Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Merindumu, Ayah

Merindumu, Ayah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

 

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Apa kabar Ayah?

Semoga Allah selalu menjagamu siang dan malam. Maaf jika aku jarang memberi kabar, walau hanya sekadar SMS. Aku luluh dengan jawabanmu, “Ayah sehat, kamu pun harus jaga kesehatan. Ayah tahu kamu sangat sibuk. Belajarlah yang rajin.”

Aku tertohok, sibuk? Aku tidak sesibuk yang Ayah pikirkan. Hanya saja aku yang sering sombong dan menomorsatukan ego. Aku minta maaf Ayah. Jika di flash back, tentulah sikap yang kutunjukkan hari ini sangat jauh berbeda dengan apa yang engkau berikan dulu padaku.

Aku ingat betul bagaimana engkau dengan senang hati menyediakan sarapan untukku saat ibu sedang sibuk mempersiapkan adik yang baru masuk sekolah. Sampai hari ini aku belum menemukan nasi goring melebihi lezatnya karyamu.

Aku pun sangat ingat ketika engkau dengan ikhlasnya menggendongku ke sekolah karena hujan turun pada kala itu. Kekhawatiranmu akan sepatuku basah dan tidak nyaman untuk belajar sangat kuhargai, Ayah.

Lalu engkau dengan penuh kelelahan sepulang kerja hanya memilih diam dan menonton televisi. Aku ingin bercerita Ayah, tentang sekolahku, temanku, dan cita- citaku. Tapi aku sadar betul engkau sangat lelah, maka aku simpan cerita ini.

Ayah, aku mencintaimu seperti aku mencintai ibu.

Tidak ada yang salah dengan keinginanmu kala itu yang memintaku untuk menjadi seorang dokter. Sungguh aku sangat meminta maaf atas ketidakmampuanku mewujudkan impian dan harapan besarmu. Tapi kenapa engkau tidak memarahiku, Ayah? Kenapa justru engkau yang mundur dan menyerahkan semuanya padaku, pada pilihanku? Maaf Ayah, aku terlalu sering mengecewakanmu dan menyimpan segudang harap.

Ayah, semakin hari aku merasakan jarak kita semakin jauh. Entah ini perasaanku saja atau engkau juga merasakan hal yang sama. Aku adalah anak yang kau banggakan dan elu- elukan pada saat itu. Tapi sekarang? Sedikit pun tidak ada prestasi yang bisa kubanggakan di depanmu. Aku terlalu terlena dengan kebebasan yang engkau berikan.

Ayah, inginku menghadirkan kembali keceriaan yang kita ciptakan bersama dahulu. Ingin rasanya kembali ke masa lalu saat tidak ada rasa segan dan tertutup seperti yang ada hari ini. Ingin rasanya memberikan pelayanan terbaik seperti dahulu engkau melayani dan menyiapkan apa-apa saja yang kubutuhkan.

Ayah, untuk sebuah hidayah yang Allah berikan semoga bisa kita jaga dengan baik. Aku sangat bersyukur memiliki ayah sepertimu. Pekerja keras, sabar, tekun, dan dekat dengan Allah. Apa lagi yang kuharapkan selain dari keempat poin itu? Bahkan jika poin terakhir saja ada padamu, maka kesyukuran ini sudah cukup berlimpah karena aku yakin kedekatan dengan Allah akan menghadirkan setiap perkara baik. Aku bangga padamu, Ayah.

Ayah, saat engkau katakan bahwa teman SD ku dahulu sudah berhasil dan pulang ke kampung halaman membawa mobil pribadi, lalu tetangga kita sudah meng-umrohkan orang tuanya, dan sepupuku sudah meraih gelar doktornya, aku tertohok. Aku tidak menyalahkanmu dengan cerita itu. Aku hanya malu sendiri, Ayah. Aku belum bisa membuatmu bercerita kepada orang lain akan kesuksesanku. Apa yang bisa aku berikan, Ayah?

Aku pun memiliki impian, Ayah. Dan itu juga melibatkan dirimu. Ditemani oleh doa- doamu, aku semakin optimis meraih impian itu. Aku merindumu, Ayah.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 8.67 out of 5)
Loading...
Mahasiswi tingkat akhir Universitas Negeri Medan, aktif di LDK sebagai staff Dept. Rekrutmen dan Pembinaan Kader.

Lihat Juga

Zakat Sebagai Solusi Masa Depan BPJS Kesehatan

Figure
Organization