Topic
Home / Pemuda / Essay / Menunggu itu Bersabar untuk Setia

Menunggu itu Bersabar untuk Setia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Menunggu itu sangat erat dengan kesetiaan.
Dan masa-masa menunggu adalah ujian kesetiaan
Bersabarlah untuk tetap menjadi setia
karena tergesa-gesa membuat prosesnya tak terasa nikmat

(tercatat 13 Oktober 2012)

Ilustrasi (cipto.net)
Ilustrasi (cipto.net)

dakwatuna.com – Ya….begitu indah kata-kata di atas, dirangkai dalam rangka menikmatkan proses menunggu oleh sang empunya. Dan rasanya memang begitu baiknya.

Dulu, saya bisa begitu marah saat ada mereka yang membuat saya menunggu akan janji temu, atau janji apa saja yang sebenarnya mereka sendiri yang menetapkan. Hingga saya pun pernah ditegur beberapa kali oleh murabbi saya akan kerasnya sikap saya untuk hal yang satu ini. Bukan hanya karena waktu saya terbuang dan saya pun harus memundurkan target harian hingga ada yang tak terselesaikan tapi saya rasa ini masalah tanggungjawab yang saat orang itu memutuskan seharusnya saat itu juga ia sudah menyanggupi. Ya, itu hanya berlaku saat itu. Saat idealism membulat mengeras bukan menyesuaikan. Saat prasangka baik merupakan hal yang kalah oleh ego dan targetan diri. Saat saya belum menyadari ada hal di luar kehendak yang bisa terjadi. Saat saya……….. yah, masih perlu banyak belajar dan peka’.

Kini, hmmp rasa-rasanya masih begitu… walau tidak menelan semua ketidaktepatan waktu secara mentah-mentah. Karena saya masih begitu menghormati mereka yang menepati. Waktu ataupun janji.

Dan hidup, adalah proses menunggu. Menunggu mati, menunggu hasil dari sebuah usaha, menunggu perjalanan doa, dan menunggu pasangan hidup serta keturunan.

Anehnya, untuk menunggu hal yang pertama saya tidak semenakutkan saat menunggu janji, malah saya yang takut karena merasa bekal yang belum terlalu cukup (ya…silakan tersenyum atau tertawa untuk part ini). Kalau menunggu hasil akan usaha…ya, saya adalah orang yang selalu optimis akan itu kalau saya sudah melakukannya dengan baik, karena begitu lah saya. Kalau menunggu perjalanan doa, ya saya selalu tenang denganNya dan yakin akan janjiNya. Saya adalah orang yang percaya bahwa doa akan dikabulkan, ditunda hingga waktu terindah atau digantikan dengan musibah yang akan menimpa. Dan terakhir, pembahasan kemudian menjadi begitu berat karena rasanya kalau menunggu untuk hal yang berhubungan sama jodoh ataupun keturunan semua jadinya sensitive, dan resah. Bukan karena tidak sabar, tapi karena tanda akan yang ditunggu belum diperlihatkan.

Yaa…untuk menunggu yang satu ini rasanya perlu kesabaran yang luar biasa, dan tentunya keyakinan yang mantab kepada Sang pencipta. Karena menurut saya ini berhubungan dengan Sang Penentu Kebijakan.

Sebenarnya sangat mudah bagiNya untuk menikahkan kita saat ini juga lalu dikaruniai keturunan dan kehidupan berjalan sesuai dengan yang dibayangkan dan diidam-idamkan. Tapi, jika kemudian semua yang diminta langsung ada, kapan kita belajar bersabar. Trus kalau semuanya yang diminta diberikan, bagaimana kita belajar berikhtiar. Dan seperti kata saudara saya di atas, kalau jodoh yang diminta langsung ada, bagaimana cara kita belajar menunggu, menunggu dengan setia??? Bukankah setia itu mulia. Mulai di hadapanNya hingga mulia untuknya :)

Yap, bahwa Setia itu mulia. Mulai di hadapanNya hingga mulia untuknya. Walau terkadang, rasa-rasanya masih begitu sulit setia menanti pada masa yang sebegini sulit. Bukan hanya karena usia yang semakin tahun semakin bertambah, dan desakan keluarga yang rasanya intensitasnya tak sesering 2 hingga 5 tahun silam tapi juga karena kebutuhan diri dan hati.

Rasa-rasanya dengan usia sebegini, walau sahabat dekat sendiri enggan rasanya meminta bantuan karena kita sudah dihadapkan pada urusan pribadi masing-masing…walaupun mereka tetap ada, rasanya kita yang terlalu tak tau diri karena mereka juga perlu menjalankan hari. Ada yang sudah punya suami, anak, bahkan sembari bekerja. Ada juga yang masih sendiri tapi mungkin kebutuhannya lebih banyak dari kebutuhan kita. Itu baru kebutuhan diri, belum kebutuhan hati.

Memang sih, akan selalu ada orangtua yang akan setia mendengarkan dan menasihati… tapi… entah mengapa saya rasa dengan usia mereka, cukup cerita bahagia aja yang perlu mereka dengannya karena mereka pun sudah lelah menghadapi dunia dan saya rasa dengan alasan itu kita memerlukan teman bicara yang juga menjadikan masalah kita sebagai masalahnya dan urusan kita juga sebagai urusannya. Ya’ pendamping hidup. Karena kemudian, semua sudut diri dan hati dibuat untuk kita saling berbagi.

Ini yang saya katakan “menunggu dengan sabar dan tetap setia itu sulit.”

Tapi benarkah sebegitu sulit?!?!… Bukannya kita sudah bertahan dan bersabar sejauh ini ya? Bukannya selalu ada Sang Maha Pengasih yang selalu mendengarkan cerita, keluh dan curhat kita ya? Bukankah saat lelah diri, memandang wajah orangtua lelahnya tak terasa lagi ya?!

Ya’, sulit itu kita yang buat.

Bukankah Tuhan itu Maha Menepati Janji?! Bukannya kita diciptakan berpasang-pasangan?! Bukannya proses yang baik hasilnya akan baik juga?! (Kita ga mau kan anak kita bandel karena kita bandel). Bukannya selalu percaya kalau semua akan indah pada waktunya kan ya?! So, masih susah?!?!

Kalaupun masih susah, beli Tropicana slim deh karena “manisnya hidup kita yang tentukan” ;)

Sekian. :)

Semangat bersabar untuk setia. Karena tergesa-gesa membuat prosesnya tak nikmat ^.^/’

Kita memang terlalu banyak menuntut dan terlalu banyak lupa. Banyak menuntut akan keinginan yang kita sukai bukan yang Allah SWT sukai. Dan banyak lupa, bahwa doa-doa kita lebih banyak dikabulkannya daripada yang tidak. Bukankah begitu??!! (Nasihat buat diri saya pribadi)

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 9.57 out of 5)
Loading...

Lihat Juga

Mencintai Diri Sendiri

Figure
Organization