Suriah: Menari Di Atas Kematian

Ilustrasi – Peta Suriah (inet)

dakwatuna.com – Ahad, 6 Januari 2013, Basyar al-Assad, presiden Suriah, menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan parlemen Suriah. Pidato yang lembut namun tegas dan disambut gegap gempita rakyat Suriah. Itulah pidato politik pertama sejak perang sipil meletus di negeri itu, 15 April 2011. Hingga saat Assad menyampaikan pidatonya itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat telah lebih dari 600 ribu jiwa menemui ajalnya, 1.2 juta lainnya hidup terdampar di perbatasan Suriah-Turki dan jutaan lainnya terperangkap dalam suasana mencekam perang kota seperti kota Hums dan kota-kota lainnya.

Apa yang membuat Assad begitu keras berkeyakinan untuk mempertahankan kekuasaannya? Apa pula yang menyebabkan revolusi di Suriah berbeda dengan revolusi di Tunisia, Libya dan Mesir? Mengapa Assad begitu kuat mempertahankan kekuasaannya? Untuk membicarakan hal di atas, ada tiga faktor menarik yang patut dicermati.

Pertama: Suriah adalah “jantung” Timur Tengah.  Negeri ini memang hanya berpenduduk 22 juta jiwa. Tetapi, Suriah adalah jalur sutera yang menghubungkan semua negara strategis di kawasan itu. Di barat, Suriah berbatas dengan Lebanon dan laut medditerrian, timur berbatasan dengan Irak, selatan dengan Yordania dan utara dengan Turki, gerbang menuju Eropa. Bahkan, di bagian barat daya, Suriah berbatasan langsung dengan Israel.

Sejak zaman Rasulullah SAW, Suriah – ketika itu masih bernama Syam — telah menjadi wilayah lalu lintas perdagangan dunia Arab. Bukankah dulu Rasulullah SAW berdagang ke Syam, dan para bangsawan Arab menjadikan barang-barang dagangan dari negeri itu sebagai prestise. Bahkan, dalam satu keterangan, Rasulullah SAW diriwayatkan berkata, “idza fasada ahlu syam, fala khaira fikum….(Apabila telah rusak penduduk Syam, maka tidak ada lagi kebaikan pada kalian…) (Hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi)

Maka, perang sipil yang meletus sejak 15 April 2011 itu patut menjadi perhatian dunia, terutama bangsa-bangsa Arab dan umat Islam.  Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, Presiden SBY wajib menyampaikan sikap pemerintah Indonesia dengan tegas sesuai dengan garis politik luar negeri kita. Inilah kesempatan Indonesia (baca juga: SBY) memainkan peran vital dalam politik luar negerinya.

Kedua: Assad adalah personifikasi politik kaum Allawiyin di semenanjung Arabia.  Meski Iran merupakan negara Syiah, tetapi Iran bukanlah bangsa Arab dan bukan pula kaum Allawiyin. Secara mazhab, aliran Assad adalah Syiah Rafidhah. Sekadar mengingatkan, Allawiyin adalah klan yang mengaku sebagai keturunan Nabi yang paling murni. Karena itu, dalam pidato politik pada 6 Januari itu, Assad menutupnya dengan berkata, “Kita yakin bahwa kita dalam kebenaran, sebab kita dalam garis Nabi. Dan Allah senantiasa bersama kebenaran dan para Nabi.”

Doktrin Allawiyin berhasil merasuki bangsa Suriah secara umum. Ketika pemerintah membuka rekrutmen untuk menjadi tentara, misalnya, berbondong-bondong anak-anak muda mendaftar. “Li ajli watan, nudhahi anfusana” (Untuk tanah air ini, kami korbankan jiwa raga kami), begitu semboyan yang terus menerus diputar TV-TV Suriah.

Sesungguhnya, Allawiyin tak lebih dari 10 persen penduduk Suriah. Mayoritas warga Suriah adalah Arab Sunni. Namun, semua posisi kunci dikuasai klan itu. Maher Assad, adik Basyar, adalah komandan pasukan elite, Four Armored Division.  Iparnya, Assef Syaukat, menjabat sebagai menteri pertahanan. Demikian halnya posisi-posisi kunci lainnya.

Kekuasaan Assad ini dimulai dari sang ayah, Hafidz Assad, yang pada tahun 1970 merebut kekuasaan di partai politik Baath.  Saat itu, Hafidz menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, dan segera setelah merebut kekuasaan partai, ia mendeklarasikan diri sebagai presiden, hingga ajal menjemputnya pada tahun 200.

Di era Hafidz inilah pembangunan ideologi Allaiyin berhasil merasuki generasi muda Suriah. Dalam berbagai acara, yel-yel wajibnya adalah “bir-ruh-bi-dam-nabdika-ya-Assad.” (Dengan jiwa dan darahku, aku persembahkan untukmu, wahai Assad).  Tak ada doktrin militer yang mampu menyaingi Assad untuk urusan yang satu ini. Sebagai perbandingan, rezim Husni Mubarak di Mesir adalah rezim yang paling ditakuti, tetapi ketika angin reformasi berhembus, tak ada tentara yang merelakan nyawanya untuk mempertahankan Mubarak.  Maka, Husni Mubarak tumbang dengan mudah. Tidak demikian halnya dengan Assad.

Retorika Assad adalah perjuangan orang-orang terpinggirkan dari klan Allawiyin yang hanya tersisa sedikit itu.  Dan pertempuran yang terus berlangsung antara pasukan pemerintah dan pemberontak, sejatinya adalah perang (Arab) Sunni – (Allawi) Syiah, betapapun Assad mengatakan tanzhim al-Qaeda berada di belakang kekuatan pemberontak.

Sesungguhnya, ketika Basyar pertama kali mengambil sumpahnya sebagai presiden, banyak kalangan berharap Basyar akan merubah garis politik ayahnya. Dasarnya, ia terdidik di Barat, menguasai bahasa asing dengan baik dan beristrikan seorang muslimah Sunni.  Tetapi, harapan itu kini tak (mudah) terwujud. Sebab, pidato yang disampaikannya sangat tegas akan memberangus kaum pemberontak yang diyakininya didanai kekuatan asing di luar Suriah.

Ketiga: Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Liga Arab seakan gamang untuk menyelesaikan perang sipil Suriah. Kofi Annan, Mantan Sekjen PBB, ketika ditunjuk untuk menjadi mediator tak mampu berbuat banyak. Ia bahkan mengundurkan diri saat proposal perdamaiannya bertepuk sebelah tangan. Lakhdar Brahimi, utusan khusus PBB, mengatakan perang di Suriah sangat brutal. Tetapi tak ada jua langkah tegas DK PBB untuk menyelesaikannya. Liga Arab sedikit lebih progresif. Lembaga itu telah mencoret keanggotaan Suriah, tetapi langkah kongkret untuk menyelesaikan perang sipil juga tak terlihat hingga sekarang.

Menutup tulisan ini, saya teringat seorang teman Palestina sewaktu kuliah dulu yang memberi tip sederhana untuk mengenali orang Suriah. Katanya, orang Suriah sangat lembut saat berbicara, keras dalam bersikap dan jangan sekali-kali masuk ke toko yang dijaga mereka. Meski Anda tak pernah berniat belanja, orang Suriah itu akan berhasil menguras kantong Anda saat keluar dari tokonya. Sebabnya sederhana: orang-orang Suriah pandai meyakinkan lawan bicaranya sebagaimana terlihat pada Assad yang mampu meyakinkan rakyatnya untuk terus menari-nari di atas kematian.

Wallahua’lam bi showab. 

Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: inayat4@yahoo.com Salam Inayatullah Hasyim
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...