Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Memahami Kehendak-Nya

Memahami Kehendak-Nya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Anak-anak (Yudi/Primair)
Ilustrasi – Anak-anak (Yudi/Primair)

dakwatuna.com – Seperti biasa, tiap pergantian jam pelajaran adalah saat-saat yang selalu saya nantikan selain jam istirahat dan saat-saat guru sedang tidak ada di kelas. Saya menganggap waktu-waktu tersebut sebagai waktu ‘emas’, karena saat-saat seperti itulah yang biasa saya manfaatkan untuk berjualan.

“Dit, pengen!”, “Dit, beli 2!” Itulah yang seringkali terdengar saat ganti jam pelajaran. Ternyata saat-saat di kelas tidak ada guru menjadi waktu yang paling efektif untuk memasarkan barang. Alhasil, pada saat-saat seperti inilah dagangan seringkali laris.

Makanan ringan. Itulah yang biasa saya jual pada teman-teman sekolah. Siapa sih yang tak butuh makanan? Daripada jauh-jauh ke kantin, rasanya lebih baik ke yang dekat. Daripada jauh-jauh ke kantin, lebih baik jajan di kelas sendiri. Itu juga yang membuat jajanan saya lebih cepat habis dibanding kantin. Laris? Alhamdulillah, sangat-sangat laku. Dan keuntungannya, sebagian saya pakai untuk modal usaha, sebagiannya lagi untuk makan. Lumayan lah!

Seperti biasa juga, di kelas banyak yang makan snack dagangan saya. Saking banyaknya, sampai-sampai bungkus-nya pun mudah ditemukan. Di tong sampah, kolong bangku. Hingga akhirnya ada seorang guru yang merasa aneh. “Kok, banyak bungkus yang ginian sih?” Serentak teman-teman seantero kelas diam seketika. Pelajaran pun terhenti sesaat. Kemudian sang guru, Bu Suryati kembali bergeming, “Emang di kelas ini ada yang jualan?” Saya hanya diam terpaku tak berani bilang apa-apa. Waduh, gawat! Kan malu kalau ketahuan ama si Ibu. Bisik saya dalam hati. Rasanya benar-benar tegang.

“Adit!” jawaban itu tiba-tiba saja terdengar dari beberapa teman sekelas. Seketika itu pula Bu Suryati memandang saya. “Adit, ini kamu yang jualan?” Saya yang ditodong dengan pertanyaan tersebut hanya bisa menjawab kaku, “I…iya, Bu.” Duh, betapa malunya diri ini.

Untungnya setelah saya menjawab pertanyaan itu, suasana kembali mereda. Tidak ada lagi kelanjutannya selama pelajaran Matematika berlangsung. Awalnya saya berpikir akan terjadi masalah gara-gara saya berjualan di dalam kelas. Karena setahu saya siswa tidak boleh jualan di dalam kelas. Seperti kata orang sepuh, sekolah adalah tempat belajar, bukan tempat berjualan. Selamat! Kali ini saya tak dimarahi.

***

“Adit, kata Bu Sur, kamu disuruh ke ruang guru.” Pesan itu saya dengar dari salah seorang teman sekelas saat istirahat. Waduh, ada apa ya? Saya jadi tegang lagi. Kayaknya benar, saya bakal dimarahin gara-gara jualan di kelas. Sudah jam istirahat ini saya nggak bisa jualan, dipanggil ke ruang guru, dimarahin pula. Duh, gawat nih. Gimana ya? Saya harus ngapain? Kalau datang ke ruang guru, berarti dimarahin. Kalau tidak ke sana, berarti saya kabur dari masalah.

Cobaan memang bisa datang kapan saja. Semoga saja saya bisa sabar. Sudahlah, mungkin lebih baik saya datang saja ke ruang guru istirahat ini. Tak mengapa jam istirahat ini saya tidak jualan. Seperti kata senior saya ketika SMP, “Berani berbuat, berani bertanggung jawab.” Saya harus datang ke ruang guru. Biarlah, paling-paling cuma diomelin. Bismillah saja!

Di ruang guru, Bu Suryati tampak sudah duduk menunggu sambil ngobrol dengan sesama guru. Saya pun memberanikan diri untuk menghampirinya.

“Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikum salam. Eh, masuk Dit! Sok, duduk dulu di sini.” Balas Bu Sur sambil meminta saya untuk duduk di kursi yang tepat berada di depan mejanya. Maka, saya tepat berhadapan dengannya yang sedang ditemani teman ngobrolnya, Bu Ai, guru Agama.

“Iya, Bu. Makasih.”

“Eh, Dit. Bener kamu yang jualan di kelas?”

“I… iya, Bu. Saya.” Jawab saya sembari jantung ini berdegup dengan kencangnya. Kira-kira apa yang akan dikatakan oleh guru saya ini kemudian. Ah, ya Allah, kuatkanlah dan lapangkanlah hati ini untuk menerima apa yang kan terjadi!

“Eh, Dit. Ibu pesen 10 ya! Tapi yang rasa pedas manis. Bisa kan?” Lanjut Bu Sur.

“Kalau Ibu, pesennya 5 aja. Yang rasa karamel 3, rasa keju 2. Bisa ya, Dit?” Tambah Bu Ai yang juga ngeborong.

“Iya Bu, insya Allah!” Jawab saya.

Alhamdulillah, kirain bakal dimarahi. Malah rezeki nomplok. Ya Allah, maaf. Awalnya saya berprasangka buruk dengan berpikir bahwa saya akan dimarahi oleh guru. Saya juga berpikir bahwa jam istirahat ini saya tidak bisa berjualan. Namun ternyata, tanpa saya sadari Engkau malah hendak menggantinya dengan rezeki yang lebih baik. Ternyata begitu mudah bagi-Mu untuk mengambil rezeki yang awal dan menggantinya dengan yang lebih baik, meski awalnya saya sudah berprasangka buruk terhadap kehendak-Mu.

Tadinya saya mengartikan ini adalah musibah, tapi sebenarnya ada yang lain dibaliknya. Saya sama sekali tidak menyadari bahwa Dia merencanakan hal lain di balik semua ini. Seharusnya tidak dengan begitu cepat dan mudahnya mengambil kesimpulan. Iya benar, kesalahan saya adalah terlalu cepat mengambil kesimpulan sehingga saya jadi berprasangka buruk. Semoga saja saya bisa terus menjaga hati. Mungkin bukan hanya saya, melainkan kami. Semoga kami (hamba-hamba-Mu) bisa menjaga hati. Aamiiin.

Kenangan masa SMA di tahun 2003.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 7.50 out of 5)
Loading...

Tentang

Pernah sekolah di jurusan Psikologi. Sehari-hari beraktivitas di seputaran Kota Bandung dan Cimahi, baik sebagai konselor, blogger, dan aktivis warga.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization