Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Konsekuensi Cinta Nabi SAW

Konsekuensi Cinta Nabi SAW

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
(KISS FM Aceh)

dakwatuna.com – Nabi Muhammad SAW telah meninggal 14 abad yang lalu. Jasadnya terjaga dan pasti dijaga oleh Allah SAW, sebagaimana Allah juga menjaga namanya tetap dikumandangkan dan terus digandengkan bersama Nama-Nya. Begitu juga Allah menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Dan Allah SWT menjamin itu semua.

Film-film dan media yang belakangan banyak menghina dan mencaci Nabi Muhammad SAW sejatinya bukan untuk menghina Nabi directly, mereka tahu bahwa Nabi telah wafat. Jadi bukan tujuan mereka untuk menghina yang telah tiada. Ya memang bisa dikatakan begitu tujuannya, tapi yang lebih menjadi target ialah menyulut api kemarahan umat Muhammad SAW itu sendiri. Memancing emosi umat Islam.

Film IOM yang berkualitas sinematografi buruk dengan hasil dubbing jelek dan juga kualitas gambar ecek-ecek itu setidaknya berhasil mengobok-ngobok perut umat Islam di dunia (walaupun cuma 50% nya saja) sehingga mengekspresikan kemarahan atas penghinaan yang dilakukan terhadap Nabi tercinta. Di beberapa negara korban berjatuhan, kerusuhan terjadi menggeliat hampir di seluruh negara berbasis muslim. Dan memang ini yang diinginkan oleh mereka.

Semakin banyak keributan yang menjurus ke anarkisme soal menanggapi film jelek tersebut, justru akan melegitimasi kampanye mereka yang bilang kalau muslim itu anarki. Mereka semakin senang karena semakin nyatalah apa yang selama ini mereka opinikan, padahal jelas Islam tidak begitu. Emosi yang tidak terkontrol dengan baik, pasti berujung pada hasil yang sangat buruk, siapa pun dia orangnya, tanpa memandang agama yang dianut.

Jangan Marah! Hah?

Justru ini pernyataan yang keliru, sangat keliru. Bagaimana bisa seorang yang mengaku beriman kepada Allah SWT dan mengaku cinta agama Islam tapi menanggapi pencitraan buruk serta penghinaan terhadap kehormatan agamanya sendiri dia diam saja, dan bilang “cuek aja lah”.

Kemarahan adalah suatu keniscayaan lazim yang akan timbul dari dalam jiwa seorang yang mengaku cinta dan beriman. Tidak disebut cinta dia yang tidak marah ketika orang yang dicintainya mendapat hinaan dan ejekan. Mana cintanya kalau begitu. Penghinaan kepada Nabi itu berarti penghinaan kepada kehormatan agama yang juga berarti penghinaan kepada Allah SWT. Jika diam saja, apa artinya beriman?

Tapi menjadi keliru juga kalau hanya berhenti sampai marah saja! Cintanya hanya kalau Nabinya dihina, ini juga keliru! Sama saja seperti kebanyakan orang Indonesia yang marah tidak kepalang ketika mendengar ada budaya negerinya yang diakui oleh negara tetangga. Padahal seumur-umur dia tidak pernah tahu ada budaya itu di Indonesia, gayanya lebih suka kebarat-baratan dengan dandanan ala artis Hollywood, barang yang dipakai pun bermerek luar negeri, malu kalau make merek dalam negeri. Bahasanya pun sok-sok Inggris, tidak lisan tidak tulisan ditweet atau socmed lainnya, mencibir kalau lihat mereka yang sedang gigih melestarikan budaya daerah masing-masing.

Tapi ketika tahu itu diakui negara lain dia marah sejadi-jadinya seakan-akan dia paling cinta dengan negerinya sendiri. Kemarin-kemarin ke mana aja mas? Hmmm cinta macam apa yang seperti ini?

