Maafku, Dinda

Ilustrasi (hudzaifah.org)

dakwatuna.com – Aku bahkan lupa bahwa aku punya seorang mutarabbi yang bernama Runi. Aku sibuk dengan semua rutinitasku. Parahnya tidak satu pun mereka – teman-temanku – mengingatkanku untuk semua kekhilafan ini. Astaghfirullah…

Menjadi murabbi bukan menjadi satu kebanggaan bagiku. Kalau bisa, hari ini aku ingin membebaskan semua mutarabbi yang ada bersamaku dan memberikan mereka kepada yang lebih pantas.

Hingga pada suatu waktu, seorang mutarabbi yang selama ini keberadaannya sangat misterius mengejutkanku. Tidak ada kata lain selain ucapan rasa syukur atas rahmat Allah, dengan kembalinya ia. Beruntun SMS masuk ke HP ku berisi ucapan maaf darinya. Huuaaaa. Mata kukucek-kucek dan baca kembali. Gak salah ni? Bukannya aku yang seharusnya minta maaf? Aku bahkan nyaris menghapus nama dia di list mutarabbiku. Astaghfirullah.

Aku terduduk dan terdiam. Aku semakin tidak paham dengan apa yang kuinginkan. Ya, aku terlalu menuntut lebih dari mutarabbiku selama ini. Padahal sampai hari ini aku belum tahu apa makanan kesukaan Aisyah, sejak kapan Jian mengenakan menutup aurat, kenapa Meli tidak suka pedas, dan paling parahnya aku menuntut Rani untuk bisa speak up sementara dia bukan tipe yang demikian. Astaghfirullah…

Entah sudah berapa banyak dosaku untuk semua kelalaian ini, tapi kenapa teman-temanku tidak sedikit pun menegurku untuk semua ketidakpekaan ini?

Kemudian, sampai hari ini aku pun belum tahu bagaimana perasaan mereka padaku. Nyamankah mereka? Atau senyum mereka di setiap pertemuan mingguan hanya simbolis saja, sekadar menyenangkan hatiku?

Sering aku menghakimi diri. Ya, siapa pun punya tanggungjawab selain mengurus lingkaran kecil pekanan ini, namun hanya aku yang terlihat terkecoh dengan amanah baru ini. Wina temanku juga sibuk dengan laporannya, namun tiap tahunnya dia mencetak generasi terbaik. Pun Indah, yang kesehariannya sibuk mengajar, tercatat sebagai murabbi idaman. Tidak jauh beda, Lila dengan kesibukannya sebagai asisten lab, juga mampu mengikat hati para mutarabbinya. Lha aku? Hanya dengan kesibukan sebagai tenaga pendidik di sekolah yang katanya internasional namun aku tidak menemukan sesuatu yang cukup berbeda di sana. Dan lingkaran kecilku? Satu persatu mereka absen, seolah apel-an. Lalu kulihat kakak seniorku, lingkarannya besar amat? Kalau dibandingkan, tentulah pengorbanan yang kuberikan belum sebanding dengan apa yang dia perbuat dan berikan. Tidak heran kalau seringkali dia membawa buku tebal di samping laptop yang selalu menemani di punggung. Yah, lingkaran sebesar itu tentunya memerlukan pengetahuan luas. Masing-masing mutarabbi punya pertanyaan yang berbeda dan tentunya butuh jawaban berbeda pula.

Aku lalu menemukan jawaban atas ketidakefektifan kelangsungan lingkaran kecilku. Ya, kuakui aku tidak punya persiapan yang matang sebelum memulai pertemuan. Aku bahkan tidak jarang lupa bahwa besok aku harus memberikan materi, hingga pilihan terakhir aku dengan senangnya meminta para mutarabbi bercerita. Entah cerita apa. Lalu yang lebih parahnya aku pernah ingat bahwa besok aku harus memberikan materi, namun sedikit pun aku tidak membuka buku panduan. Dan benar, aku belum pantas.

Ilmu harusnya mereka dapatkan dari ulama, ahli agama. Dari orang yang sedikit pun niatnya tidak terkotori akan kepentingan lain. Semata-mata hanya karena Allah. Bukan untuk mencari popularitas, apalagi mencari pengaruh untuk suatu golongan. Juga tidak untuk mencari dukungan dan kekuatan. Semoga niat ini selalu terjaga.

Bismillah, yakinlah sungguh aku pun ingin begitu.

Konten ini telah dimodifikasi pada 16/10/12 | 19:33 19:33

Mahasiswi tingkat akhir Universitas Negeri Medan, aktif di LDK sebagai staff Dept. Rekrutmen dan Pembinaan Kader.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...