Enam Pelajaran di Balik Kisah Sebelum Fathu Makkah

Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)

dakwatuna.com – Sudah tidak ada alasan lagi bagi kaum muslimin menunggu. Kini saatnya begitu tepat. Kekuatan kaum muslimin telah cukup kuat. Pelanggaran perjanjian al-Hudaibiyyah yang dilakukan kaum kafir Quraisy sudah tidak dapat ditolerir lagi. Maka waktu yang ada sangat dimanfaatkan oleh Rasulullah SAW untuk merencanakan penaklukan Mekah.

Rasulullah SAW meminta para pengikutnya agar menyiapkan diri untuk berperang. Akan tetapi beliau merahasiakan persiapan mereka. Hanya beberapa sahabat dekat beliau yang mengetahui apa yang akan mereka hadapi, dan beliau meminta menyamarkan tujuan perang mereka. Karena itu, banyak isu yang beredar, yang mengatakan mereka akan menuju Syam, atau ke wilayah Tsaqif, atau ke wilayah suku Hawazin. Hal ini bertujuan menimbulkan kebingungan di seluruh semenanjung Arab. Sehingga diharapkan, pihak kaum kafir Quraisy tidak punya cukup waktu untuk menghimpun kekuatan untuk melawan. Karena Rasulullah SAW menginginkan kemenangan yang sempurna, penaklukan tanpa ada benturan senjata, apalagi pertumpahan darah.

Namun suatu ketika, saat Rasulullah SAW berada di Masjid Nabawi untuk menyiapkan sekitar sepuluh ribu pasukan, beliau mendapat visi yang mengabarkan bahwa rencana rahasia itu telah terbongkar. Beliau lantas memanggil sahabat yang sebelumnya ditempatkan sebagai pasukan berkuda, yakni Ali bin Abi Thalib, az-Zubair bin al-‘Awwam, dan Muqdad bin al-Aswad. Rasulullah SAW berkata, “Berangkatlah kalian bertiga hingga di suatu tempat bernama Taman Khakh. Di sana, ada seorang perempuan dari kalangan kaum musyrik yang sedang membawa sepucuk surat yang dikirimkan Hathib bin Abu Balta’ah kepada kaum musyrik Mekah.”

Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka bertiga segera menuju lokasi. Tak lama, mereka berhasil menemukan perempuan tersebut dan menangkapnya. “Di manakah surat yang kau bawa?” kata Ali bin Abi Thalib.

“Aku tak membawa surat apa pun!” jawab perempuan yang ternyata bernama Sarah itu.

Mereka kemudian memeriksa bawaan yang ada di untanya Sarah. Tapi nihil. Mereka tak menemukan surat itu. Kedua teman Ali bin Abi Thalib itu pun berkata, “Kami tak menemukan surat itu.”

“Aku benar-benar tahu, Rasulullah SAW tidak akan berdusta. Demi Allah, hai perempuan, jika kau tak menunjukkan surat itu, aku akan menelanjangimu!”

Melihat kesungguhan Ali bin Abi Thalib, perempuan hamba sahaya dari seorang Bani ‘Abdul Muththalib itu akhirnya mengaku dan mengeluarkan surat yang ia sembunyikan di tali pengikat kainnya.

Memang kisah ini tidak selesai di sini. Karena kita tahu bagaimana cerita setelahnya, kemenangan atas Mekah (Fathu Makkah) menjadi catatan gemilang bagi sejarah Islam. Akan tetapi di balik kemenangan tersebut, kisah ini mengajarkan kita tentang banyak hal.

***

Pertama, kaum muslimin menyerang Mekah bukanlah disebabkan hawa nafsu kesombongan lantaran kini mereka sudah memiliki kekuatan yang besar. Tidak. Akan tetapi kaum muslimin menyerang sebagai bentuk pembelaan kehormatan dan izzah Islam atas pelanggaran perjanjian al-Hudaibiyyah yang dilakukan kaum kafir Quraisy. Perjanjian al-Hudaibiyyah adalah kesepakatan damai selama sepuluh tahun yang disepakati Rasulullah SAW dengan kaum kafir Quraisy saat hendak berhaji di Mekah. Namun belum lama perjanjian itu dibuat, kaum kafir Quraisy sudah melanggarnya. Hal ini ditandai dengan pembunuhan kaum muslimin yang tinggal tak jauh dari Mekah.

Inilah yang menjadi dasar penyerangan atas penaklukan Mekah. Mereka menyerang karena diserang. Dan ini untuk kejayaan Islam. Sungguh sebuah pelajaran penting, betapa kemenangan besar itu bermula dari niatan dan dasar yang benar: karena Allah SWT dan untuk Islam. Bukan yang lain.

***

Kedua, meski menghendaki kemenangan, Rasulullah SAW tetap mengupayakan kemenangan yang tidak menimbulkan kerusakan. Selain Mekah terdapat Masjidil Haram yang diharamkan adanya pertumpahan darah, juga karena menyadari di dalam kota tersebut terdapat keluarga-keluarga para sahabat yang Muhajirin. Jangankan kepada keluarga, kepada yang bukan keluarga saja, yang notabene kafir manapun, Rasulullah SAW selalu mewanti-wanti para sahabat yang berperang agar tidak menyerang wanita, anak-anak, orang tua, atau orang-orang yang tidak ikut berperang. Juga dilarang untuk menyakiti hewan dan merusak tanaman.

Betapa Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar menjaga keluhuran akhlak pada segala kondisi, bahkan dalam situasi perang sekalipun. Karena ternyata, keluhuran akhlak menjadi indikator kemenangan dakwah Islam. Tanpa akhlak yang baik, sulit kiranya dakwah dapat diterima. Dalam al-Qur’an pun, banyak ayat yang mengajarkan kita untuk memiliki akhlak yang luhur. Ibnu Qayyim berkata, “Agama itu seluruhnya adalah akhlak. Barang siapa yang akhlaknya semakin baik, maka agamanya pun semakin baik.” Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” [HR. Al-Bazzar]

Maka memiliki akhlak yang baik merupakan sebuah keniscayaan bagi seorang muslim, apalagi seorang da’i yang menyeru kepada Allah SWT. Siapa yang tidak memiliki hal tersebut, maka Allah SWT akan ganti dirinya dengan orang yang lebih baik dari dirinya, yang mana Allah SWT gambarkan salah satu cirinya, “yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,” [QS. Al-Maa’idah (5): 54]

***

Ketiga, meski memiliki kelembutan yang sangat, hal tersebut tidak menghalangi Rasulullah SAW untuk bertindak tegas terhadap sebuah pelanggaran, tak terkecuali terhadap kesalahan yang dilakukan sahabatnya sendiri, Hathib bin Abu Balta’ah. Ketegasan sangatlah diperlukan, apalagi dalam dakwah yang selain mengajak kepada kebaikan, juga mencegah daripada keburukan.

Ketegasan Rasulullah SAW terlihat pada kecekatannya dalam mengambil keputusan untuk mengutus ketiga sahabatnya guna mencegah jatuhnya informasi kepada pihak lawan. Ketegasan pun ditampakkan oleh Ali bin Abi Thalib saat berhadapan dengan perempuan pembawa surat itu. Bahkan demi menjalankan perintah Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib berani mengancam akan menelanjangi wanita tersebut. Bayangkan apa jadinya jika sebagai qiyadah, Rasulullah SAW tidak cepat mengambil tindakan? Juga apa jadinya jika sebagai jundiyah,

Ali bin Abi Thalib gamang dan bimbang saat kedua sahabatnya tidak menemukan surat yang dimaksud?

Maka ketegasan sangatlah diperlukan dalam dakwah. Tegas saat kita berhadapan dengan perkara yang syubhat. Tegas dalam membedakan al-haq wal bathil. Tegas ketika kemalasan memberatkan langkah dakwah kita. Tegas dalam kemelut kesulitan. Karena tegas adalah wujud kesabaran. Dan tanpanya, kemenangan besar akan sulit terealisasi adanya.

***

Keempat, adanya ketegasan rupanya tidak menutup keran objektivitas penilaian terhadap seseorang. Juga tidak menutup pintu maaf atas kesalahan yang dilakukan seseorang. Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW dengan ketegasannya, juga kelembutannya, meredam kemarahan para sahabat yang lain terhadap Hathib bin Abu Balta’ah, sekaligus berusaha menepis prasangka buruk yang berkembang di tubuh jamaah. Di sinilah Rasulullah SAW memanggil Hathib bin Abu Balta’ah untuk dimintai keterangan. Rasulullah SAW melakukan tabayun guna mendapat penjelasan objektif sebelum memutuskan suatu perkara. Bukan berdasarkan prasangka.

“Hathib! Apa yang mendorongmu melakukan tindakan seperti itu?” tanya Rasulullah SAW.

“Wahai Rasul! Janganlah engkau terburu marah. Demi Allah, saya adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Saya tidak murtad dan tidak mengubah agama saya. Dulu, saya adalah anak angkat salah seorang keluarga di sana (Mekah). Tetapi saya juga orang yang ikut serta berhijrah bersamamu dengan meninggalkan keluarga saya di Mekah yang dilindungi oleh kerabat mereka. Ketika kerabat tersebut sudah tiada, saya ingin ada jaminan dari mereka untuk melindungi keluarga saya. Padahal, orang-orang yang bersamamu mempunyai kerabat yang bisa melindungi mereka. Itulah sebabnya, saya berusaha membela mereka.” jawab sahabat yang pernah menjadi duta dakwah ke Mesir ini.

Rupanya, Hathib bin Abu Balta’ah melakukannya demi melindungi keluarganya di Mekah. Akan tetapi, mendengar jawaban seperti itu, ‘Umar bin Khattab naik pitam dan protes kepada Rasulullah SWT. ‘Umar bin Khattab merasa apa yang dilakukan oleh Hathib bin Abu Balta’ah merupakan bentuk pengkhianatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Pun begitu, dengan kelembutannya, Rasulullah SWT justru mengampuni Hathib bin Abu Balta’ah, dengan pertimbangan kebaikan-kebaikannya selama ini yang turut dalam Perang Badar, turut berhijrah menemani Rasulullah SAW, serta menjadi duta dakwah menghadap penguasa Mesir, Muqauqis. Akhirnya, ‘Umar bin Khattab dan sahabat yang lain menerima keputusan beliau. Sungguh indah yang diajarkan Rasulullah SWT. Jangan sampai karena satu kesalahan, kita menutup mata terhadap kebaikan-kebaikan lain yang dilakukan saudara kita.

***

Kelima, juga tentang tsiqah (kepercayaan) dalam berjamaah. Baik seorang qiyadah kepada jundiyah, atau sebaliknya, jundiyah kepada qiyadah. Sebagaimana ke-tsiqah-an Rasulullah SAW kepada ketiga sahabatnya untuk mengejar perempuan pembawa surat itu. Juga bagaimana ke-tsiqahan-an yang ditunjukkan tiga sahabat berkuda tersebut. Tanpa banyak tanya bagaimana ciri-ciri wanita tersebut, seperti apa surat yang dimaksud, apalagi menanyakan kenapa harus mereka yang diutus. Mereka tsiqah kepada Rasulullah SAW. Itu saja sudah cukup untuk membuat mereka bergerak mengemban amanah. Mereka yakin bahwa Rasulullah SAW benar, hingga saat tidak menemukan surat tersebut, Ali bin Abi Thalib menegaskan, “Aku benar-benar tahu, Rasulullah SAW tidak akan berdusta. Demi Allah, hai perempuan, jika kau tak menunjukkan surat itu, aku akan menelanjangimu!”

Tsiqah merupakan sebuah harga yang perlu dibayar demi sebuah keutuhan gerak dan tujuan jamaah. Karena adanya tsiqah-lah yang meredam segala distorsi yang ada di tubuh sebuah jamaah. Bagi seorang jundiyah, tsiqah menjadikannya patuh terhadap perintah pemimpin selama perintah itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebaliknya, bagi seorang qiyadah, tsiqah menjadikannya bergerak bersama para jundi-nya, memberi mereka porsi tugas dan meyakini mereka adalah jundi-jundi terbaik.

Jika ada sebuah analogi jamaah dakwah serupa bangunan yang tersusun kokoh, sudah tentu tsiqah merupakan unsur pembangunnya. Tanpanya, sudah tentu akan ada distorsi yang mengganggu, seperti yang dilakukan Hathib bin Abu Balta’ah.

***

Keenam, tentang urgensi amniyah dalam dakwah. Amniyah atau kerahasiaan merupakan hal yang lumrah dalam segala bidang, bahkan terhadap bidang yang mengaku paling terbuka sekalipun. Pada tataran tertentu, dalam bidang tersebut, pasti ada ranah privasi yang tidak dapat dibagi ke publik. Alasannya sederhana, yakni demi menjaga kemashlahatan umum dengan terjaganya rahasia tersebut.

Secara empirik, keterahasiaan bukanlah melulu berkaitan dengan sesuatu yang negatif. Sebaliknya, terkadang sesuatu akan terasa lebih menarik dan efektif manakala ada keterahasiaan. Bayangkan apa jadinya jika kita menonton tayangan sulap yang kita sudah tahu rahasianya? Juga mungkinkah kita akan merasa surprise bila membuka kado yang kita sudah tahu isinya?

Dakwah pun demikian. Kerahasiaan ini bukanlah pada gerak dakwah secara keseluruhan seperti pada masa dakwah sirriyah (sembunyi-sembunyi), melainkan terhadap informasi-informasi tertentu dalam jamaah, yang sekiranya tidak akan memberi manfaat jika diberikan kepada yang tidak berhak.

Seperti kata orang bijak, “Semua akan indah pada waktunya.” Begitulah idealnya menyikapi ranah amniyah ini. Jangan terlalu kaku hingga menimbulkan kesan eksklusif pada tubuh internal jamaah itu sendiri, tapi juga jangan terlalu longgar dan cair hingga informasi menyebar ke mana-mana.

Jika pun informasi amniyah jatuh kepada yang tidak berhak, maka kemungkinannya ada dua, yakni terjadinya kesia-siaan informasi atau ketidaktepatan informasi yang berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru lainnya. Jelas ini tidak baik. Itu sebabnya Rasulullah SAW begitu tegas manakala mengetahui Hathib bin Abu Balta’ah berusaha membocorkan rahasia penting tersebut, apalagi dihantarkan ke daerah lawan.

***

Begitulah. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sebuah sejarah. Semoga kita terus menggali sirah guna menjaga ghirah kita dalam berdakwah dan bertarbiyah.

Allahu a’alam…

 

Referensi:

– Muhammad Sang Kekasih, Ahmad Rofi’ Usmani.

– Pembinaan Diri, Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Idan.

– 100 Hadits Terpilih, Dr. Muhammad Faiz Almath.

Konten ini telah dimodifikasi pada 23/10/12 | 11:03 11:03

Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Staf Ahli Kaderisasi Lembaga Dakwah Kampus Syahid UIN.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...