dakwatuna.com – Sudah beberapa hari ini pemberitaan di media selalu saja tentang kekerasan. Dari mulai bentrokan antar siswa, antar warga, antar pedagang hingga antar kelompok pemuda. Baru saja kasus penyerangan warga di Cirebon, muncul lagi bentrokan antar kelompok di Cengkareng kemarin. Motifnya pun beragam, dari dendam lama, sengketa lahan hingga gesekan mengatasnamakan agama. Selain mengalami kerugian material, yang menyedihkan sampai timbul korban jiwa.
Ironis memang melihat kenyataan yang terjadi di sekitar kita. Kejadian di negeri yang katanya menjunjung tinggi keberagaman dan keadilan. Di negeri yang kata elok bahasanya, santun tingkahnya dan ramah-ramah orangnya. Di negeri yang katanya religius masyarakatnya bahkan sila pertama di dasar Negara ini berbunyi Ketuhanan yang maha esa. Tapi kenapa bisa terjadi seperti itu??
Kompleks ternyata apa yang terjadi di masyarakat kita. Dasar-dasar Negara yang sudah disusun oleh para founding father, tidak dijalankan dengan baik oleh para penerusnya. Perjuangan yang sudah susah payah bahkan berkorban jiwa dan raga, disia-siakan oleh kita. Makna perjuangan yang seharusnya diisi bersama-sama mewujudkan mimpi, tapi kok malah saling sikut. Belum lagi permasalahan bobroknya norma dan moral semakin menambah kekeruhan di masyarakat kita. Bahkan bobroknya sendi-sendi norma dan moral ini dimanfaatkan oleh beberapa golongan untuk konspirasinya.
Melihat keadaan seperti ini, sulit memang untuk berkata kapan negeri ini damai? susah berkata kapan negeri ini aman? kapan negeri ini makmur juga sejahtera? Tapi, bukan tidak mungkin tidak bisa terwujud. Harapan itu masih ada untuk mewujudkan negeri ini damai, aman, makmur juga sejahtera. Tidak ada lagi tindak kekerasan yang timbul akibat tidak puasnya masyarakat terhadap kerja dari pemerintah. Kekerasan antar warga, siswa ataupun yang mengatasnamakan agama. Jika semua elemen yang ada di negeri ini sadar akan pentingnya hidup rukun berbangsa dan bernegara.
Ada sentilan kecil dari seorang plagmatis yang mengatakan “semakin sedikit perbedaan maka akan mudah untuk mendamaikan dan juga merukunkan”. Apakah yang ini benar?? Terkadang memang kata-kata ini bisa saja diambil, tetapi tidak juga benar. Salah satu contoh yang bisa diambil adalah konflik berkepanjangan di semenanjung korea. Jika melihat tersebut, semuanya satu rumpun, satu bahasa dan satu kebudayaan. Tetapi mereka hanya dipisahkan oleh hasil dari perang dunia, oleh ideology yang berbeda. Hingga kini, setelah lebih dari 60 tahun perang dunia II usai kedua Negara tersebut masih saja bersitegang. Ancaman perang pun sering kali dilontarkan oleh kedua belah pihak.
Lalu bagaimana dengan negeri kita?? Berbeda dengan yang terjadi di semenanjung korea negeri kita malah sebaliknya. Rakyat yang tadinya tersekat-sekat oleh suku, bahasa juga agama bersatu mengusir penjajah dan memerdekakan negeri Ini. Sangat kontras, negeri ini jadi bisa bersatu meskipun banyak sekali perbedaan di masyarakatnya. Pada waktu itu masyarakat kita tidak mempedulikan perbedaan, mereka bersama-sama berjuang untuk negeri ini. Semangat kebersamaan di atas perbedaan inilah menjadikan negeri ini kuat. Hingga dibuatlah semboyan negara “Bhineka tunggal ika” yang artinya “walaupun berbeda-beda tetap satu” untuk mengabdikan semangat ini.
Masih pertanyaan klasik, lalu kenapa negeri kita sekarang bisa seperti ini?? Dari kacamata Islam yang mencakup semua aspek kehidupan. Ada beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut. pertama adalah ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negeri ini. Kedua adalah system pemerintahan juga demokrasi yang terlalu kebablasan. Ketiga peran keluarga dalam pendidikan anak terhadap nilai-nilai agama sangat kurang. Keempat system pendidikan yang terlalu menjenuhkan. Kelima peran serta para tokoh masyarakat dan tokoh agama masih kurang optimal.
Ada yang salah jika suatu Negara yang kaya raya SDAnya, tetapi miskin rakyatnya. Maka yang salahnya adalah pengelolaan dari pemerintah yang mengelolanya. Bukan hanya pengelolaan SDA saja tetapi pemerintah juga berperan untuk mengembangkan SDMnya menjadi SDM yang unggul di berbagai aspek kehidupan. Ketidakmampuan ini dikarenakan oleh kemampuan orang-orang pengelolanya tidak teruji secara benar-benar.
Sebenarnya permasalah ini saling berkaitan dengan permasalahan yang kedua. Sistem pemerintahan demokrasi sekarang ini terlalu kebablasan dan liberal. Dengan system yang seperti ini memungkinkan seorang yang tidak bisa apa-apa dan hanya ingin kekuasaan bisa saja menjadi pengelola Negara. Yang terpenting adalah suara pendukungnya banyak. Kemudian dengan system demokrasi (pemilu), rakyat bisa memilih langsung siapa yang akan menjadi wakilnya di pemerintahan. Ada beberapa pendapat yang mendukung system seperti ini. Kata mereka dengan system seperti itu maka rakyat akan langsung bisa memberikan amanah pada wakilnya. Dan jika ternyata harapan rakyat tidak sesuai, rakyat bisa dengan jelas menuntut pada wakil yang telah dipilihnya. Bisa saja seperti itu, tetapi ada celah yang ditinggalkan dari system seperti itu. Yaitu orang-orang yang tidak teruji dalam partai politik bisa menjadi wakil rakyat dengan modal uang dan popularitas. Hal ini kini terjadi, dengan berbagai keuntungan yang mungkin bisa didapat jika menjadi wakil rakyat. Banyak dari kalangan artis dan juga pengusaha berhaluan ramai-ramai menjadi wakil rakyat. Padahal mereka hanya bergabung dengan parpol hanya pada saat menjelang pemilu saja. Secara kapasitas mengurus partai, mendapat pendidikan politik dari partai dan pengabdian pada masyarakat belum teruji. Tetapi karena perolehan suaranya banyak, mereka jadi terpilih.
Kemudian kalau seperti itu apa system demokrasi pemilu yang dulu harus dikembalikan??? sebenarnya tidak juga bisa menjamin dengan system dulu bisa memperbaiki. Walaupun wakil rakyat yang terpilih adalah kader terbaik dari partainya, belum bisa menjadi jaminan. Jika system pendidikan politik dan pengkaderannya tidak benarnya dijalankan dengan baik. Ataupun karakter dan sifat kader tersebut tidak sesuai untuk mengemban amanah sebagai seorang wakil rakyat meskipun dia aktif di partainya. Karena tidak bisa dipungkiri background dari partai-partai politik tersebut berbeda-beda. Ada yang beraliran nasionalis dan juga agama. Sebenarnya tidak jadi masalah jika nasionalis. Karena pada hakikatnya nasionalisme Indonesia tidak hanya melulu tentang tanah air. Tetapi pancasila yang di mana sila Pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa (agama). Kembali, tetapi apakah penerapan pendidikan keagamaan dimasukkan kepada pendidikan politik dari parpol untuk para kadernya??
Untuk itu jika parpol tersebut adalah nasionalis maka harus benar-benar mengamalkan Pancasilanya. Kemudian jika parpolnya islamis, maka sudah menjadi hal yang sakleuk harus diamalkan Islamnya secara kaffah. Ada beberapa pendapat keliru terhadap pemahaman bahwa masalah kenegaraan tidak boleh membawa agama (sekularisme). Untuk agama lain mungkin tidak ada pembahasan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga muncul anggapan seperti itu. Tetapi Islam berbeda. Islam adalah agama yang tidak hanya membahas tentang penghambaan manusia terhadap Tuhannya saja (habluminallah), tetapi juga tentang sosial kemasyarakatan juga kenegaraan (habluminannas). Semua itu tertuang dalam kitab Suci Al-Quran. Dan sebagai contoh kongkret bahwa Islam itu mencakup semua aspek kehidupan adalah pengamalan Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi saw tidak hanya seorang guru spiritual, tetapi beliau adalah seorang negarawan, pemimpin Negara, panglima perang, pengusaha sukses, olahragawan, bahkan suami yang baik bagi keluarganya. Hingga Michael heart yang notabene seorang non-muslim menempatkan Rasul saw sebagai seorang manusia tersukses sepanjang masa. Namun sayang pemahaman tentang Islam yang universal dan mencakup semua aspek kehidupan ini justru kebanyakan juga tidak dipahami oleh orang Islam itu sendiri.
Hal yang wajar saja jika kebanyakan orang muslim di negeri kita berpemahaman seperti itu. Karena negeri kita sudah lama dijajah oleh bangsa lain yang tidak menginginkan bangsa kita bangkit. Bahkan dahulu Belanda menggunakan cara ini untuk menjatuhkan kerjaan Islam paling kuat dan yang terakhir di kuasai oleh belanda. Belanda mengirimkan seorang untuk mempelajari tentang Islam dan berinteraksi dengan orang-orang Islam. Ternyata hasil laporannya adalah jauhkanlah agama dengan pemerintahan. Belanda pun melaksanakannya dan akhirnya kerajaan Aceh jatuh. Begitu pun dengan kejatuhan Kekhalifahan ottoman.
