Seperti Ketersadaran Ali

Ilustrasi. (dreamstime.com)

dakwatuna.com – Dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib berhasil melumpuhkan musuhnya. Jika ingin, mudah saja baginya mengayunkan pedang guna memenggal kepala lawannya. Namun tak ia lakukan itu. Mengetahui Ali tidak segera bertindak, musuh Allah tersebut justru meludahi wajah Ali. Sungguh ejekan yang menghinakan.

Diperlakukan demikian, Ali naik pitam. Alih-alih menghabisi lawannya, Ali justru menurunkan pedangnya. Ia urung memenggal. “Mengapa engkau tak jadi memenggal kepalaku?” tanya musuhnya heran.

“Ketika aku menjatuhkanmu, aku ingin membunuhmu karena Allah. Akan tetapi ketika engkau meludahiku, maka niatku membunuhmu karena marahku kepadamu.” tukas Ali.

Jika dicermati, alangkah mudah bagi Ali bin Abi Thalib untuk memenggal musuhnya. Posisi Ali begitu memungkinkan. Saat itu sedang perang, ia berang, dan punya pedang. Sementara lawannya tersungkur di bawahnya tanpa harapan. Tunggu apa lagi? Tapi Ali tak melakukan itu.

Betapa Ali mengajarkan kepada kita tentang pentingnya arti sebuah ketersadaran. Karena memang seperti itulah semestinya seorang muslim, selalu dalam keadaan sadar. Sadar terhadap segala aspek hidupnya. Baik perbuatannya, perkataannya, pemikirannya, dan lainnya. Ketersadaran inilah yang kemudian melahirkan kondisi keterkendalian yang tidak hanya terlihat pada amalnya secara zhahir, tetapi juga jauh dari pada itu, mengendalikan aspek terpenting dari amal itu sendiri: niat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Innamal a’malu binniyat,” setiap perbuatan tergantung niatnya. [HR. Bukhari dan Muslim]

Membunuh dalam peperangan mungkin saja biasa. Lumrah. Tapi Ali menunjukkan sikap berbeda, di mana ia terjun dalam peperangan bukan lantaran ingin membunuh, tetapi untuk mempertahankan hak-hak Islam di muka bumi ini, semata karena Allah. Kalaupun harus membunuh, ia membunuh karena perlu, bukan karena ingin. Ia sadar itu.

Begitu pun kita. Mungkin banyak di antara kita yang membuka mata, tapi belum tentu menjamin ketersadarannya. Banyak kita yang beramal, tapi belum tentu sadar mengapa dan untuk apa kita melakukannya. Itu sebabnya mengapa bisa ada amal-amal yang tampak serupa pada mulanya, tapi justru memiliki kesudahan yang berbeda.

Ada orang-orang yang shalat khusyuk karena ikhlas kepada Allah, tapi ada juga yang khusyuk dibuat-buat lantaran temannya melihat. Ada wanita yang berjilbab karena sadar perintah agama untuk menutup aurat, tapi ada pula yang memahaminya sekadar tuntutan fashion. Ada yang berpuasa tidak makan karena iman, tapi tidak sedikit yang melakukannya karena alasan kesehatan dan penghematan. Ada yang berani berbohong untuk kebaikan orang banyak, tapi lebih banyak yang berbohong untuk penipuan. Ada yang meminta maaf disebabkan tulus menyesal, tapi banyak juga karena formalitas. Ada yang beramal karena paham dan sadar, tapi ada juga yang karena fanatik atau sekadar ikut-ikutan.

Orang yang memiliki ketersadaran yang baik, dan selalu menjaga ketersadarannya itu, akan mendapati perjalanan hidup yang jelas. Dirinya tak akan gamang memilih pilihan mana yang akan ia pilih karena parameter tujuan hidupnya sudah jelas, yakni mencari ridha Illahi. Manakala dirinya menjaga ketersadarannya ini, dirinya akan memiliki keterhati-hatian dalam bersikap. Itulah ranah takwa yang ia jalankan, sebagaimana jawaban Ubay bin Ka’ab tatkala ditanya oleh ‘Umar bin Khattab tentang apa itu takwa.

“Jikalau kau melintasi jalan yang penuh duri di kanan, kiri, depan, atau belakang, apa yang akan kau lakukan?”

“Sudah tentu akan berhati-hati agar tidak terkena duri.” jawab ‘Umar bin Khattab.

“Itulah takwa.” jawab Ubay bin Ka’ab singkat.

Ya, keterhati-hatian merupakan ekspresi ketersadaran yang terpancar dari keimanan yang benar. Dari iman itulah seseorang akan berhati-hati dan menjaga ketersadarannya selalu. Dirinya selalu mengupayakan agar sadar di awal, tengah, bahkan hingga akhir dari sebuah amal, juga hingga akhir hayatnya. Yang karena demikian itulah mereka kelak mendapatkan kesudahan hidup yang baik. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [QS. 3: 102]

Ali marah karena diludahi, itu sangat manusiawi. Siapa pun pasti marah bila wajahnya diludahi. Namun masalahnya, kesabaran memunculkan pikiran yang jernih untuk dapat memilih, mana sesungguhnya jalan kemuliaan dan mana jalan kehinaan. Antara membunuh karena Allah atau membunuh karena nafsu. Alhasil, ia urung memancung. Jika saja ia tetap melakukannya karena emosi, maka ia tak ubahnya pembunuh-pembunuh jahiliyah.

Dan ia tak ingin seperti itu. Ia sangat sadar tentang itu. Dan Ali menjaga ketersadarannya itu. Karena ia sadar, mengapa berperang dan untuk apa ia menyerang.

Marah, sedih, dan segala bentuk nafsu juga merupakan sisi fitrah manusia. Islam mengajarkan kita, bahwa adanya nafsu bukan untuk dihilangkan sama sekali, tapi untuk dikendalikan. Seperti marah boleh, tapi marah-marah itu yang tidak boleh. Saat di mana nafsu menyeruak, di situlah kesabaran memainkan perannya agar kita tidak melenceng dalam menjalani hidup. Itu sebabnya pertarungan hati kerap terjadi. Antara nafsu (weaknesses) dan bisikan setan (threats), melawan akal sehat serta suara hati (strengths), dan nilai-nilai Islam (opportunities) yang kita pahami untuk mendapatkan ridha Illahi. Siapa yang kuat ketersadarannya, sudah tentu baik keterkendaliannya. Sebaliknya, yang lemah ketersadarannya memiliki keterkendalian yang bias. Sehingga pada titik tertentu, baik atau buruk suatu amal ia timbang melalui kaca matanya yang subjektif.

Ya, semua bermula dari kesabaran. Karena sabar artinya sadar. Sadar artinya memiliki peluang besar dalam keterkendalian, yang mana mampu mengarahkan dirinya kepada pilihan-pilihan yang benar, termasuk pilihan motif, sebab, atau niat ketika di permulaannya.

Niat yang benar adalah niat bebas dari hal-hal lain yang mengikatnya. Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Ahmad ar-Rasid dalam buku ar-Raqaa`iq, al-Buhturi mengungkapkan tentang niat yang bebas, “Yaitu bebas dari hawa nafsu, ambisi dan kepentingan, tidak diperbudak oleh materi dan tidak pula oleh kecantikan wanita, serta tidak pula diperhamba oleh kedudukan maupun oleh ambisi pribadi.”

Niat yang bebas tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang yang ikhlas. Karena pada orang yang ikhlas terdapat jiwa yang bebas. Jiwa yang bahagia. Bahagia karena bebas dari segala rasa dunia yang membuatnya duka dan hina. Dirinya bebas tanpa usikan apapun, apalagi hanya karena nafsu amarah yang terkesan remeh temeh.

Mereka sadar mengapa dan untuk apa ia hidup. Mereka pun sadar hendak ke mana hidupnya melaju. Itulah yang membuat mereka mampu bernapas lepas. Tanpa beban. Saat memiliki kelebihan, mereka sadar itu dari Allah. Karenanya mereka senang. Di sisi lain, tatkala terdapat kekurangan, mereka pun sadar ada Allah yang Maha Mencukupkan. Karenanya mereka tenang.

Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”” [QS. 41: 30]

Mereka memiliki keyakinan (iman) itu lantaran mereka memiliki kepemahaman (ilmu). Kepemahaman itu kemudian melahirkan keteguhan (istiqamah) di diri mereka. Dan sadarilah, sulit kiranya seseorang menjaga keistiqamahannya manakala tidak menjaga ketersadarannya selalu. Saat bangun tidur, mereka segera sadar apa yang harus mereka lakukan (untuk Allah). Ketika mereka hendak bekerja, mereka sadar mereka bekerja untuk menghidupi keluarga, dan itu pun didasari karena Allah. Ketika berangkat mengaji, mereka sadar itu untuk dan karena Allah, bukan karena ada teman-teman dan guru yang asik. Dan lain sebagainya.

Bahkan tak perlu terlalu jauh, dalam amal-amal kecil saja mereka berusaha menjaga ketersadarannya. Kala hendak ke kamar kecil, memakai sandal, bersin, menguap, membuang sampah, memberi komentar atau status di sosial media, dan lain sebagainya. Tidaklah mereka melakukan semua itu melainkan dengan ketersadaran muraqabatullah. Pikiran pertama kali di benak mereka saat melakukan amal-amal itu adalah Allah. Kemudian mereka sadar untuk menjalaninya dengan sunah yang diajarkan Rasul, semata untuk mendapatkan ridha Allah.

Mari mulai sekarang kita mengawali setiap amal kita dengan sadar, sebagaimana ketersadaran Ali. Bahkan tidak hanya di awal, tapi juga menjaga ketersadaran itu sampai akhir hayat kita. Kelak, di antara semua itu, hanya yang memiliki permulaan yang benarlah yang kemudian merasakan kesudahan yang baik.

Allahu a’lam…

 

 

Konten ini telah dimodifikasi pada 06/09/12 | 15:16 15:16

Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Staf Ahli Kaderisasi Lembaga Dakwah Kampus Syahid UIN.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...