Topic
Home / Berita / Perjalanan / Nuansa Lebaran di Negri Seribu Benteng Maroko

Nuansa Lebaran di Negri Seribu Benteng Maroko

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Guntara)

dakwatuna.com – Bicara lebaran tentunya masing-masing orang punya persepsi yang berbeda, mulai dari proses penyambutan, tradisi-tradisi yang ada sampai pada pola hidup masyarakatnya. Dan kalau saya boleh ceritakan perihal lebaran di tanah Magrib ini sangat jauh berbeda dengan di tanah air, seperti tidak ada pawai bedug via kendaraan-kendaraan di malam takbiran, apalagi sampai pesta kembang api.

Kalau dengan Mesir ataupun negara-negara di timur tengah pada umumnya masih ada persamaan. Maklum orang-orang Arab punya gaya yang sama dalam merayakan hari besar umat Islam yang satu ini secara kolektif.

Ala kulli hal malam takbiran di sini terlihat biasa-biasa saja, tidak ada kemeriahan atau yang lainnya. Kita justru lebih merasakan khusyu’ dan khidmat akan suasana yang tenang di sini karena bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala tanpa mengedepankan simbol-simbol, kesan meriah, melainkan lebih kepada esensi malam takbiran itu sendiri. Terlebih lagi, bisa menjadi bahan renungan kita bersama karena jauh dari orang-orang tercinta dan handai taulan. Bukankah itu yang kita inginkan!!!

Hmm…Sebenarnya saya agak sedikit mengerutkan dahi 5 cm ketika harus menuliskan cerita lebaran di sini. Karena hari raya Idul fitri di Maroko terlihat biasa-biasa saja, seperti layaknya hari-hari biasa. Jalanan terlihat sepi, sunyi, sesunyi dan sesepi kota yang telah mati sampai-sampai tiada burung bernyanyi. Mungkin bagi masyarakat Maroko ini sudah tradisi. Karena kalau menjadi meriah, judul tulisannya pun berubah (Nuansa lebaran di Indonesia).

Idul Fitri Hari Raya Kecil

Justru hari raya Idul Adha di sini lebih terasa dan ramai. Bahkan di depan rumah-rumah mereka sudah menjadi keharusan ada hewan qurban, dan ini menjadi tontonan menarik. Idul Fitri bagi mereka adalah Idul Ashgor/hari raya kecil, sedangkan Idul Adha adalah Idul Akbar/hari raya besar.

Sisi lain yang menarik di sini yaitu tidak ada fenomena mudik seperti di Indonesia. Sekali lagi semuanya terlihat biasa-biasa saja.  Yang lebih menarik lagi sebelum merayakan hari kemenangan, tepatnya di malam ke-27, masyarakat Maroko ramai memakmurkan masjid untuk shalat sunnah di malam harinya. Sebenarnya bukan hal baru karena rata-rata di Timur Tengah dan belahan dunia Islam lainnya melakukannya. Bedanya, di sini ada tradisi yang belum tentu ada di tempat lain, yaitu menyantap kuskus (makanan khas Maroko) sebelum melakukan ritual shalat malam.

Hmm…kalau bicara soal rasa, cukup satu kata yang saya bisa gambarkan, apalagi kalau bukan mak nyusss, tak kalah nikmat dengan gulei, rendang, soto, rawon. Dan makanan lainnya, untuk lebih jelasnya bisa dilihat di mbah Google-images-kuskus Maroko atau di http://www.youtube.com/watch?v=fbon57xJ36U

Selain tradisi memakan kuskus di malam ke-27, ternyata masih ada keunikan lain yang membuat saya tersenyum sambil berkata aya-aya wae. Yaitu tradisi mencari berkah Ramadan khusus di tiga hari terakhir bagi gadis-gadis Maroko sambil berharap mendapatkan jodoh yang baik di kemudian hari, dengan mendatangi tenda-tenda hias untuk sekadar berpose di depan kamera dan mempercantik diri mereka dengan Henna (daun pacar), hiasan khusus bangsa Arab. Ini dilakukan sore hari sampai malamnya selama tiga hari terakhir di bulan suci ini. Bulan Ramadan memang bulan berkah bagi masyarakat Maroko sampai-sampai ada saja hubungannya dengan Jodoh.

Hidangan khas Idul Fitri

Akhirnya, tibalah hari raya yang dinantikan setelah bulan penuh berpuasa, dan kita mengetahui tentunya setiap negara yang sebagian masyarakatnya merayakan Idul Fitri, biasanya memiliki makanan khas hari raya. Makanan tersebut hanya disajikan ketika perayaan Idul Fitri untuk menyambut sahabat dan keluarga yang bersilaturahim. Ritual ini juga berlaku di salah satu negara kerajaan di Afrika bagian utara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Maroko.

Setelah umat muslim di Maroko melaksanakan shalat Idul Fitri, seluruh anggota keluarga sarapan bersama dengan menu tradisional, dikenal dengan sebutan Malwi. Kalau di Mesir saya bisa ibaratkan seperti Hawausy. Hanya saja ini lebih tipis yang sudah diracik sedemikian rupa. Bentuknya seperti roti cane dan dimakan dengan teh serta madu.

Ada juga menu sarapan yang lebih modern, Halawiyat, yaitu roti dan kue berbentuk cantik. Tetapi, menu Malwi merupakan makanan wajib di Maroko saat perayaan Idul Fitri, meskipun ada Halawiyat, Malwi tetap tersaji.

Setelah menyantap sarapan, acara selanjutnya adalah bersilaturahim. Para pria biasanya mengenakan pakaian tradisional Maroko yang disebut Djellaba (jubah panjang disertai penutup kepala), lengkap dengan sandal tradisional. Kaum wanitanya mengenakan Takchita atau Kaftan dan juga sandal tradisional khas Maroko yang sangat cantik. Lagi-lagi untuk mengetahui seperti apa pakaian dan sandal khas Maroko bisa Anda search di Mbah Google.

Jika di Tanah Air makanan khas Idul Fitri adalah ketupat dan opor ayam, di Maroko selalu ada ‘Dajaj Muhamar’. Yaitu ayam panggang yang disajikan dalam piring besar dan dimakan bersama-sama anggota keluarga lainnya. Setelah itu, biasanya seluruh keluarga menikmati teh khas Maroko yang disebut ‘Atai’. Teh disajikan dalam teko berdesain cantik yang disebut ‘Barad’.

Ada aturan tertentu dalam menuangkan secangkir Atai. Misalnya, orang yang melakukan proses penuangan Atai, yakni yang dituakan oleh keluarga tersebut. Ia akan mengisi cangkir satu atau dua cangkir kemudian mengembalikan Atai ke Barad. Proses ini diulangi dua kali atau tiga kali. Untuk menemani minuman Atai, biasanya ada makanan pendamping yang diberi nama ‘Zamita’.

Kemudian pada malam harinya ada lagi ritual khusus gadis-gadis muda Maroko saat Idul Fitri, yaitu menghias tangan mereka dengan Henna seperti yang di sebutkan di atas. Tanaman Henna sendiri dianggap sebagai tanaman dari surga. Dengan mengenakan Henna saat Idul Fitri, mereka menganggap seperti merasakan surga di akhirat (aya aya wae). Masyarakat Maroko memang menganggap Idul Fitri adalah ‘surga kecil’ di mana mereka berkumpul bersama keluarga dan handai taulan dalam suasana penuh kegembiraan dan kasih sayang.

Taqobballahu minna wa minkum, Mohon maaf lahir dan batin. Selamat hari raya ‘Idul Fitri 1433 H.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 7.00 out of 5)
Loading...
Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung (UNISBA) & PIMRED di www.infoisco.com (kajian dunia Islam progresif)

Lihat Juga

Aktivis Maroko Protes Konser Musik Penyanyi Pro-Israel

Figure
Organization