Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Cara Unik Naila Berkomunikasi

Cara Unik Naila Berkomunikasi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Tulisan dari Naila. (Dasnah)

dakwatuna.com – Apa yang terlintas di benak Anda jika aku bertanya tentang arti unik? Apakah Anda akan berkata bahwa unik itu ‘berbeda’, ‘lain’ daripada yang lain? Ataukah Anda akan mengatakan unik itu ‘langka’, makanya jarang ditemukan? Ah, ada banyak persepsi yang akan muncul. Namun, aku sedikit ingin berbagi cerita, mungkin saja ada inspirasi yang bisa terpetik tentang bocah yang menurutku unik.

Ingin bercerita tentang satu kisah. Kisah seorang bocah yang kuanggap unik. Entah mengapa, tiba-tiba saja jemari ini ingin menari di atas keyboard laptop butut ini. Mungkin saja, ada kerinduan yang tersemat untuk si bocah. Naila, itu namanya. Ia masih kelas O di PAUD. Biasa dipanggil Nail oleh ayah, bunda, dan kedua kakak perempuannya yang masih duduk di bangku SD. Semua bocah pasti menggemaskan, mungkin hal demikian yang terbayang di benak kita. Namun, agak berbeda dengan Naila, gemas itu mungkin akan hilang seketika bila Anda mencoba mengajaknya senyum, namun tak digubris, melihat ke arahmu saja dia pasti enggan, malah ia akan dengan sangat mudah memalingkan muka tanpa berkata sepatah kata pun. Itulah, Naila. Bagiku dia unik karena susah untuk ditaklukkan. Dia tak seperti bocah kebanyakan, yang bila ditawarkan kue, permen, atau mainan, maka bocah itu akan berlari ke arahmu dan meraih barang yang kau sodorkan itu.

Naila, putri bungsu dari pasangan Amru Asykari dan Nurul Zulaiha. Benar-benar membuatku tertantang untuk mengenalnya. Pernah suatu ketika, aku melihatnya sedang berjalan bersama ayahnya, sengaja kudekati dan hendak mencium pipinya. Tetapi, ia malah menghindar sembari membuang muka dan mengeratkan pegangan pada ayahnya. Susah sekali membuatnya tersenyum, gerutuku. Meski aku menyadari bahwa aku juga susah tersenyum, yah, bukan karena aku sombong atau cuek. Hanya kurang berlatih saja. Tetapi untuk anak seusia Naila, bukan tak bisa senyum karena kurang berlatih, melainkan masih dalam tahap memilih.

Seperti kataku di awal, dia anak yang unik. Semakin ingin kau berkomunikasi dengannya, maka dia akan semakin menjauh. Tak perlu terburu-buru untuk mengambil hatinya. Pelan tapi pasti. Sikap cuek bebeknya juga yang makin membuatku makin ingin mendekatinya. Awalnya, akan terasa sangat susah bila terus mengajaknya berbicara, sebab tak ada respon darinya. Malah bagai berbicara dengan tembok. Kata bundanya, Naila memang tidak pernah berbicara dengan orang lain selain dengan ayah, bunda, dan pengasuhnya. Bahkan dengan kedua kakak perempuannya pun mungkin jarang. Menurut ilmu psikologi, anak demikian tentu ada gangguan. Namun, bagiku itu adalah sebuah keunikan.

Naila, bagaimana cara menaklukkannya? Buat ia cemburu, merasa tidak diperhatikan, atau merasa dicueki. Mungkin dengan cara itu, ia akan luluh. Sebab semakin ingin didekati, maka akan semakin ia jauh.

Berjalan sebulan baru kusadari cara yang tepat untuk membuatnya dekat adalah membuat ia cemburu. Tanpa sengaja, tak direkayasa, ide itu muncul sendiri secara alamiah. Aku menjadi guru ngaji untuk kedua kakak perempuannya di rumah. Berawal dari hal itulah, Naila mulai berubah.

Mengajar ngaji kedua kakaknya berarti aku memiliki kesempatan lebih banyak juga untuk berinteraksi dengannya. Yah, meski sekadar memanggil namanya atau malah mengajaknya ikutan ngaji.

Awalnya, Naila masih memiliki tingkah yang sama. Tak ada respon bila diajak berbicara. Bundanya pun acap kali mengatakan, “Nail, ditanya sama Bu Guru, tuh”. Ia hanya melirik sejenak, kemudian berlalu. Namun, lama-kelamaan tingkahnya mulai berubah. Tadinya ia tak berani mendekat, malah ia bersembunyi di kamar bila mendengar suaraku dari luar pintu. Perubahannya pelan tapi pasti. Kira-kira kurang lebih dua minggu, ia berani mendekat, bahkan membukakan pintu bila aku memanggil namanya dari balik pintu. Saat kedua kakaknya mengaji pun, ia mulai berani duduk berdampingan denganku. Sesekali, ia melirikku. Namun, aku pura-pura tak melihatnya. Sesekali aku juga sengaja menginstruksikan sesuatu padanya, meski tak berharap banyak bahwa ia akan melakukannya. Namun, ternyata di luar dugaan. Ia mendengarkan instruksiku, tanpa membalasnya dengan jawaban, ya atau tidak.

Aku ingat pernah menanyakan langsung kepadanya tentang sesuatu, “Nail, liat buku iqro kakak tidak?” Tanpa jawaban, ia membongkar tumpukan buku yang sudah tersusun rapi di lemari ruang tamu. Kemudian, dia berlari menuju kamarnya, mungkin ia hendak mencari buku itu di dalam kamarnya, sebab ia tak menemukannya di rak lemari. Ia memang tak menjawab, tetapi ia bisa menangkap informasi lebih dari yang dibayangkan.

Aku juga teringat, saat aku datang lagi untuk mengajari Kamila ngaji (kakak keduanya), dia belum bersiap, tampaknya masih ada sisa kantuk di wajahnya, pun ia belum mengenakan jilbab, aku bertanya padanya, “Mana Jilbabnya, Kamil?” Tiba-tiba, Naila berlari masuk ke dalam kamarnya kemudian membawa jilbab untuk kakaknya. Karena dia unik, maka cara memberikannya pun berbeda. Ia tak memberikan langsung pada kakaknya, ia malah melemparkan ke arahku.

Aku mulai bisa membaca geraknya. Sebenarnya, ia sudah mulai berkomunikasi. Meski cara yang dilakukannya berbeda. Tak seperti kedua kakaknya yang bila ditanya ini dan itu, maka ia pun akan menjawab ini dan itu. Naila tidak demikian. Butuh proses panjang untuk membuatnya mengangguk.

Satu lagi yang membuatnya tampak berbeda dengan yang lain. Dia punya cara sendiri untuk menerima pesan dari Anda. Salah seorang teman pernah berkata seperti ini padaku, “Wah, mba, kamu hebat bisa akrab dengan Naila.” Ungkapan ini bukan hanya bersumber dari satu atau dua orang, banyak yang berkata seperti itu. Tetapi bagiku hal itu belum cukup selama Naila belum menjawab pertanyaanku dengan “ya” atau “tidak”. Bukan dengan anggukan atau sekadar mengizinkanku menggandeng tangannya. Tetapi, lagi-lagi harus disadari, Naila itu unik. Jangan menyamakannya dengan anak lain yang seusia dengannya. Ia cukup mengangguk bila menerima pesan Anda. Sebaliknya, ia akan menggelengkan kepalanya bila tak setuju dengan Anda.

Bagi seseorang yang belum terlalu dikenalnya, mungkin Naila akan enggan memperlihatkan keunikannya itu. Tetapi, sampaikan saja apa yang ingin kau katakan padanya, sebab ia akan mencerna dan menyimpan dalam memorinya. Bila ia sepaham dengan Anda, kemungkinan besar ia mau mendengarkan Anda.

Perhatikan tulisan yang ada pada gambar di tulisan ini…

Sulit dipercaya kalau bocah sepertinya mampu menuliskan kalimat singkat itu. Tentu tak mudah baginya bila harus mengucapkannya langsung. Melalui surat yang ditulisnya, tersirat makna yang sangat dalam. Naila bukan anak yang susah tersenyum, mungkin saja saat menuliskan surat itu, ia tersenyum simpul. Ia hanya belum mampu menerima lingkungan sekitar, entah berapa lama ia akan beradaptasi dan menerima lingkungan. Tentu tak ada yang tahu. Bisa berkomunikasi dengan orang lain melalui surat saja sudah menandakan ia hanya berada pada tahap memilih. Memilih dengan siapa ia ingin berkomunikasi. Aku memang bukan psikolog yang tahu teori. Aku hanya mengamati dan mempelajari.

Semua itu berawal dari rasa cemburu. Yah, cemburu kalau yang diajak ke mana-mana hanyalah kedua kakaknya, makanya ia pun mencoba menyelipkan dirinya saat aku mengajak kedua kakaknya. Aku memang sengaja tak mengajaknya berkali-kali bila ia sudah membuang mukanya sebab aku tahu, nanti pun ia akan merasa kesepian dan malah memilih bergabung dengan kami.

Ibarat layangan, semakin kau tarik maka makin kuat pula ia bertahan, namun bila engkau mengendorkan tali layangan itu, tentu akan jatuh dan pada akhirnya bisa kau sentuh. Itulah Naila, memiliki banyak keunikan, tak terkecuali cara berkomunikasi.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 9.75 out of 5)
Loading...

Tentang

Fasilitator Komunitas Guru Gugus SGI Dompet Dhuafa. Bantaeng, Sulsel.

Lihat Juga

Mertua Minta Dibangunkan Rumah, Apa Yang Harus Saya Lakukan?

Figure
Organization