Muslim tidak seperti itu. Cintanya kepada Nabi SAW itu suatu konsekuensi keimanan kepada Allah. Mengaku cinta kepada Allah, ya harus cinta Nabi-Nya (lihat Ali Imran 31). Dalam al-Quran nama Allah selalu bergandengan dengan nama Nabi-Nya. Perintah imam dan taat kepada Allah selalu bergandeng dengan Perintah serupa kepada Nabi-Nya. Jadi tidak disebut iman kalau cuma hanya sepihak. Seperti orang Yahudi yang beriman kepada Allah tapi tidak mengakui Nabi Muhammad, mereka itu “maghdub” (yang dibenci/laknat). Dan juga “Dhollun”(yang sesat) yaitu orang-orang Nasrani yang mengimani Allah tapi mereka juga mengakui Isa Alayh Salam sebagai Tuhan.

Jadi kemarahan ketika simbol agama dipermainkan itu suatu keniscayaan atas sebuah keimanan. Yang tidak marah, justru mereka itulah yang patut dipertanyakan keimanannya. Tapi kemarahan itu tidak sampai menjurus ke anarki, karena sedikit pun tidak ada kata “anarki” dalam kamus syariah. Apalagi sampai membunuh.

Nah kecintaan itu sebaliknya tidak berhenti pada kemarahan semata. Justru kecintaan itu harus diimplementasikan dengan semakin giatnya kita mempelajari kehidupan kanjeng Nabi yang kita cintai tersebut. Tak ada gunanya koar-koar sana sini marah dan mengaku cinta kepada Nabi tapi ketika ditanya “siapa paman Nabi yang terus menerus membela dakwah nabi?” Terus diam diam saja karena tak tahu apa jawabannya! Cinta yang palsu!

Nah momentum kemarahan ini sebaiknya dan memang seharusnya menjadikan kita lebih mengetahui dan mendalami siapa itu sosok yang kita bela. Karena bagaimana bisa kita mengatakan “saya cinta laila”, padahal sama sekali kita tidak tahu siapa itu Laila, rumahnya di mana? Asli mana? Anak siapakah Laila itu?

Disadari atau tidak, banyak dari pemuda muslim yang sama sekali tidak tahu sejarah Nabi nya, bagaimana kehidupannya dan bagaimana tingkah laku juga kepribadian luhurnya, siapa keluarganya? Ketika ditanya “sebutkan 3 pemain klub MU?” Dia akan jawab sebelas pemain klub tersebut beserta 7 pemain cadangannya dan juga pelatihnya, bahkan nama stadionnya pun tidak dilupakan. Tapi ketika ditanya “sebutkan 2 anak laki-laki Nabi?” Satu pun tak bisa dijawabnya. Ini kan miris. Mengaku cinta, berdiri paling depan kalau demo anti Amerika, paling ketus kalau membela jamaah pengajiannya yang berlabelkan “muhibbur-Rasul”, tapi pengetahuan nihil soal Nabi SAW! Bagaimana bisa?

Para Ulama mengatakan: “Al-Ma’rifatu Asasul-Mahabbah”. Pengenalan itu pangkal dari Cinta. Karena itu kita harus kenal Nabi SAW.

Ayo kembali kita mempelajari sirah (sejarah) Nabi SAW. Buka kembali lembar-lembar sejarah Islam. Datangi pengajian dan majelis-majelis produktif, bukan yang isinya cuma gunjing sana sini. Pelajari kehidupannya, resapi nilai-nilainya, tanamkan dalam diri keteladanannya, hidupkan sunnahnya, sebarkan ajarannya. Dengan begitu kita menjadi muslim yang insya Allah telah mendapat janji beliau SAW:

“Siapa yang menghidupkan sunnahku, berarti ia cinta kepada ku, siapa yang cinta kepada ku, bersama ku nanti di surga” (HR. Tirmidzi)

Saya mengajak diri pribadi juga pembaca sekalian yang budiman, ayo Periksa kembali, apakah kita benar-benar telah menjalankan sunnahnya SAW. Sudahkah kita hidup sesuai petunjuknya, benarkan cinta kita kepada Allah dan Rasul menjadi cinta dari segala cinta kita?

Sebaik-baik pedoman itu Al-Quran dan sebaik-baik teladan itu Nabi Muhammad SAW. Dengan berpegang kepada kitab dan sunnah beliau SAW. Niscaya musuh-musuh Islam pun takut kepada kita karena keteguhan kita berpegang kepada keduanya. Insya Allah.

Wallahu A’lam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 9.75 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa. Lahir di Jakarta tahun 1989.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization