Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Lelaki yang Pergi Bersama Cahaya

Lelaki yang Pergi Bersama Cahaya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

“Tok… tok… tok …”

“Bangun… bangun…”

“Tok… tok… tok …”

“Subuhh… subuh…”

“Dug… dug… dug … dug… dug… dug …”
“dug… dug… dug … dug… dug… dug …”

“Bangun… bangun… ayo shalat Subuh”

“Ayo jangan jadi orang munafik”

Kantukku masih pekat, mataku masih merapat dan nyawaku belum terkumpul namun karena kekesalanku mulutku ternganga dan tergerak untuk berteriak.

“Woooy berisik…”

Orang di balik daun pintu kamarku pun menyaut

“Ayo buruan bangun kita shalat subuh. Bangun cepet”

Ilustrasi (flickr.com)
Ilustrasi (flickr.com)

dakwatuna.com – Aku pun tak menjawab, rasa kantuk ku masih pekat. Tadi aku tidur cukup larut, sayang kalau meninggalkan Big Matchnya setan merah MU versus jagoanku the blues Chelsea yang baru usai sekitar pukul 2 pagi tadi. Baguslah suara berisik di luar kamarku telah lenyap. Aku menarik selimutku dan kembali untuk melanjutkan tidur. Pukul 5.30 pagi aku beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Sekalian aku mandi dan aku mempercepat untuk berwudhu karena pagi sudah mulai semakin terang. Gelapnya telah di usir oleh sinar yang masih malu-malu yang keluar di ufuk timur. Aku benci kalau ada yang mengganggu tidur nyenyakku apalagi di pagi yang buta dengan menggedor-gedor pintu dengan keras lagi dan yang menyebalkan itu pake bawa-bawa munafik segala. Huuh, sepertinya harus banyak menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Aku sekarang tinggal jauh dari orang tuaku dan harus tinggal dengan teman-teman baru di salah satu rumah kontrakan di bilangan Ciputat.

Di kontrakan yang tak begitu luas ini. Aku tinggal bersama empat orang lainnya dua dari mereka adalah kakak angkatan dua tahun di atasku dan dua lagi adalah satu angkatan denganku. Aku memang yang paling malas untuk bangun pagi di banding dengan teman-temanku yang lain. Yang tadi pagi menggedor-gedor pintu aku kenal suara itu adalah suara Bang Riko yang kamarnya berseberangan dengan kamarku. Pertama kali aku kenal dengan bang Iwan, beliaulah yang mengajakku untuk tinggal satu kontrakan dengannya yang satu kontrakan dengan bang Riko. Waktu itu aku ikut saja lagi pula bang Iwan sosok yang bersahabat. Baru kenal saja aku sudah di traktir makan somay plus es teh pula. Setelah aku pindah di kontrakannya bang Iwan. Beliau langsung pamit mau mudik jenguk orang tuanya di daerah Legok Tangerang bilangnya sih satu pekan.

Ini adalah hari keduaku menempati kamar ini. Kemarin bang Iwan sebelum pergi ia mengenalkanku pada bang Riko dan dua lagi orang di rumah ini yaitu Adi dan Asep. Satu pekan ini adalah masa free dan aku bisa meneruskan beres-beres dan bersih-bersih juga mensetting dekorasi kamar baruku. Setiap kali subuh tiba pasti aku hampir ribut dengan bang Riko. Aku tak peduli walau ia lebih tua dariku. Dan yang membuatku selalu jengkel adalah ketika beliau membangunkan dengan cara yang sama. Aku pun tak bosan-bosannya membiarkan omelan bang Riko setiap kali aku malas bangun subuh.

Hari-hari berlalu kami lalui di rumah kontrakan yang kami namakan Al Jadid itu. Banyak cerita yang mengantarkan kami menikmati indahnya persaudaraan. Canda, tawa, sengketa, dan berbagai warna kami rasakan di rumah ini.

“Fez, kamu bangun dong kalau subuh” tegur bang Riko kepadaku.

“Emang ga boleh telat ya bang?” tanyaku kepada bang Riko

“Bukan begitu, yaa kita tinggal di rumah ini bukan hanya sebatas tinggal. Namun kita belajar membangun sebuah keluarga di sini. Seorang keluarga harus saling perhatian di antara anggotanya apalagi urusan akhirat fez”

“Ok. Bang tapi yaa mungkin saya perlu berproses aja buat bangun subuh.”

Berminggu-minggu berlalu tak ada perubahan yang signifikan dalam hal shalat subuhku yang sering baru ditunaikan di waktu cakrawala telah terang. Bang Riko sepertinya sudah tidak mempedulikan lagi dan sudah jarang mengetuk pintu kamarku seperti dulu. Suatu ketika aku terbaring sakit. Entah kenapa badanku jadi lemas pandanganku jadi kabur dan kepalaku pusingnya minta ampun. Ditambah pula perutku mual-mual dan muntah-muntah juga. Malam itu bang Iwan masuk ke kamarku sekitar pukul tiga pagi. Aku belum bisa tidur. Bang Iwan bermaksud membangunkanku untuk shalat malam. Aku tak bisa merespon banyak badanku menggigil demam panas. Tangan bang Iwan di letakkan di keningku dan ia pun terkejut merasakan suhu badanku yang tak biasa.

“Subhanallah, fez kamu sakit? Kenapa gak bilang?”

“Iya bang”

“Maafkan aku fez, aku baru pulang tadi setengah 12 habis ada pengajian. Jadi gak tahu kalau kamu sakit fez, yang lain juga tak mengabariku. Sekarang kita ke rumah sakit ya fez? ”

Aku tak banyak merespon perkataan bang Iwan. Badanku panas aku jadi tak sadarkan diri. Pukul 6 pagi baru aku tersadar sudah ada di ruangan yang asing bagiku. Di tangan kananku sudah terpasang selang infus. Aku terbangun oleh sayup-sayup suara lembut bang Iwan yang sedang tilawah Al-Quran di samping tempat berbaringku.

“Bang ini kenapa? Aku sakit apa bang?” tanyaku penasaran.

“Sudah fez kamu harus banyak istirahat. Kata dokter kamu sakit tipes

Semua urusan administrasi rumah sakit sudah di urus bang Iwan. Ia seperti kakakku sendiri dan memang karena aku tak punya kakak. Beliau sangat peduli kepadaku dan terlihat sangat menyayangiku. Dan dulu pun beliau pernah bilang kalau aku sudah ia anggap sebagai saudara sendiri. Sangat sering aku di traktir makan ketika uang bulananku telat. Aku pun sering di beri hadiah dan hadiah yang diberikan sangat aku suka. Beliau tahu kalau aku seorang kutu buku. Maka ketika ulang tahunku yang ke-20 bang Iwan memberiku hadiah buku. Buku yang beliau hadiahkan itu berjudul “Keutamaan Shalat Malam”. Buku yang cukup tebal sekitar lima ratus halamannya.

***

Pada suatu malam yang langitnya masih pekat. Dan aku menikmati betul berbaring di atas kasurku.

“Tok… tok… tok…”

Aku terkejut siapa malam-malam begini mengetuk pintu kamar. Ini kan belum waktunya subuh. Aku pun bergegas mengambil HP dan melihat waktu masih pukul dua pagi.

“Tok…tok…tok…”

“Fez… Hafez…. ayo bangun katanya pengen di bangunin buat shalat malam”

Suara lembut itu suara bang Iwan. Entah kenapa aku pun mudah terbangun jika mendengar suara lembutnya memanggil namaku. Sesuai permintaan setelah aku termotivasi untuk shalat malam setelah membaca buku yang di hadiahkan bang Iwan. Hatiku berdecak melihat kelembutan sikap bang Iwan. Bang Iwan adalah pribadi yang dengan sabar menuntunku untuk lebih menshalihkan diri. Beliau tak henti-hentinya mengajakku untuk hadir di pengajian rutin hari minggu sore.

Kesibukannya luar biasa. Kadang aku hanya bertemu dengannya pada saat shalat subuh saja. Tak jarang ia harus pergi keluar kota hanya sekadar di minta untuk mengisi pelatihan-pelatihan atau daurah-daurah Rohis dan organisasi lainnya. Beliaulah yang menjadi tempatku belajar memperbaiki bacaan Al-Quranku yang masih terbata-bata. Bang Iwanlah temanku berdiskusi tentang Islam dan apa yang ada di dalamnya. Dan sampai aku kecanduan shalat Dhuha juga gara-gara beliau. Ketika ia kudapati tidak beraktivitas di luar rumah di pagi hari pasti dia sedang asyik khusyu shalat Dhuha. Aku iri pada keshalihannya. Aku iri pada wajahnya yang senantiasa terlihat segar bercahaya. Aku iri pada senyumnya yang senantiasa menawan. Setiap kali berada di dekatnya serasa ada pancaran energi positif yang menyalur ke tubuhku. Dan gara-gara mp4 playernya bang Iwan yang pernah ku pinjam dan isinya adalah lagu-lagu nasyid dan kebanyakan adalah murattal. Awalnya aku kecewa meminjam mp4 player itu namun setelah ku putar beberapa lagu, entah kenapa aku jadi menikmatinya. Dan tibalah pada suatu waktu akhirnya Aku pun memutuskan untuk mendelete folder-folder koleksi lagu di laptopku. Folder yang bernama ungu, JRock, dan yang lainnya telah menguap dan terhapus berpindah ke recycle bin dan ku hapus pula yang di recycle bin.

***

Dua pekan aku mudik dan sekarang aku sudah kembali ke kontrakan lagi. Sorenya aku berangkat ke pengajian rutin hari minggu di masjid As Salam. Ketika aku tiba di kontrakan tadi pagi aku tak melihat teman-teman satu kontrakan kamar-kamar mereka termasuk kamar Bang Iwan tertutup dan rumah sangat sepi aku pun rehat dan tidur di kamarku melepas lelahnya perjalanan dari rumah. Bang Riko terlambat datang ke pengajian. Aku pun bertanya

“Bang dari mana? Bang Iwan mana? Ko belum kelihatan ? Biasanya kan barengan sama bang Riko”

“Hey fez, kapan nyampe sini?”

“Tadi pagi bang jam sembilanan. Tadi di Al Jadid sepi jadi aku tidur saja bang. Oh iya dari mana bang?”

“Hmm… Oh iya kamu pasti belum tahu kalau Bang Iwan semalam di larikan ke rumah sakit. Penyakit maagnya kambuh. Dan semalaman nafas bang Iwan sesak-sesak yaudah sekarang beliau di rawat dan tadi aku habis ngasih bubur buat makan siangnya. Habis itu aku mampir ke sekre KAMMI ada tamu dari KAMDA BANTEN”

“Di rumah sakit mana bang?”

“Di Islamic Ciputat”

“Jauh sekali”

“Ah nggak Cuma setengah jam ko”

“Pantes aku nggak tahu. Nanti aku ikut ke sana deh jengukin bang Iwan”

Pengajian telah di mulai. Kami dengan khidmat mendengarkan celoteh ustadz sore itu yang sedang membahas “Fiqh Walimah”. Materi kajian khusus orang dewasa. Pantesan bang Riko serius sekali menyimak. Tak lama kemudian bang Riko mengendap-endap mendekatiku. Dan berbisik di dekat telingaku.

“Fez kita ke rumah sakit sekarang yuk”

“Lho kan pengajiannya belum selesai?”

“Bang Iwan kritis fez. Tadi aku di sms Adi. Adi yang tadi siang bergantian denganku menjaga bang Iwan di sana”

“ayo bang”

Kami pun bergegas melaju mengendarai Jupiter Mxnya bang Riko. Dan aku bonceng di belakang bang Riko. Di tengah perjalanan HP bang Riko berbunyi. Ia memberikan Hpnya kepadaku.

“Fez tolong bacakan smsnya”

Aku buka sms yang barusan di terima. Ternyata yang sms itu Adi.

BANG CEPETAN KESINI. BANG IWAN SEKARANG DI IGD

Bang Riko semakin mempercepat laju sepeda motornya. Beberapa lampu merah terpaksa ia terobos. Adzan terdengar memilukan hatiku. Sekaligus mengantarkan kepergian bang IWAN. Ternyata sms Adi yang tadi adalah sebuah Isyarat kalau Bang Iwan telah pergi.

***

Dua hari aku terbujur lemas di kamarku. Aku tak menyangka kepergian bang Iwan begitu cepat. Air mataku semakin membasahi di sujud-sujudku yang selalu terbayang wajah bang Iwan. Aku membuka laptop dan kutancapkan modem smartfren. Aku bergegas untuk membuka Facebook lagi setelah dua hari ini aku ngedrop dan ngedown. Setelah aku login ke akun Facebookku. Aku langsung mengetikkan nama akun bang Iwan. Muhamad Iwan El Jadid. Aku klik dan enter akunnya bang Iwan. Aku membaca profil akunnya.

Muhammad Iwan El Jadid

Jurusan Psikologi UIN Syarif Hidayatullah

Tinggal di Tangerang, Banten, Indonesia

Lahir tanggal 14 Oktober 1988

Musik Kesukaan : Murrotal, shoutul harokah
Buku : La tahzan, Sirah nabawiyah
Film : Sang Murabbi, Umar bin Khattab
Aktivitas : Skripsi dan Organisasi

Aku membaca statusnya yang terakhir

“Semangat harus sampai akhir jangan cuma di awal-awalnya doang. Peradaban itu di tuliskan oleh tinta hitam para ulama dan di lukiskan dengan tinta merah para syuhada. Usia semangat mereka hidup lebih panjang dari pada usia mereka sendiri”

Ada juga notes terakhirnya sebuah gubahan puisi

Bersama Sujud Terahirku

Bersama sujud terakhirku Ya Rabb…

kuteriakkan namaMu sekeras-kerasnya

agar runtuh dinding kesombongan dalam hatiku

air mataku deras mengalir sejadi-jadinya

ingin ku basahi kebun hati yang gersang ini

Bergunung dosaku yang membayangiku

hendak mencengkram jiwa yang lusuh

aku patahkan diri dalam cahayaMu

melemparkan jauh kemunafikanku

agar ku kembali dalam pelukan hidayahMu

Bersama sujud terakhirku

biarkan aku hirup nafasku sekali lagi

hanya untuk menyebut namaMu dan kekasihMu tercinta

akulah lelaki yang hendak pergi bersama cahaya

Berlinanglah air mataku. Setitik demi setitik air mataku menetes merindukan lelaki itu. Lelaki yang pergi bersama cahaya. Di kamarnya aku temukan jadwal wisudanya yang tinggal satu bulan lagi. Di mejanya ada proposal nikah dan ku buka ternyata ada biodata akhwat mungkin calon istri yang akan ia khitbah. Dengan sendu kulantunkan doa tak henti-henti

Allahummagfirlahu warhamhu wa’afini wa’fuanhu”

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (19 votes, average: 7.89 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa di Purwokerto. Salah seorang anggota KAMMI Daerah Purwokerto. Anak pertama dari 3 bersaudara. Anggota juga di Forum Lingkar Pena Purwokerto.

Lihat Juga

Kiat Menghafal Quran

Figure
Organization