Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Surat Surga untuk Ayah Bunda

Surat Surga untuk Ayah Bunda

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Semakin lama semakin gelap. Pikirku. Tinggal menghitung hari dengan jemari tangan, sebentar lagi aku akan merasakan betapa indahnya dunia, terang cemerlang, pun ketika senja usai. Sebab kata Bunda, suatu hari, kita tidak akan pernah merasa kesepian lantaran gelap menyapa. Sebab selepas matahari terbenam, ia sejatinya tidak meninggalkan kita dalam kegelapan. Ada bulan, yang dengan setia berbagi peran memancarkan sinar matahari itu, sehingga tengah malam pun, nanti, aku tetap di bawah cahaya. Ya, cahaya itu. Aku sudah tidak sabar ingin segera menikmatinya bersama Bunda dan Ayah.

Ku dengar sayup-sayup lantunan suara lembut Bunda membaca ayat-ayat cinta Allah. Aku merasakan ada kelembutan yang merasuk menembus lapisan yang melindungiku selama hampir 9 bulan ini. Sepertinya Bunda sedang membaca Al-Qur’an sembari mengelus-elus perutnya. Ah iya, Bunda, aku benar-benar merasakannya. Hangat, dan aku semakin merasa nyaman. Rasanya, aku ingin, nanti, tertidur di atas pangkuan Bunda saat Bunda membaca Al-Qur’an lagi. Tapi… Masih nanti. Ketika hitungan jariku sudah habis. Tidak apa-apa. Aku bersabar.

Tubuhku semakin terasa sempurna. Aku ingat betul ketika pertama kali aku baru bisa mendengar. Ayahku sering mengajakku bercengkerama. Tentu saja aku tidak membalas setiap sapanya. Aku hanya berjanji, nanti Ayah, saat pertama nanti aku merasakan dinginnya di luar sana, aku akan menangis untuk Ayah. Karena… Aku ingin digendong Ayah. Batinku sambil tersenyum. Lalu setelah itu, kita ramaikan istana kita yang kata Bunda, sepi sekali, sebab hanya ada Bunda dan Ayah saja. Aku senang, sebab nanti akan ada aku, dambaan Bunda dan Ayah selama kurang lebih dua tahun hidup bersama. Ahh… Seperti apa ya bentuk ‘rumahku surgaku’ yang penuh cinta itu?

Semakin aku merasa lebih sempurna, semakin aku tidak sabar ingin menjadi tuan putri di ‘rumahku surgaku’. Bermain-main di singgasana raja dan permaisuri tercinta, Bunda dan Ayahku.

Detak jam dinding seolah terdengar. Sebentar lagi. Sabar lagi. Hitungan jemariku sudah hampir selesai. Barangkali di luar sana mereka juga merasakan hal yang sama. Mereka semua menanti kehadiranku. Mungkin pula sudah mulai berebut siapa duluan yang ingin menggendongku. Senangnya… Bahagianya… Sebentar lagi.

Ya… Sebentar lagi sosok itu semakin dekat menghampiriku. Sang utusan Penciptaku, dia tersenyum. Bercahaya sekujur tubuhnya. Entah, tiba-tiba aku tersentak oleh batinku sendiri. Aku tidak ingin pergi! Aku… Ingin bertemu Bunda dan Ayah! Sosok itu kini jelas di hadapanku. Tak kusangka aku telah di dekapnya. Hangat, erat. Entah, aku pasrah. Aku masih ingat betul sebelumnya, saat tubuhku terasa kian sempurna. Saat aku bisa mendengar jelas lantunan ayat Al-Qur’an yang selalu dibaca Bunda dan Ayah. Saat aku bisa meraba dinding-dinding rahim, berharap mengulur tangan meraih genggaman hangat Bunda. Saat aku bisa bercanda ria bergerak-gerak mencoba menggoda Bunda, lalu Bunda seraya berbisik membalas candaanku, “hayoo, adek mau ngajakin Bunda main yaa… Bunda geli nih…”, ujar Bunda sambil mengusap-usap perutnya. Pasti sambil tersenyum. Dan aku paling suka itu.

Tapi Bunda, sekarang aku tahu mengapa aku harus menyisakan hitungan jemariku begitu saja. Aku tahu mengapa aku harus membuat semuanya menunggu dalam bahagia yang tak terbendung. Aku tahu mengapa pada akhirnya pengorbanan berat pun harus berujung pada derasnya air mata. Berdarah-darah engkau coba menahan rindu, Bunda. Penuh getar nada engkau bertakbir, Ayah. Sampai pada detiknya aku mengakhiri penantian sembilan bulan, menuju Surga Allah.

Maafkan aku Bunda, Ayah…

Kehadiranku tak sempatkan sapa walau sedetak jantung, walau sehela nafas…

Relakan aku menempati istana kita di Surga-Nya terlebih dahulu. Kelak ku sambut engkau Bunda, Ayah, penuh semangat dan bahagia di tepian telaga Kautsar. Dan kita tak kan pernah lagi haus akan rahmat dan cinta-Nya.

Ku sampaikan salam penuh cinta lewat semilir sejuk udara Surga. Untuk Bunda, untuk Ayah, untuk segenap keluarga tercinta yang membagi bulir air mata. Adalah Allah, Rabb Pencipta segala. Cinta-Nya sungguh Maha Besar, dan aku, bahagia di sisi-Nya…

Dariku, Zakiah. Namaku pada akhirnya.

Persembahan untuk kakakku tercinta Rifa’atul Mahnunin dan suaminya, Rusli. Sepekan sudah kepergian Adek Zakiah. Biarlah seutas tali rindu akan ‘momongan’ pertama itu menjadi penghubung kita dengan Cinta-Nya. Semoga Allah segera hadiahkan kembali jundi/jundiyah-Nya dalam waktu dekat ini. Sebagai penyejuk hati, pelipur lara…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (8 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Aku putri kedua. Abi, Habib Muttaqin. Ummi, Tintin Wihartini. Satu kakakku perempuan, sudah menikah. Jagoan (adik laki-laki) ku ada tiga. Sejak 21 April 2011, aku punya Bunda, Inin Fariana. Maka aku semakin merasakan cinta-Nya. Duniaku� design, fashion, menulis, entrepreneur, sastra, ekonomi syariah, politik, fotografi, alam... dan sedang mengeksplore sudut dunia yang lain. Bersyukur itu, nikmat :)

Lihat Juga

Doa Terbaik untuk Ayahanda Harvino, Co-pilot Pesawat Lion Air dan Ayah bagi 10 Anak Yatim

Figure
Organization