(Lagi-Lagi) Tentang Ikhwan dan Akhwat

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Sore ini mendadak ada sms masuk ke hp saya, isinya pertanyaan sederhana dari salah seorang adek kelas SMA, yang kurang lebih seperti ini, “mba, inget g’ dulu sejak zaman kepengurusan Ana, terjadi penurunan di akhwat? Ikhwannya sudah melaju, akhwatnya masih g’ tau di mana… proses pembentukan di ikhwan cenderung lebih cepat dibanding akhwat. Bisa dilihat juga seperti di Un… (*sensor) sekarang, rata-rata di semua lini ikhwannya lebih muda angkatannya dibanding akhwat. Bisa disimpulkan g’ mba?”

Membaca sms seperti itu setelah 4,5 tahun meninggalkan dakwah sekolah dan 7 bulan tidak berkecimpung di organisasi dakwah apapun, rasanya seperti orang tua yang sedang bernostalgia mengenang masa muda. Hehe…

Nah, berhubung saat itu saya belum bisa menjawabnya (sedang dalam perjalanan), maka saya mencoba menjawabnya melalui catatan kecil ini. Semoga selain menjawab pertanyaan adek kelas saya itu, ulasan ini juga bisa bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

Bismillahirrohmanirrohim…

Kalau melihat zaman SMA dulu, sebenarnya g’ tepat juga kalau dikatakan penurunan kader hanya terjadi di akhwat, sebenarnya di ikhwan juga terjadi penurunan lo. Tapi memang secara kuantitas tidak terlalu terlihat karena jumlah mereka yang bisa dikatakan cukup stabil. Sementara di akhwat pada saat itu kuantitasnya memang menurun drastis. Tapi kalau dianalisa lebih dalam, penurunan dalam hal kualitas sama-sama dialami oleh ikhwan dan akhwat.

Sepertinya pertanyaan adek kelas saya tadi sore lebih ke arah kuantitas kader di SMA kami. Sementara untuk pertanyaannya yang selanjutnya, lebih membahas tentang penempatan kader kampus Un… (*sensor) tersebut.

Kita mungkin bisa kembali dulu ke sifat dasar ikhwan dan akhwat. Ikhwan (seperti yang saya pahami dari beberapa buku, dan beberapa kasus secara langsung tentunya) memang cenderung lebih cepat dalam merekrut kader baru. Sifat mereka yang lebih rasional ternyata mampu “menjebak” banyak ikhwan lain untuk juga berkecimpung dalam organisasi dakwah. Selain itu, mereka dikaruniai rasa kepercayaan yang luar biasa kepada saudaranya. Mungkin sering kita dapati dalam kepanitiaan atau kepengurusan organisasi, struktur di ikhwan senantiasa terisi dengan “orang-orang baru” atau ikhwan-ikhwan angkatan muda yang jarang kita kenal.

Berbeda dengan akhwat. Untuk di akhwat cenderung memerlukan waktu yang lebih lama untuk merekrut kader baru, pendekatannya perlahan dan “dalam” kesannya. Sedangkan untuk masalah kepercayaan, seorang akhwat sungguh sangat hati-hati dalam menempatkan “orang baru” pada posisi-posisi tertentu dalam kepanitiaan atau organisasi dakwah. Semua ada plus-minus nya lah. Allah tidak menciptakan kita berbeda dengan ikhwan tanpa hikmah yang luar biasa bukan? Seperti halnya ikhwan yang cenderung berpikir jangka panjang, sementara akhwat memiliki kemampuan detail memikirkan apa yang harus diselesaikan saat ini juga.

Dua makhluk ini memang berbeda, oleh sebab itu Allah SWT menciptakan mereka untuk saling melengkapi. Hehe…

Ah tentu paparan di atas tidak mutlak benar, semua kembali ke diri kita juga yang menjalaninya. Namun memang, kita mendapati kasus di lapangan dominan seperti itu. Benar?

Kalau begitu, sekarang kita akan bahas satu per satu pertanyaan adek kelas saya itu.

Pertanyaan pertama, tentang kerja-kerja ikhwan yang sudah melesat jauh meninggalkan akhwatnya yang masih berkutat dengan hal-hal “sepele rumah tangga organisasi” (sepele menurut pandangan beberapa orang saja tentunya), mungkin disebabkan karena perbedaan pola pikir yang saya sebutkan sebelumnya. Ikhwan memang cenderung berpikir jauh ke depan, imajinasi mereka tentang suatu hal terkadang memang jauh lebih cepat dibandingkan kita para akhwat. Namun, peran akhwat sebenarnya juga penting dalam hal ini, dengan sifat mereka yang detail terhadap program-program yang sedang dijalankan, seharusnya kita para akhwat mampu menciptakan nuansa yang harmoni dengan partner kita (ikhwan). Ketika mereka memikirkan rencana-rencana dakwah hingga jauh ke depan, maka kitalah yang harus membuat program-program itu berjalan sempurna dengan detail-detail yang kita pikirkan bersama (bersama lo yaa…). Sifat akhwat yang teliti dan ikhwan yang bervisi jauh ke depan mampu membuat kerja sama ini menciptakan pergerakan dakwah yang rapi dan memiliki nilai masa depan yang juga baik.

Nah, lalu bagaimana cara mengharmoniskan kerja sama itu?

Poin pertama dalam hubungan antar manusia, yaitu komunikasi. Ya, maka perbaikilah komunikasi sesama kita. Jangan-jangan “ketertinggalan” akhwat disebabkan karena komunikasi yang kurang efektif antara kedua belah pihak. Kalau memahami bahwa program-program dakwah ini adalah amal jama’i, maka sudah seharusnyalah dikerjakan secara berjamaah, caranya adalah dengan memperbaiki komunikasi kita. (Ahh…kalau tentang bagaimana teknik-teknik berkomunikasi yang efektif dalam organisasi dakwah, bukan saya sepertinya yang pantas membahasnya).

Poin kedua yang bisa dijadikan masukan juga mungkin adalah selalu mengingat kesamaan visi / tujuan kita sejak awal. Karena menurut saya, jika tujuan sudah seragam, maka ikhwan dan akhwat akan menggenggam “peta” yang sama untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian tinggal bagaimana kita membahas persiapan dan rencana-rencana untuk menelusuri “peta” tersebut secara bersama-sama.

Mungkin sudah seharusnyalah kita memahami perbedaan karakteristik ini dengan bijak, dan memanfaatkannya untuk kemajuan dakwah. Selain itu, jika memang “ketertinggalan” akhwat adalah disebabkan karena akhwat yang cenderung lambat dalam bergerak, atau ikhwan yang terlalu terburu-buru, maka tolong dievaluasi saja. Jangan lupa bahwa kita satu keluarga, SATU RUMAH DAKWAH. Berlomba-lomba dalam kebaikan sih benar, tapi kita punya program bersama, tujuan besar yang sama, jadi BER-AMAL JAMA’I-LAH!!

Ok?

Untuk pertanyaan kedua, tentang regenerasi ikhwan yang lebih cepat dibandingkan akhwat. Banyak faktor…

Dua di antaranya yang saya pikir sesuai dengan kondisi dakwah Un… (*sensor); jumlah ikhwan yang minim menyebabkan mereka “terpaksa” harus bekerja ekstra keras dalam merekrut dan membina kader baru. Karena kalau tidak demikian, akan banyak pos-pos dakwah yang tidak terisi ikhwan-ikhwan kompeten. Alasan lain, bisa saja hal ini juga disebabkan kepercayaan mereka yang besar kepada kader-kader baru untuk menempati amanah-amanah dakwah. Maka jika banyak error dalam prakteknya nanti, wajar saja…namanya juga masih belajar (dalih ikhwan begitu biasanya). Tapi jangan salah, penjagaan mereka juga luar biasa lo terhadap kader-kader baru yang mereka “lepas” di berbagai amanah tersebut. Kita percayalah pasti akan ada sistem penjagaan dan evaluasi yang memback-up keputusan ikhwan. Jika kita rasa belum ada (atau belum memuaskan), maka bukankah kewajiban kita juga untuk mengingatkannya? Dan mengevaluasinya secara bersama. Lagi-lagi jangan lupa bahwa, KITA SATU KELUARGA DAKWAH.

Oya, sebenarnya masing-masing dari kita bisa belajar dan mengambil hikmah dari perbedaan-perbedaan tersebut. Jadi, ketika dalam perjalanan kebersamaan ini banyak perbedaan, baik dari sikap atau perilaku, apalagi dari segi pemikiran, cobalah menjadi “orang luar” yang melihat permasalahan ini dari luar lingkaran organisasi dakwah kita, maka Insya Allah kita akan lebih bijak menyikapinya, karena kita akan lebih netral dalam bertindak, tidak berpikir saya akhwat dan kamu ikhwan. Semoga dengan begitu, perbedaan malah akan memperkaya potensi keluarga dakwah kita.

………………….

Sungguh ulasan ini masih jauh dari sempurna. Banyak membaca, banyak berdiskusi, akan memperkaya pengalaman kita, Insya Allah…

Dan sejatinya, pengalaman itulah guru yang paling berharga, ya kan?! ^^b

Konten ini telah dimodifikasi pada 16/10/12 | 11:59 11:59

Mahasiswi S2 Farmasi ITB 2012.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...