Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Dicari Super Ummahat

Dicari Super Ummahat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Ghina Shafirah)

dakwatuna.com – Di satu pembukaan kajian umum, seorang abuhat diminta membaca Al Quran. Yang diminta pun melafalkan ayat-ayat indah itu dengan penuh kekhusyukan.

“Sepertinya, beliau hafal ayatnya ya. “ komentar seorang ummahat di sebelah saya.

“Ana dulu juga jago hafalan. Tapi beliau sekarang jadi lebih jago.” Ternyata yang diajak komentar adalah istri dari sang abuhat yang sedang tilawah di depan sana.

“Subhanallaah. Berarti sekarang, ukhti dan suami udah pada jago ya hafalannya.” Komentar ummahat yang lain.

“Dulu sih iya. Hafalan Ana dulu lebih baik dari suami. Tapi sekarang, setelah punya dua anak, malah hafalan suami jauh lebih baik dari hafalan Ana.” Ada nada kecewa terdengar.

Saya tersenyum-senyum ketika ‘mencuri’ dengar percakapan para ummahat tersebut. Sebuah warna lain dari romantisme berkeluarga, pikir saya. Sebuah warna yang sebelumnya tidak terlintas di benak saya. Fenomena yang jelas bertolak belakang dengan teori yang pernah saya catat ketika Dauroh Pra dan Pasca Nikah.

“Menikah, berarti menyatukan dua potensi yang memaksimalkan potensi masing-masing.”

Kurang lebih begitu narasi yang bisa saya tangkap waktu mengikuti Daurah Pra-nikah beberapa waktu lalu. Maka lahirlah suatu wacana di benak saya bahwa menikah akan menjadikan pelakunya jauh lebih baik dari sebelum mereka menikah.

Kenapa?

Jelas, setelah menikah mereka otomatis memiliki tambahan potensi dan amunisi. Yang dulu si akhwat terkendala datang Jalasah Ruhiyah karena tak berani pulang telat, maka setelah menikah, ia punya bodyguard istimewa yang siap siaga. Juga si ikhwan yang susah bangun malam, maka ada ‘waker’ cantik yang siap membangunkan.

Tapi realita yang ada sepertinya tak selalu sejalan dengan teori yang diberikan. Ada ketimpangan potensi setelah menikah. Seperti kisah nyata dari percakapan pembuka: dulu, hafalan istri jauh lebih baik dari suami. Tapi sekarang, justru sebaliknya.

Kenapa begitu?

Ohh mungkin karena tanggung jawab dan kesibukan ke-rumah-tangga-an menyita waktu dan perhatian sang ummahat dari pemaksimalan potensinya semula. Sementara sang abuhat lebih punya peluang memaksimalkan potensi setelah ditemani.

***

Alkisah, ia lah seorang super akhwat. Potensinya luar biasa. Sudah cantik dan shalihah, IPK luar biasa, aktivis pula. Tiba masa mengarungi samudra bersama sang ikhwan pilihan. Si akhwat seakan hilang di tengah lautan. Si super tadi tenggelam dalam masalah-masalah domestiknya yang tak berkesudahan. Mengurus anak-anak, suami, rumah, hingga hak ruhiyah pun terabaikan. Ia yang dulu kritis terhadap setiap isu yang muncul ke permukaan, sekarang malah tak kenal lingkungan sekitar. Hilang pula semangat dakwah fardhiyahnya ke tetangga kiri kanan.

“Kenapa anti tak lagi cerdas?” tegur sang Murabbiyah ketika pertemuan.

Si ‘mantan’ super akhwat hanya terdiam. Tak ada pembelaan. Bahkan jam datang liqo’at pun ia keteteran.

 

***

Mungkin kita perlu kembali berkaca dengan para ummahat di medan jihad nun jauh di sana. Mereka para istri mujahid Palestina. Yang ditinggal sang suami karena mujahid di penjara sang laknatullah. Yang harus berjuang membesarkan anak-anak mereka. Yang bekerja di terik mentari. Yang menantang mesiu dan peluru panas yang terlontar sana-sini. Tapi tetap terjaga kebutuhan ruhiy.

Seperti yang pernah dikisahkan sang mutiara, “sudah hafidzah, ukhti?” tanya seorang ummahat Palestine ketika Alm. Ustadzah Yoyoh berkunjung. Saat itu, diceritakan bahwa hafalan sang ustadzah masih dalam bilangan belasan juz saja.

Lalu sang ummahat Palestine bertanya, “Lantas, apa saja kah kesibukan ukhti fillah di negri damai tanpa perang?”

 

***

Di sudut lain bumi, ada super emak yang berpagi sejak 3 dini hari. Berangkat melawan dingin dan kantuk diri. Tak lupa si kecil menemani dalam mimpi. Di belakang gendongan besar barang dagangan. Di depannya sang anak terbuai dalam gendongan. Demi sesuap nasi, semua ia lakukan. Bahkan dengan konsekuensi ikutnya sang kecil berjuang.

Jelang siang, adalah ia super emak yang berparfum matahari hingga rambutnya menguning kusam. Di belakangnya tertidur pulas sang anak 3 tahunan. Sambil menyeka derasnya keringat, ia menunggu datangnya pembeli yang berkenan menawar sayuran yang mulai layu terpanggang siang. Dengan berbekal harapan akan makan anak-anaknya nanti petang.

Ada super emak yang berjuang mengejar dunia.

Ke mana kah super ummahat yang berjihad mengejar akhirat?

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 9.50 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis adalah Guru kelahiran Curup - Bengkulu, 21 Februari 1988. Saat ini penulis tercatat sebagai guru tetap di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Padang Ulak Tanding- Bengkulu. Penulis mengampuh mata diklat bahasa Inggris.

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization