Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Gadis Itu Bernama Syafha

Gadis Itu Bernama Syafha

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (qimta.devianart.com)

dakwatuna.com – Entah kapan rasa ini merasuk sukma. Tak mungkin aku mengingkarinya. Gadis itu sungguh membuatku jadi tak karuan. Dia tak secantik bidadari tapi begitu anggun di mataku. Dia tak terlihat seperti gadis kebanyakan. Begitu bersahaja. Dan yang paling utama dia sangat cerdas. Tapi memikirkannya, bagaikan membuatku ibarat punguk merindukan rembulan.

Mengapa juga aku mesti satu kelas dengannya. Belum kenal saja sudah mampu menaklukkan hatiku. Apalagi kalau sudah kenal. Sepertinya dia adalah gadis yang susah untuk ditaklukkan. Untuk ukuran aku sih gampang. Tampang oke, bodi macho, otak juga encer, cuma satu yang tidak aku punya. Harta guys. Itu yang paling penting. Kalau kembali ke style Syafa, dia sih bukan tipe gadis matre alias mengukur seseorang dari materi. Langkah awal yang mesti aku ambil adalah memperbanyak referensi tentangnya. Ciee…referensi, kayak buat makalah saja. Terutama mengenal pergaulannya. Ada yang lupa diinfokan nih, Syafha itu gadis jilbaber alias jilbab besar. Sebutan itu keren juga untuk muslimah. Biar tidak dibilang norak. Orang-orang kan pada berpikir jilbab besar itu kuno. Bingung juga pakai cara apa untuk mendekatinya. Aku bukan jenggoter, pasti tidak disukainya.

Hari pertama masuk kampus, Syafha sudah mendahului semua teman-teman. Benar-benar gadis yang disiplin. Makin ngefans nih. Tambah memukau saat Syafha tampil di depan kelas memberikan jawaban atas pertanyaan dosen. Sudah cerdas, akhlak terjaga, tidak sombong, perfect deh. Hanya satu yang membuatku kesusahan untuk menilainya. Susah diajak komunikasi. Tertutup dan jarang senyum. Orangnya serius abis. Sama sekali tidak punya teman di kelas. Apa mungkin karena cara berpakaian teman-teman tidak ada yang persis dengannya. Pikirku sambil menerka sikap tertutupnya itu. Semangat!!! Kata itu yang mesti aku pegang. Biar tidak berputus asa. Maksudnya tidak berputus asa mendekatinya.

Begitulah hari pertama kuliah. Suasana datar dan tidak ada yang berkesan kecuali Syafha. Apa aku tersihir ya? Kok jadi kepikiran dia terus. Perkembangan selanjutnya, tunggu hari kedua masuk kampus saja. Paling utama yang mesti aku lakukan adalah fokus dengan akademik. Sepertinya Syafha adalah saingan terberatku. Dia lebih banyak tahu daripada aku. Buktinya setiap pertanyaan dosen mampu ia jawab dengan benar.

Hari kedua masuk kampus, ada yang beda dari Syafha. Murah senyum dan sudah mau berkomunikasi dengan teman-teman yang lain. Tapi masih ada minesnya sih, dia hanya menebar senyum manisnya untuk perempuan. Untuk laki-laki jangan harap. Paling dibalas dengan menundukkan pandangan. Benar-benar susah untuk ditembus. Tunggu saja saat Dewi Fortuna mendatangiku, kataku dalam hati saat dia membalas senyumanku dengan sikap tunduknya.

Doaku terkabul. Saat pembagian kelompok, namaku dan namanya berturut-turut disebutkan oleh dosen. Akhirnya, kesempatan itu datang juga.

Sepertinya Dewi Fortuna benar-benar berpihak padaku. Aku ditunjuk sebagai ketua kelompok. Itu berarti aku bebas memilih siapa saja dari anggota kelompok untuk menjadi sekretaris. Syafha yang akan menjadi sekretaris dalam kelompok kami. Ternyata teman-teman lain juga setuju dengan keputusan yang aku ambil. Sudah aku katakan, bagiku tidaklah susah untuk menaklukkan hatinya. Langkah ini ibarat jalur rel kereta api yang akan menuntunku hingga tiba di tempat tujuan.

Perlahan kudengarkan pendapatnya saat aku meminta ide dari tiap anggota kelompok. Giliran terakhir sengaja aku berikan padanya, biar aku bisa mendengarkan suaranya lebih lama. Sekalian dengan kesimpulan dari masing-masing pemaparan anggota. Sebenarnya, aku juga kasihan karena aku seolah mempermainkannya. Tapi, kalau tidak begitu, dia mana mau bicara pada lawan jenisnya. Tapi sepertinya aku salah menilainya ternyata dia tak begitu susah diajak komunikasi, terbukti saat dia memaparkan idenya dan memberikan jawaban atas sanggahanku.

Karakter yang aneh. Ini bagaikan sebuah tantangan yang mesti aku jinakkan.

Waktu seolah terus berpihak padaku. Mungkin juga kami ditakdirkan selalu bersama atau aku yang terlalu geer. Selalu berharap sang penentu jodoh menjatuhkan pilihan-Nya untukku pada Syafha. Sebuah nama yang begitu indah untuk aku kenang. Betul-betul bagai kekuatan supranatural yang menembus ruas-ruas tulangku hingga buatnya remuk bila aku tak mengingatnya. Sepertinya, aura gadis tanpa polesan itu begitu anggun dipandang mata.

Sore menjelang malam, saat langit berwarna merah saga, ketika dari angkasa tampak satu pemandangan indah. Burung-burung berjejer rapi, Ibarat pernah belajar baris-berbaris. Rapi dan teratur. Dan yang pasti, amat beda dengan pemandangan yang ada di depan mataku sekarang ini. Manusia yang dikaruniai dengan akal ternyata kalah dengan makhluk tak berakal seperti burung. Hampir saja sebuah motor menabrak seorang gadis di perempatan Pettarani.

Aturan sepertinya dibuat hanya untuk dilanggar. Terang saja pemuda bermotor itu hampir menabrak gadis itu. Alasannya karena buru-buru, jadi tidak sempat memperhatikan rambu-rambu.

Itu alasannya. Hati tidak ada yang tahu. Mungkin di mulut bisa membuat seseorang terenyuh, tapi bagaimana dengan hati. Bukan bermaksud untuk berpikiran jelek, tapi melihat gaya dan cara bicaranya. Sama sekali tak beradab, seperti tak pernah belajar agama saja. Untung saja gadis yang hampir ditabraknya adalah gadis sabar dan kelihatan tak banyak menuntut. Yah…agak samar-samar sih aku melihatnya. Maklum sudah menjelang malam.

Pemandangan seperti itu sudah tak asing bagiku di Kota Anging Mammiri ini. Gadis itu tak lepas dari ordinat mataku. Mungkin dia agak kesakitan karena sikunya sempat tersenggol stir motor. Perlahan aku mendekat ke arah gadis itu. Entah garis tanganku yang selalu ingin bertemu dengannya, jodoh, atau apalah. Pastinya, gadis yang tengah mengusap-usap siku serta merintih kecil karena luka di sikunya adalah sosok yang aku kagumi. Syafha, lagi-lagi aku dipertemukan oleh sang pencipta di tempat yang tak aku sangka.

“Bagaimana keadaanmu, tidak apa-apa kan?”

“E…e…eh…, iya alhamdulillah saya tidak apa-apa kok” dengan nada agak kaget ia menjawab pertanyaanku.

Kata terima kasih sempat diucapkannya. Kemudian ia berlalu dan menghilang tanpa jejak. Kaget sebab dalam lamunan ia meninggalkanku dalam keadaan berdiri di trotoar.

Whuaa…astaghfirullah al-adziim. Sedang apa aku ini, mengapa masih saja memikirkan gadis yang tak halal bagiku. Kuarahkan pandanganku ke sebuah masjid yang tidak jauh dari tempatku. Sudah adzan, indah dan merdu itulah yang terdengar tatkala adzan berkumandang. Jadi teringat dengan kisah Bilal bin Rabah yang diangkat sebagai muadzin oleh Rasul. Berdasarkan penjelasan yang ada di literature, suaranya merdu dan lantang. Apa mungkin, seperti inilah gambaran tentang Bilal. Aku terenyuh hingga luluh. Ingin menjadi seperti itu, tetapi bila mengingat kalau aku ini adalah mantan santri, rasanya sangat malu. Pernah jadi santri, tapi kok, tidak tahu adzan. Bukan juga tidak tahu adzan sih. Tetapi tidak meninggalkan bekas-bekas santri pada diri.

Ternyata suara syahdu itu milik teman lamaku sewaktu di pesantren. Entah ini kebetulan atau apa? Baru saja terpikir tentang pesantren. Eh, ternyata yang Mahakuasa menjawab perkataanku.

***

Di parkiran masjid, samar-samar terlihat seorang gadis berkerudung tengah duduk di bibir bak bunga. Berselonjor pasrah.  Lakonnya seperti menunggu seseorang. Perlahan kulangkahkan kaki menuju ke arahnya. Bukan bermaksud apa-apa. Motor temanku terparkir pas di samping gadis itu. Sesuai nomor polisi motornya DD 2551 I. Tadi kami janjian, rencana bertemu di sana.

Syafha, yah, lagi-lagi dipertemukan. Sepertinya, ini adalah sinyal-sinyal kalau aku memang berjodoh dengannya. Bukan sok tahu ya, mencoba menyelaraskan rasa ini.

“Nunggu siapa, Fha?”

“Eh, Jaya. Ini lagi nunggu kakak.”

“Tangan yang tadi tidak sakit kan?”

“Oh, tidak kok. Tadi cuma tersenggol stir motor”

Meski dia berkata tidak sakit. Raut wajahnya tak demikian. Dia tak mudah mengeluh. Makanya makin menambah kekagumanku.

Kisahku baru saja dimulai. Rupanya Syafha adik dari sahabatku, Fahmi. Waduh, pantas saja. Pantas kalau dia begitu anggun. Hasil didikan kakaknya. Yah, Fahmi memang santri teladan di pesantren. Wajarlah kalau akhlaknya ditransfer ke adiknya.

Perbincangan dengan Fahmi membuka jalan lurus bagiku kembali menyelami nilai-nilai Islam. Meski sempat menganggur selama setahun setelah lulus dari pesantren. Bahkan komunikasi pun tak pernah. Toh ternyata kami masih berjodoh. Satu kelas dengan Syafha adiknya. Sungguh benang hidup yang mengagumkan. Seolah telah dibuatkan skrip skenario.

Terhitung dua belas bulan kubergabung menjadi pengurus masjid di tempat Fahmi mengelola TPA dan taklim rutin untuk jamaah. Belajar dan mengajar di sana. Sungguh luar biasa.

TPA yang diasuh Fahmi berkembang menjadi bimbingan belajar bagi siswa. Syafha, kini jadi partner. Kami sama-sama menjadi tenaga pengajar. Tak lagi kuberani menggodanya. Dia begitu berharga. Aku sadar, aku mana pantas untuknya.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (19 votes, average: 8.47 out of 5)
Loading...

Tentang

Fasilitator Komunitas Guru Gugus SGI Dompet Dhuafa. Bantaeng, Sulsel.

Lihat Juga

Mencintai Diri Sendiri

Figure
Organization