Topic
Home / Berita / Perjalanan / Qurban Travelling

Qurban Travelling

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – Kaget dengan jadwal ke daerah yang sangat asing, desa matur, seperti bahasa Sunda, tapi matur yang ini jauh berada di daerah pedalaman pulau Sumatra barat. Seperti tidak percaya saya diamanahi untuk mendistribusikan Qurban ke daerah pedalaman, saya pun menanyakan kembali berita tersebut kepada Rahmi, relawan yang ditugaskan bersama saya. Lebih kagetnya adalah kita hanya berdua, tanpa ditemani tim yang kelompoknya adalah lelaki. Karena sulitnya medan saya pikir kenapa tidak ditemani dengan tim “bapak-bapak”.

Sabtu pagi, bersama dengan Rahmi saya pun berangkat pagi-pagi sekali, sekitar pukul 6.30. Udara dingin bahkan sangat teramat dingin. Bukittinggi, terkenal dengan jam gadangnya dan dengan suhunya yang dingin. Tanpa harus berjalan-jalan di pagi hari juga sudah sangat dingin, bisa dibayangkan, saya bersama Rahmi dengan berkendara motor menuju daerah yang akan menerima qurban.

Dengan perlengkapan seadanya, jaket, masker dan helm kami mulai perjalanan menuju matur. Sambil menikmati udara pagi yang sangat dingin, saya melihat banyak terdapat pemandangan bagus menuju matur. Jalan yang berkelok-kelok, tanjakan yang tinggi, sampai kelokan yang curam. Lebih sederhananya bisa dibayangkan seperti naik gunung, dan turun gunung.

Sesampainya kami di desa matur, Rahmi mengajak saya singgah di rumah ustadz yang diamanahi untuk mengantarkan hewan qurban ke daerah yang dituju. Disambut dengan hangat, sampai diajak sarapan. Alhamdulillah perut kosong terisi lagi. Selesai sarapan, jam sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi, tapi hewan qurban yang ditunggu belum sampai juga. Rahmi kemudian mengajak saya keluar, mengelilingi kampung sekitar matur, dan jalan masih saja berkelok-kelok, mulai pusing dan mual, tapi sedikit hilang ketika sampai di Puncak Lawang. Yang terkenal dengan negeri di awan. Subhanallah, pemandangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya, benar-benar merasakan ketinggian sampai tak jauh dari awan. Menyaksikan awan yang dekat, dan danan maninjau di bawahnya yang sedikit dihiasi tumpukan awan-awan kecil di atasnya adalah sensasi yang berbeda buat saya, yang belum pernah berada di puncak setinggi ini. Sensasi berhari raya yang luar biasa ekstrim, di kampung orang sambil melaksanakan kegiatan social.

Sepertinya puncak lawang juga tempat dijadikannya kegiatan outbond dan semacamnya, tentu saja dengan daerahnya yang sangat indah dan sejuk, apalagi pemandangan danau maninjau di bawahnya, tidak terkira kuasa Tuhan kalau sudah seperti ini. Derajatnya manusia sebagai makhluk yang kecil tersadarkan kembali. Sedikit memanjatkan syukur dan doa atas karuniaNya, kembali teringat akan keluarga di kampung, andai saja bisa mengajak mereka di sini, mungkin kali ini adalah bagian dari doa.

Kemudian setelah berputar-putar melihat puncak lawang dan mengabadikannya dengan kamera seadanya, kita pun kembali pulang ke rumah ustadz. Belum juga sampai hewan qurban yang ditunggu, Rahmi pun mengajak saya kembali berkeliling matur, kali ini dengan jalan yang tidak sebaik kearah puncak lawang, nama daerahnya adalah air taganang. Air taganang cukup jauh dari matur, saya kira kita sudah mengarah ke daerah target hewan qurban yang kami tuju. Ternyata rute ini menuju rumah kerabatnya Rahmi, saya diajak bersilaturahim sambil menghilangkan kebosanan karena terlalu lama menunggu. Air taganang adalah daerah yang menurut saya cukup jauh dari pusat kota, menuju ke sana, saya tidak menemukan adanya pom bensin kecil seperti pertamini, sebutan untuk tempat penjualan bensin eceran di daerah sini. Sedikit merasakan ketakutan, karena jalan menuju ke sana kelokannya cukup tajam dan sangat tinggi, benar-benar tinggi seperti dipaksa untuk membawa motor naik ke atas gunung. Seperti itu pikir saya. Jalan yang berlubang sedikit menghambat perjalanan kami, saya sampai terpaksa harus turun dari motor karena tergelincir, jadi saya memilih untuk turun saja. Sampai di bawah, kita melewati jembatan yang di bawahnya ada sungai kecil dan bebatuan. Bersih. Tapi jembatannya sudah tidak terlalu bagus, banyak kayu-kayu yang sudah rapuh dan bolong di sana. Kembali saya mengabadikannya lagi dengan kamera seadanya. Setelah sampai dan silaturahim pun selesai, kami bersiap pulang kembali ke rumah ustadz, ustadz mengabarkan bahwa mobil qurban sudah di daerah matur dan sebentar lagi sampai. Tidak lupa kami dibekali makanan, Alhamdulillah sudah disuguhi secangkir teh hangat dan ditambah oleh-oleh makanan pula. Kami pun pamit dan melanjutkan perjalanan.

Terlihat dari kejauhan mobil yang mengantarkan hewan qurban telah sampai duluan, kami pun berhenti dan menanyakan apakah ini sapi yang dipesan oleh PKPU. Bapak supir tersebut menjelaskan, ia meminta maaf karena keterlambatan sampai di tempat sudah setengah hari. Dikarenakan jadwal mengirim sapi-sapi kurban pesanan PKPU yang ke daerah pedalaman lainnya, cukup jauh dan dengan kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk cepat sampai ke lokasi.

Setelah beristirahat sebentar, sambil ngobrol dan ngemil kacang, kami pun melanjutkan perjalanan. Si bapak supir sedikit terlihat lelah, tapi sepertinya masih tetap semangat mengantarkan sapi-sapi pesanan qurban. Begitu juga dengan kami, di belakang bak mobil yang berisi sapi-sapi, kami mengikuti arah mobil yang membawa sapi-sapi qurban yang menurut saya kondisinya sedikit stress karena kondisi jalan yang tidak bagus. Harum sapi yang semerbak di belakang searah dengan motor yang kami kendarai di belakang. Sambil tersenyum dan menikmati harumnya sapi, kami terus mengikuti dari belakang, bagi saya dan Rahmi harumnya sudah tidak bisa dibedakan, sudah netral mau tidak mau. Di tengah perjalanan, kondisi jalan mulai tidak memungkinkan untuk dilalui dengan cepat, jalan yang berbatu dan genangan air masih tertinggal karena hujan yang deras pikir saya. Saya sempat mengutarakan isi hati saya kepada Rahmi, saya bilang andai saja bapak-bapak yang berada di mobil sapi mau bertukar tempat dengan kita di sini bergantian untuk naik motor saja dan kita yang perempuan di mobil sapi, karena saya dan Rahmi juga tidak terlalu kuat untuk melewati jalan yang terjal seperti ini, mabuk gunung sepertinya. Itu istilah saya. Tidak lama setelah saya curhat ke Rahmi, mobil sapi pun berhenti, bapak-bapak yang berada di mobil sapi sepertinya berinisiatif untuk bergantian tempat. Saya dan Rahmi tersenyum dengan lega, Alhamdulillah terkabul. Kini saya, Rahmi dan bapak supir berada di dalam mobil sapi, dan pak ustadz serta temannya bergantian mengendarai motor. Dan saat di mobil, harumnya sapi lebih semerbak, tapi karena sudah akrab sekali dengan harumnya, jadi tidak masalah. Mabuk gunung dan mabuk sapi jadi satu.

Kali ini daerah qurban pertama yang dituju adalah desa jorong taruyan, masih kecamatan matur. Tidak jauh beda dengan arena offroad motor cross pikir saya, jalan yang terjal dan licin, naik turun gunung sampai melewati hutan dan semak-semak perkebunan tebu. Ya, masyarakat di sini banyak yang membuka lahan tebu dan sawah. Sesekali ada juga tempat yang sangat bagus pemandangannya, seperti sawah yang dibuat di atas perbukitan, dan pemandangan desa yang berada di bawah saat kami berada di puncaknya. Sesekali saya melihat ke belakang, melihat sapi yang rasa-rasanya pasti lebih mabuk dibandingkan kami yang duduk di depan, sapi-sapi yang berdiri masih saja kuat walaupun tidak bisa duduk, saya kembali bersyukur.

Setelah menikmati offroad mendadak, kami disambut ramainya warga yang menyaksikan pemotongan qurban. Ternyata ada 2 pequrban di desa tersebut, 2 sapi sudah selesai di eksekusi. 2 pequrbannya adalah warga yang pergi merantau, tapi berqurban di desanya. Saya dan Rahmi turun dan langsung beramah tamah dengan bapak dan ibu kepala desa setempat, menyampaikan maksud dan tujuan kami, kemudian mengambil tugas masing-masing. Dengan kamera, spanduk, dan kertas nama pequrban saya mulai menginstruksikan Rahmi untuk langsung menjalankan tugas. Setelah proses dokumentasi, ibu kepala desa mempersilakan kami untuk masuk ke rumah sambil menunggu penandatanganan surat sertifikat untuk pequrban. Hujan pun turun lagi setelah kami masuk ke dalam, sudah ada teh, kue di sana, Alhamdulillah jamuan lagi. Yang terpenting bagi saya bukanlah jamuannya, tapi adalah sikap mereka pada saat menyambut kami datang. Ramah dan sangat menghargai, dan berharap PKPU setiap tahunnya memperhatikan daerah-daerah yang jauh di pedalaman bisa merasakan nikmatnya qurban. Mereka bersyukur tahun ini bertambah jumlahnya pequrban di daerah nya.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke daerah ke dua yaitu desa jorong tiga baleh, di sini kami merasakan bedanya sambutan dari warga dan kepala desa. Padahal saya dan Rahmi sudah menjelaskan dan meminta maaf atas keterlambatan kami dikarenakan daerah pendistribusian yang tidak berdekatan. Di sini saya mendapatkan ilmu baru, kepala desa sepertinya tidak hanya kesal, tapi juga kurang menghargai apa yang kami lakukan, dari celotehan candaan yang mengatakan bahwa sapi yang kami antarkan kecil, dan lain hal. Saya yang tidak mengerti bahasa daerah awalnya tidak mengerti, sampai akhirnya Rahmi yang mengatakan kepada saya. Saya sedikit kesal karena perlakuan kepala desa yang tidak menghargai, saya mengira dia seperti itu karena berhadapan dengan anak muda yang jauh di bawahnya dan tanpa pendamping. Memang benar, kami hanya tinggal berdua ketika itu, ustadz dan supir sudah melanjutkan ke daerah lain lagi untuk mengantarkan sapi qurban. Awalnya saya kesal karena ketika saya menanyakan kepada kepala desa, bagaimana dengan tanggapan bapak atas qurban yang diselenggarakan oleh PKPU, kemudian dengan cueknya pak kepala desa hanya mengatakan “tidak ada tanggapan apa-apa”. Ironi memang, siapa saja bisa bersikap seperti itu tak terkecuali kepala desa. Hanya saja, apakah tidak bisa sedikit saja menghargai perjuangan para pejuang qurban, yang ketika di hari qurban, pergi untuk menjalankan amanah, bahkan mungkin ketika yang lain sedang menyantap makanan dan silaturahim bersama keluarga. Sedikit terenyuh, tapi tidak berlama-lama karena langsung diobati dengan senyuman, senyuman ikhlas saya pikir coba untuk menggantikan rasa sedih tadi. Biar saja Allah yang menilai, itu saja cukup. Bukankah manusia yang bersyukur, akan ditambah nikmat oleh Nya, maka bersyukur saja, karena itu lah makna dari nikmat itu sendiri. Dan mari kita nikmati travelling qurban berikutnya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Aktifis NGO PKPU.

Lihat Juga

Erdogan Kecam Keras Standar Ganda Barat soal Persenjataan

Figure
Organization