Sehingga pemahaman ini haruslah dilaksanakan. Dan untuk melaksanakan ini bisa menjawab dari masalah yang ketiga yaitu peran keluarga dalam pendidikan anak terhadap nilai-nilai agama sangat kurang. Keluarga adalah sarana pertama untuk seorang manusia belajar. Jika dalam keluarganya tidak diajarkan agama dan norma-norma sosial, maka bisa ditebak bagaimana nanti jika sudah besar. Faktor keluarga menjadi sangat penting dalam perkembangan seorang manusia. Maka dari itulah bekali anak-anak dengan nilai-nilai Islam. Dan jika kita belum berkeluarga maka menjadi kewajiban bagi kita untuk belajar dan mengamalkan agama kita.
Kemudian tidak hanya cukup dengan pendidikan di keluarga. Pendidikan selanjutnya adalah pendidikan di bangku sekolah. Selain untuk belajar tentang pelajaran adiktif, secara tidak langsung manusia juga belajar tentang kehidupan. Mereka belajar untuk bersosialisasi satu sama lain dan belajar akan berbagai hal. Namun sayangnya system pendidikan di negeri kita saat ini terlalu menjenuhkan dan budaya kekerasan masih ada. Bahkan di tataran pendidikan tinggi sekarang sudah liberal dan sekuler yaitu dengan adanya Badan hukum pendidikan dan jatah sks untuk matakuliah kognitif hanya sedikit.
Menjenuhkan di sini, adalah tidak ada ruang untuk mengembangkan pelajaran yang diminati siswa. Siswa dijejali banyak sekali pelajaran, yang mungkin bagi sebagian siswa sangat membosankan. Sehingga tidak jarang untuk mengatasi kebosanan ini siswa mencari pelarian yang mereka enjoy dengan hal itu. Missal mereka bolos hingga mencari pelarian dengan narkoba. Jika system pendidikan di negeri kita belum mampu untuk itu, maka ada solusi selanjutnya. Yaitu dengan pemberian lahan untuk penyaluran minat dan bakat mereka sekaligus sebagai sarana pendidikan karakter. Yaitu dengan ekstrakurikuler dan pendampingan BP/BK yang optimal.
Tetapi untuk membentuk siswa yang tidak berbudaya kekerasan, maka hal itu tidaklah cukup. Karena terkadang ekstrakurikuler juga bisa menimbulkan kekerasan. Misal pada saat masa orientasi masih ada ditemukan kasus kekerasan dan perpeloncoan yang dilakukan oleh siswa senior terhadap juniornya. Kasus terakhir adalah yang menimpa siswa di sekolah Don Bosco. Maka solusi yang paling tepat adalah dengan cara pendidikan pendekatakan. Sudah dijelaskan sebelumnya adalah kekerasan dipicu dengan kurangnya pemahaman dan pendidikan akan nilai-nilai agama dan norma sosial. Untuk itu di sekolah pun harus diajarkan. Namun kembali, sayangnya hanya sekadar teori di bangku kelas saja (jenuh, bosan) apalagi dengan kesan bahwa guru agama itu keras. Apalagi system pendidikan di Indonesia yang sekuler (memisahkan antara pendidikan formal dan pendidikan agama).
Sesuai dengan pendidikan pendekatan sebaya tadi, pendidikan agama bisa dipraktekkan dengan pendekatan personal. Maksudnya pendekatan sebaya ini adalah dengan sarana mentoring agama Islam. Di mana setiap siswa berkelompok dan belajar agama secara beda dan menyenangkan dengan bantuan seorang mentor. Mentor bisa saja kakak kelasnya ataupun alumni yang masih peduli dengan adik-adik kelasnya. Tentunya mentor di bawah koordinasi dan pengawasan dari guru agama juga guru BP/BK.
Kemudian jika ternyata usaha-usaha di atas masih tidak bisa mengatasi budaya kekerasan. Maka di sinilah peran serta masyarakat, tokoh masyarakat dan tokoh agama dibutuhkan. Secara praktis untuk mencegah bisa kepada anak-anak sekolah. Misalnya jika melihat ada siswa sekolah yang merokok, bolos sekolah, bahkan sampai tawuran maka tegurlah dan berikan contoh terbaik. Bagaimanapun juga meskipun bukan anak kita, saudara kita ataupun murid kita tetap mereka adalah tanggung jawab kita bersama. Bagaimana bisa menengahkan konflik seorang yang sudah dewasa, kalau kepedulian anak anak-anak penerus bangsa tidak ada.
Sehingga kembali hal yang paling mendasar, tentang permasalahan yang terjadi sekarang adalah hilangnya sendi agama dan norma sosial dari masyarakat kita. Untuk itu perlu ada rekonstruksi pembinaan agama dan norma sosial terhadap anak-anak penerus bangsa. Dari mulai diri sendiri, keluarga, sekolah, masyarakat hingga pemerintah. Keluarga dengan pembinaan di keluarganya, pemerintah dengan kebijakannya, sekolah dengan pelaksanaan teknisnya dan masyarakat dengan pengawasannya. Sehingga jika rekonstruksi pembinaan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dilakukan secara bertahap. Maka tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, dengan generasi baru negeri kita akan bebas dari kekerasan. Semoga, tidak ada yang tidak mungkin semua bisa terjadi atas kehendakNya jika kita berusaha dan bersama-sama menyadari akan pentingnya hidup berbangsa dan bernegara.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: