes Raudhatul Qoniin, Cipare, Serang….

“Ayo, tangi-tangi!!! Embokan Kang Haji keliling dipit….kenang sabet.”[3]

Dengan sedikit menakut-nakuti, Pak Lurah pondok (sebut saja namanya Mang Jay) mengingatkan kalau para santri tidak segera bangun sebelum adzan shubuh berkumandang, maka bersiaplah untuk menerima gedoran keras dan sabetan sorban Kang Haji (pembina Pon-Pes) yang akan membangunkan santri dengan “brutal” namun penuh kasih sayang….

Setelah keliling areal pondok, tibalah Mang Jay menggedor sebuah pintu kamar seraya berkata, “Din, cepetan ning masjid! Giliran adzan….!”. “Waduh, nguaaahhh….masih ngantuk, mang. Tadi ane[4] baru tidur jam 2. Begadang.”, jawab si Udin sambil menguap. Tapi, dengan agak sedikit terpaksa, akhirnya dia bergegas ke masjid, mengambil wudhu kemudian menyambar microphone dan berucap, “Alhamdulillahil ladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin nusyuur… Kule isungi uning maring sedanten santriwan-santriwati khususe lan masyarakat Cipare, sepuniki waktose sampun jam papat lewat rong puluh menit. Waktu adzan tinggal 10 menit maleh. Katuran, sareng-sareng rawuh ning masjid. Para santri, tangi!!! Tas shubuh siap-siap ngaji Qur’an lan Jurumiyah[5] ning Abah Haji….”[6]

Satu persatu para santri mulai berdatangan ke Masjid. Santriwan dengan gaya yang khasnya. Peci hitam bersarung dengan sajadah yang di selendangkan di bahu. Dan santriwati dengan mukena putih membalut. Itulah pemandangan tiap shubuh yang terasa tiap harinya. Penuh dengan nuansa ruhani yang mantap. Dengan segenap semangat dalam mengawali hidup.

Hari itu hari Jum’at. Seperti biasa Abah Haji sebagai imam membacakan Surat Al Jumu’ah dan Al A’la. Setelah shalat usai, Abah Haji seperti biasa memberikan sedikit pencerahan lewat kuliah subuhnya. “Menurut salah satu riwayat…”, beliau memulai tausiyahnya. “Saat fajar menyingsing, terhembuslah angin dari arah utara yang disebut angin Shaba. Angin itu langsung berhembus dari surga. Barang siapa yang terkena angin itu, maka insya Allah hidupnya selama seharian akan penuh dengan keberkahan. Jadi, kepada santriwan dan santriwati sekalian jangan sampai malas untuk bangun shubuh apa lagi gak kesampaian shalat tahajud sebelumnya. Itu bagian dari pembentukan karakter seorang muslim. Ingat! Definisi kesiangan bagi kita adalah bukan bangun saat matahari telah terbit, tapi saat kita melewatkan waktu shubuh berjamaah di masjid. Bahkan bagi generasi salafush-shalih, sebuah kecelakaan ketika seorang muslim bangun dan dia melewatkan Shalat Shubuh serta Qiyamul Lail[7]. Sehingga, bagi santriwan, jangan sampai kesiangan. Dan buat santriwati kalau tidur jangan kayak orang mati. Susah dibangunin….. ” Ceramah sang Abah tiba-tiba terpotong. Ada seorang yang menjemputnya. Eh…ternyata belakangan diketahui kalau di rumah Abah Haji sudah menunggu tamu yang katanya dari Kantor Gubernur. Pagi-pagi sekali. Pasti urusannya sangat penting.

Mang Jay selaku Lurah Pondok alias pemimpin para santri diminta untuk menemani Abah Haji menyambut tamu tersebut. Obrolan di ruang tamu datar berjalan datar. Serius. Terkadang ada penekanan dalam beberapa kata. Tiga puluh menit berlalu. Tampaknya, sang tamu yang jabatannya setingkat eselon dua Pemda Banten itu tidak mau berlama-lama. Karena harus segera mengejar agenda di tempat lain. Bahkan, mungkin di tempat kyai yang lain. Entahlah. Ini kesimpulan yang didapat dari gaya pembicaraan tersebut.

“Abah, jangan! Saya khawatir ada citra yang tidak baik buat Pesantren ini.” Tiba-tiba Kang Haji berkata. Kang Haji-begitu para santri menyebutnya-adalah putra pertama Abah Haji. Boleh dibilang beliau adalah tangan kanan Abah Haji. Jika si Abah berhalangan, maka si Akang Haji lah yang menggantikan. Misalnya, dalam urusan imam shalat di masjid. Jika, Abah Haji berhalangan, (misal sakit, dsb), maka Kang Haji yang mengimami para santri dan masyarakat sekitar dalam Shalat Berjamaah. Termasuk saat ada sesi pengajian kitab tertentu. Sehingga, para santri berpikiran bahwa kapasitas ilmu Akang Haji haruslah sama atau setidaknya mewarisi ilmunya si Abah. Dan sangat besar kemungkinannya Akang Haji menjadi pewaris utama tampuk kepemimpinan pesantren. Dari semua pengelolaan dan kebijakan yang menentukan arah gerak pesantren.

“Ini mungkin kekhawatiran yang berlebihan. Tapi, perkara ini pernah kejadian di beberapa pesantren yang pernah ditawari oleh pejabat tadi. Pesantren teman saya di Cilegon akhirnya terpaksa harus tutup karena para santri meninggalkan dan masyarakat pun tidak lagi menaruh hormat lantaran pesantren penuh dengan intrik politik. Para kyai dan ustadznya terlalu asyik bermain-main dengan para pejabat publik yang tidak etis itu. Akhirnya, apa? Pesantren menjadi sarang penyaring lumbung suara saat Pilkada. Ceramah yang dilontarkan pun berbau politik dan membawa agenda partai tertentu. Tidak lagi murni mengajarkan Al Islam kepada santri. Akhirnya, banyak kepentingan yang membuat pesantren ini tidak stabil. Maaf, Abah. Jika saya terlalu lancang. Tapi, ini masalah serius. Perlu dipertimbangkan lagi. Dengan Dewan Asatidz atau dengan para santri.” Lanjut Akang Haji dengan nada yang tegas.

Abah Haji menjawab, “Jagi begini, Ji. Kamu tahu siapa pejabat tadi? Dia adalah orang dekat Ibu Atut, Gubernur Banten. Harusnya kita merasa terhormat dengan kedatangannya ke sini. Itu berarti, pihak Gubernur Banten sangat melirik pesantren ini. Sangat memperhatikan kita. Lagian juga, dia tidak minta banyak. Hanya ingin pesantren ini menjadi salah satu tempat kunjungan Ibu Gubernur dalam rangka silaturahim dan sambil meninjau proyek pembangunan gedung baru di samping masjid itu. Nah, kalau Gubernur datang kemari, kita bisa sambil ajukan proposal permohonan dana pembangunan.”

“Iya, itu baik. Tapi, Abah tahu khan sekarang ini sudah mulai proses Pilkada. Dan sudah menjadi rahasia umum kalau Ibu Atut mau maju lagi sebagai incumbent. Ini yang saya permasalahkan. Pasti dia datang bukan (hanya) sebagai Gubernur Banten yang masih menjabat, tetapi juga sebagai calon Gubernur Banten berikutnya. Nah, ketika dia datang nanti, maka sudah hampir bisa dipastikan ada agenda politis yang akan dibawa. Kampanye bagi-bagi kerudung, kaos, bahkan kitab. Saya gak mau akhirnya ada politisasi di pesantren ini dan masyarakat mempertanyakan independensi kita sebagai pengelola institusi pendidikan.” Akang Haji menanggapi.

“Kamu gak usah khawatir. Lagian orang-orang di sekitar sini juga kebanyakan para pendukung setia Atut. Jadi, gak ada masalah….” Sang Abah menimpali.

Mang Jay yang dari tadi diam mulai menggerakkan tangannya dan menyeruput gelas teh manis yang ada di depannya. Selesai minum, dia coba ikut dalam perdebatan kedua orang kyainya itu, “hmmm…maaf Bah, boleh saya berbicara?”

Abah Haji menjawab, “kamu mau ngomong apa, Jay? Sudahlah! Tugas kamu sekarang adalah segera bicarakan ini dengan semua pengurus OSIP[8]. Segera adakan persiapan! Kedatangan Ibu Atut sepekan lagi. Malam Jum’at. Bertepatan dengan peringatan Malam Tahun Baru 1 Muharram. Jadi, bisa sekalian khan?”

Mendengar jawaban seperti itu, Mang Jay tak berkutik. “Maksud saya, kalau memungkinkan, boleh saya musyawarahkan dulu dengan teman-teman santri yang lain. Kalau memang susah, baiklah titah Abah Haji akan saya laksanakan.”

“Bagus. Segera kerjakan. Jangan sampai kita malu-maluin di depan para pejabat Gubernur nanti!” Seloroh Abah Haji sambil meninggalkan Mang Jay dan Akang Haji di ruang tamu.

“Jay, kamu tahu? Sebelumnya, Atut pernah datang ke SMAN 1 Ciruas. Dia masuk ke kelas dan menyapa anak-anak di dalamnya: “apa kabar anak-anak? Kenal kan sama ibu? Ini ibu bawain buku buat kalian. Ibu baik khan? Kalian masih sayang khan sama Ibu? Masih mau milih khan kalau Ibu nyalon lagi?” Akang Haji mengajak Mang Jay ngobrol.

“Masa sih, kang? Emang gitu banget ya?” Mang Jay balik bertanya.

“Memang seperti itulah gaya politik mereka. Saya bukannya membenci Ibu Atut. Tetapi, saya lebih berpikir jangka panjang. Tidak pragmatis. Memang ada peran Pemda yang bisa kita minta dalam hal kontribusinya dalam pembangunan di bidang pendidikan. Seperti yang dibilang Abah tadi. Tapi, perilaku para pejabat saat musim Pilkada semuanya berbau politis. Tidak murni membantu. Saya takutnya ada kesan pesantren ini menjadi basis suara Atut. Jadinya, kita gak independen lagi. Kamu khan tahu kalau santri di sini berasal dari semua kalangan. Mereka berasal dari seluruh pelosok Banten bahkan ada juga yang berasal dari Bandung, Jakarta, Lampung dan daerah lainnya. Apalagi santri di sini tidak semuanya sadar akan politik. Yang mereka tahu pesantren ini adalah tempat mereka belajar dan tidak ada sangkut pautnya dengan politik dinasti para kroni (Alm.) Haji Hasan Schohib.” Jelas Kang Haji.

“Iya, kang… Saya ngerti. Tapi, apa boleh buat. Apa yang bisa kita lakukan? Keputusan Abah Haji gak bisa kita sanggah lagi. Beliau sudah bertitah. Saya jadinya gamang nih. Antara nurut sama guru. Sami’na wa atha’na.[9] Dan dengan idealisme saya sebagai seorang pemuda juga agaknya menentang. Ada saran saya mesti ngapain, kang?” Mang Jay kembali bertanya.

“Saya juga bingung nih, Jay. Mesti gimana. Ya sudahlah. Kita bicarakan nanti sambil kita pikirkan lagi. Saya harus segera ke Masjid. Ibu-ibu pengajian sudah menunggu.” Jawab Kang Haji.

“Baiklah, kang. Saya juga akan membicarakannya dengan teman-teman santri yang lain yang kira-kira melek politik. Saya juga gak mau akhirnya terlalu menyedot banyak pikiran. Ujian akhir pesantren khan sudah dekat.”

“Assalamu’alaikum…” Kang Haji mengucapkan salam sambil menyalami tangan Mang Jay lalu meninggalkan ruang tamu.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah…”, jawab Mang Jay.

Mang Jay pun meninggalkan ruang pertemuan itu. Sepanjang perjalanan dari rumah Abah Haji menuju kamarnya, Mang Jay terus berpikir bagaimana caranya bersikap dewasa, cerdas, sedikit melawan, namun tetap elegan. Di satu sisi ia tidak rela gurita kekuasaan Atut menghegemoni di Pesantren lewat kunjungannya yang tinggal menghitung hari. Tetapi, di sisi lain ia harus menuruti titah sang Abah. Pikiran Mang Jay terus berputar. Memeras otak. Sambil melewati masjid yang terlihat sudah ramai dengan para kaum ibu yang siap menuntut ilmu di Pengajian Jum’at. Seorang dari mereka melantunkan bait demi bait sya’ir khas Serang. Merdu, walaupun yang terdengar suara ibu-ibu setengah baya. Bahkan sebagian sudah beruban yang tampak karena kerudungnya tidak sempurna. Tapi, itulah bentuk orisinalitas dalam menuntut ilmu. Bukankah menuntut ilmu wajib sejak lahir hingga masuk liang lahat? Minal mahdi ilal lahdi. Atau orang Serang bilang: “menuntut ilmu itu wajib dari bedongan awal hingga bedingan akhir”. “Bedongan awal” maksudnya kain yang biasanya membaluti bayi yang baru lahir. Sedangkan, “bedongan akhir” ialah kafan yang membungkus manusia yang sudah mati.

“Ayo kabeh dulur-dulur

Dadi wong aje takabur

Maring Allah kudu syukur

Inget bakal ning kubur

 

Kule urip bakal mati

Nyawe dipundut ning gusti

Kule kudu ngati-ati

Ning ibadah sing gumanti…”[10]

(Potongan sya’ir khas Serang)

Sesampainya di kamar, Mang Jay meng-SMS semua BPH[11] OSIP,

“Bismillah… Ikhwah fillah,[12] teman-teman pengurus OSIP yang dirahmati Allah… Mohon kedatangan kalian di rapat OSIP nanti malam ba’da isya di Masjid Ath Thalibin. Maaf mendadak. Ada masalah urgent yang perlu kita bahas segera. Trims.” 

Malampun tiba. Harusnya tiap Jum’at malam ada jadwal rutin pengajian kitab Tafsir Munir Imam Nawawi Al Bantani. Tapi Mang Jay secara khusus meminta libur kepada Abah Haji dengan alasan mau ada rapat OSIP guna membahas rencana kedatangan Gubernur Atut ke pesantren. Alhasil, dengan mudah ia mendapatkan izin. Rapat pun digelar di masjid.

Tidak seperti biasanya, Mang Jay tanpa basa-basi langsung mengarahkan pembahasan pada rencana kedatangan Gubernur Atut ke pesantren.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah washalatu wassalamu ‘ala rasulillah. Ba’da tahmid dan shalawat. Teman-teman, jadi begini ceritanya. Masih inget khan ceramah Abah Haji tadi pagi yang tiba-tiba kepotong? Tahukah kalian apa penyebabnya? Ternyata ada orang suruhan Ibu Atut yang datang membawa permohonan supaya pesantren kita ini menjadi salah satu tempat yang dikunjungi Gubernur. Masalahnya adalah ada perbedaan pendapat antara Abah Haji dengan Kang Haji. Abah sangat menyambut baik permohonan tersebut. Tapi, berbeda dengan Kang Haji. Beliau secara halus menolak dengan alasan kedatangan Atut sangat berbau politis. Dia pasti datang bukan hanya sebagai Gubernur yang masih menjabat. Tapi, lebih dari itu. Dia akan memanfaatkan momen silaturahim nanti sebagai manuver politik menjelang Pilkada akhir tahun ini. Ingat! Atut adalah calon incumbent. Kita tidak mau khan pesantren ini menjadi tempat kampanye dan pada akhirnya ada sebuah keberpihakan yang menyebabkan citra baik kita tergadaikan. Nah, yang menjadi masalahnya lagi adalah Abah Haji begitu bersemangat menyambut Atut karena kita juga punya kepentingan, yaitu buat meng-goal-kan proposal pembangunan pesantren ini. Bagaimana menurut teman-teman? Ada saran gak? Waktunya seminggu lagi. Malam ini kita harus sudah ada sikap.”

”Waktu ente[13] ikut ngobrol sama pejabat itu, ente bilang apa, Mang Jay?” Sahut Rohim dari barisan belakang.

“Justru itu, ane gak banyak ngomong. Ane cuman disuru nemenin Abah Haji dan Kang Haji. Intinya, kita disuruh buat nyiapin acara penyambutan nanti dengan sebaik mungkin sambil sekalian peringatan Tahun Baru 1 Muharram.” Jawab Mang Jay.

Seorang santriwati berjilbab ungu angkat tangkat tanda mau berbicara. “Menurut saya begini, Mang. Kita khan posisinya lagi sulit nih. Di satu sisi kita harus menjalankan perintahnya Abah Haji. Tapi, secara naluri pribadi kita gak mau khan. Saya sih gak mau ngurus-ngurus kampanye Atut. Udah cukup rasanya pemerintahannya setahun ini. Gak banyak perubahan. Hal yang sangat penting yang perlu kita sepakati di rapat ini adalah benar seperti yang Mang Jay bilang: bagaimana sikap kita. Saya ada usul. Bagaimana kalau kita tetap menjalankan perintah Abah untuk menyambut rombongan Atut. Tapi, kita atur acaranya nanti sedemikian rupa. Toh, kita semua khan yang nanti ngejalanini.” Dengan tegas Wati mengungkapkan pendapatnya. Wati adalah Ibu Lurah pesantren. Dia adalah orang yang paling disegani di kalangan santriwati. Boleh dibilang Teh[14] Wati-begitu dia biasa disapa-adalah perpanjangan tangan Mang Jay di pihak santriwati.

“Maksud Teh Wati gimana?” Tanya Mang Jay.

“Iya. Maksud saya begini. Kenapa gak sekalian aja kita gelar forum tanya jawab pesantren antara Santri dengan Atut terkait program kerjanya. Meliputi program yang telah lewat dan program yang akan dia laksanakan jika terpilih kembali. Jadi, seakan-akan kita adain forum debat kandidiat. Tapi, hanya satu calon. Setahu saya, sekarang-sekarang ini sudah masuk kampanye. Jadi, sah-sah aja donk kita minta ke Tim Sukses-nya Atut. Mereka bersedia atau gak kita lihat nanti. Bagaimana, teman-teman?” Perjelas Teh Wati. Dia memang sosok yang brilian. Sering berpikir out of the box. Ada saja idenya.

Salah seorang santriwan yang bernama Udin angkat bicara, “saya tidak setuju. Itu berarti gak adil. Kalo mau adain debat, ya diundang semua calon. Kita minta permohonan ke KPUD Banten. Nah, repot khan? Yaudah sih kita sambut aja Atut seperti biasa. Biarkan dia datang dan membawa agenda apapun itu. Toh, Abah Haji juga udah setuju dan menyuruh kita nyiapin. Tak usah lah kita ambil pusing pake skenario segala. Ribet.”

Si Abdul, sahabat dekat Mang Jay berbicara, “justru itu yang tidak bagus. Sebagai santri kita harus cerdas. Jangan mau kita diperalat. Kita harus bisa menyikapi ini dengan baik sebagaimana orang-orang berpendidikan. Punya dasar dalam bersikap. Saya setuju dengan pendapatnya Teh Wati. Kita harus buat acara yang benar-benar berkualitas. Jangan sampai kita jadi orang-orang yang taqlid buta. Cuma ikut-ikutan tanpa dasar ilmu. Langsung putuskan aja, Mang Jay. Supaya rapat kita efektif.”

Mang Jay menimpali, “Mungkin dari teman-teman santriwati lain ada yang mau ngasih pendapat lagi?”

“Saya, Mang.” Si Sarah, Bendahara OSIP angkat tangan. “Saya rasa kita sudah sama-sama cerdas. Jadi, langsung aja diputuskan mau kayak gimana teknisnya nanti seperti yang diusulkan Teh Wati tadi?”

“Bagaimana, Teh?” Mang Jay mengarahkan pertanyaan kepada Teh Wati untuk meminta penjelasan.

“Yang ada di bayangan saya begini.” Teh Wati mulai menjelaskan. “Pertama, kita alokasikan waktu. Rombongan Atut akan datang hari Jum’at jam 1 siang, selepas Shalat Jum’at. Jadi, kita buat acara pembukaan seperti biasa. Kemudian, lanjut dengan diisi penampilan nasyid dan lain sebagainya. Nah, ba’da ashar kita gelar forum tanya jawab itu. Dari kita harus ada berbagi peran. Siapa yang jadi moderator, penanya, atau bahkan kalau memungkinkan ada panelis yang mengatur ritme tanya jawab. Tugas berat sebenarnya ada di penanya. Dia harus punya data yang valid seputar Banten. Dari mulai data pembangunan sampai masalah detail angka-angka pentig terkait Banten selama kurun waktu lima tahun terakhir. Fungsinya adalah untuk menge-test Atut bagaiamana wawasan ke-Banten-annya. Apakah memang dia benar-benar pemimpin cerdas yang bebasiskan data. Atau hanya selama ini memimpin Banten hanya sebatas menggunakan basis asumsi pribadi. Kita benar menguji kelayakan dan kepatutan sebagai Gubernur Banten. Kurang lebih seperti itu. Dari teman-teman ada yang mau menambahkan?”

Semua BPH OSIP yang hadir di rapat itu terdiam takjub mendengar penjelasan Teh Wati. Ia memang pintar. Cantik, shalihah pula. Hafalan Qur’an-nya pun jangan ditanya. Dengar-dengar gosip di kalangan santriwan, Teh Wati sudah hampir merampungkan 30 Juz. Memang idaman santriwan… Oops…

“Iya, luar biasa. Saya kira kita langsung saja bagi-bagi. Waktu sudah malam juga. Saya langsung yang akan menjadi koordinator penanya. Rohim yang jadi moderator. Santriwan lain bantu-bantu saya nyiapain daftar pertanyaan dan data-data yang dibutuhkan. Kita bisa manfaatin fasilitas internet di sekretariat OSIP. Dan buat Teh Wati tolong koordinir di santriwatinya. Kita buat acara penyambutan Atut nanti lain daripada yang lain. Setelah ini, besok pagi ba’da shubuh insya Allah saya menghadap Abah Haji dan Kang Haji untuk menyampaikan hasil rapat kita malam ini. Terima kasih teman-teman semua atas partisipasinya. Kita tutup rapat BPH OSIP malam ini dengan membaca Hamdalah dan do’a penutup majelis.” Mang Jay menanggapi.

Para peserta rapat secara bersamaan mengucapkan, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin. Subhanaka Allahumma wa bihamdika asyhadu an laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika…”

Rapat BPH OSIP malam itu berakhir. Sepertinya baru kali itu rapat membahas semacam konspirasi. Iya, meskipun kata itu agak kurang pas kita pakai. Tapi, setidaknya menggambarkan bagaiamana seorang yang berpendidikan layaknya bersikap.

Pagi tiba. Seperti biasa, pemandangan sekitar pesantren dipenuhi oleh para santri yang sibuk dengan mushaf dan kitab kuning di tangan. Mulut yang berkomat-kamit atau jari yang digerak-gerakan, tanda menghitung ayat demi ayat yang sedang diulang (murojaah). Ada juga beberapa santri yang piket membersihkan halaman, masjid dan beberapa titik di sekitar pesantren. Mang Jay dengan buku catatan di tangan bergegas menghadap Abah Haji. Hari itu adalah hari sabtu. Dan biasanya Abah Haji pagi-pagi sudah akan pergi mau mengisi pengajian di kampung seberang. Dan benar. Ketika Mang Jay sampai di depan rumah, Abah Haji sudah bersiap-siap menaiki motor dibonceng Kang Haji.

“Abah, minta waktunya sebentar. Saya mau melaporkan hasil rapat OSIP semalam terkait penyambutan Atut.” Mang Jay kemudian menjelaskan secara singkat.

Langsung Abah Haji menanggapi, “Baiklah. Nanti Abah hubungi bapak-bapak yang kemarin datang. Supaya segera ditindaklanjuti.”

“Inggih, Bah. Ngatur nuhun[15].” Jawab Mang Jay.

Malamnya, Mang Jay dipanggil Abah ke rumahanya membicarakan rencana penyambutan dan menyampaikan tanggapan dari pihak Atut. Abah Haji memulai pembicaraan, “Tadi sore Abah sudah nelfon bapak-bapak orangnya Atut yang waktu itu datang kemari. Abah sampaikan apa yang menjadi pembicaraan kamu dan anak-anak OSIP di rapat. Ternyata, mereka langsung menolak dengan alasan yang tiba-tiba dan terkesan dipaksakan. Jadinya gak jelas juga. Jadinya, Atut tidak jadi datang ke pesantren ini.”

“Oh gitu ya, Bah.” Sahut Mang Jay. Di dalam hatinya ia berkata, “Wah kayaknya mereka udah tahu apa yang akan terjadi nanti kalau mereka jadi datang. Mereka ngerti juga ya. Dasar politisi. Tapi, baguslah. Berarti pesantren ini tidak jadi menjadi tempat kampanye terselubung. Hehe…”

Mang Jay langsung undur diri dan kembali ke kamarnya. Kemudian, membuka handphone dan mengabarkan rekan-rekan BPH OSPIP,

“Assalamu’alaikum. Teman-teman BPH OSIP yang kucintai karena Allah. Tadi saya baru menghadap Abah Haji. Dan tahukan kamu apa yang terjadi? Pihak Atut merasa keberatan dengan rencana yang kita tawarkan buat acara penyambutan. Mereka kayaknya takut “dibantai” sama kita. Oke… terima kasih teman-teman semuanya. Wabil khusus buat Teh Wati. Atas ide-idenya. Syukron. Jazakumullah khair.[16] Sukses ujian akhirnya. Ma’an najah…[17]

SMS itu dikirim. Dan beberapa saat ada balasan masuk. Dari Teh Wati, “Sip… sama-sama. Afwan. Wa iyyakum… [18] :)


Catatan Kaki:

[1]“Mang, bangun!”

Mang (berasal dari kata Mamang), panggilan akrab di kalangan santri asli Serang atau Sunda.

[2]Sudah jam 4. Sebentar lagi adzan shubuh.”

[3] “Bangun! Bangun! Nanti Kang Haji keburu datang keliling. Nanti kena pukul”

[4] ane adalah kata ganti orang pertama tunggal. Berasal dari Bahasa Arab “ana”. Berarti “saya”.

[5] Jurumiyah adalah salah satu kurikulum wajib dalam pesantren di kalangan Nahdiyin. Jurumiyah adalah kitab dalam mempelajari tata bahasa Arab

[6] “Saya beritahukan kepada seluruh santriwan-santriwati pada khususnya dan masyarakat Cipare pada umumnya, saat ini waktunya udah masuk jam empat lewat dua puluh menit. Waktu adzan tinggal sepuluh menit lagi. Mari, bersama-sama datang ke masjid. Para santri, bangun!!! Setelah Shalat Shubuh, bersiap-siap mengaji Al Qur’an dan Jurumiyah dengan Abah Haji”

[7] Qiyamul Lail = shalat malam/tahajud.

[8] OSIP = Organisasi Santri Intra Pesantren. Semacam OSIS-nya atau BEM-nya santri selaku lembaga yang menyelenggarakan aktifitas kesantrian.

[9] Sami’na wa atha’na = potongan Surat Al Baqarah: 285. Artinya: “kami dengar dan kami ta’at”. Kalimat ini sering didikotomatikan sebagai sebuah istilah atau pernyataan ketaatan kepada pemimpin.

[10] “Wahai saudaraku sekalian. Jadi orang jangan takabur. Kita harus bersyukur kepada Allah. Ingat nanti akan masuk ke alam kubur. Kita hidup akan mati. Raga akan dikembalikan kepada Allah. Kita harus berhati-hati. Ibadah harus serius.”

[11] BPH = Badan Pengurus Harian

[12] Sapaan khas kepada sesama saudara seiman dan seislam. Artinya: “saudaraku karena Allah.”

[13] ente adalah kata ganti orang kedua tunggal. Berasal dari Bahasa Arab “anta”. Berarti “kamu”.

[14] “Teh” berasal dari kata “Teteh” berarti “kakak perempuan”, panggilan khas sunda.

[15] Terima kasih dalam bahasa Serang

[16] Terima kasih. Semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan.

[17] Semoga sukses

[18] Iya. Sama-sama. Kepada kamu juga kebaikan.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir di Serang, Januari 1991. Mahasiswa semester 7 Departemen Fisika (konsentrasi Fisika Nuklir-Partikel) FMIPA UI. Supervisor Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri Regional 1 Jakarta Putra. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum Forkoma UI Banten (periode 2011-2012), yaitu paguyuban mahasiswa UI asal Provinsi Banten. Bukan hanya di paguyuban. Aktif di BEM FMIPA UI 2012 sebagai Koordinator Bidang Internal. Hobi menulisnya sejak ada sejak SMA, yakni saat Yasir menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pena Dakwah (NaDa) RISMA SMAN 1 Kota Serang. Sejak tahun 2001-2006, Yasir tinggal di lingkungan Pondok Pesntren di Banten.

Lihat Juga

Amal Spesial, Manajemen Hati

Figure
Organization