Topic
Home / Berita / Opini / Upaya yang Dapat Dilakukan Pemerintah Indonesia Terhadap Etnis Muslim Rohingya

Upaya yang Dapat Dilakukan Pemerintah Indonesia Terhadap Etnis Muslim Rohingya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Seorang wanita muslim Rohingya Myanmar berada dalam sebuah perahu bersama bayinya dalam pelariannya ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan antara umat Buddha lokal dan Muslim Rohingya. Muslim Rohingya ini dicegat oleh otoritas perbatasan Bangladesh. (AP Photo/ROL)

dakwatuna.com – Hak Asasi Manusia (HAM) adalah suatu hal yang dipercaya oleh sebagian penganut asas demokrasi sebagai bentuk nilai universal dalam kehidupan. Nilai universal di sini memiliki arti bahwa tidak adanya batas ruang dan waktu, selanjutnya nilai-nilai universal tersebut dituangkan dalam berbagai macam bentuk instrumen. Salah satu instrumen yang digunakan yaitu melalui hukum. Termasuk juga berbagai macam bentuk perjanjian-perjanjian dan kesepakatan internasional di bidang HAM yang kini sudah banyak dibuat seperti halnya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan United Declarations of Human Rights (UDHR). Kedua bentuk perjanjian internasional tersebut di bentuk atas dasar kemanusiaan. Namun kenyataannya bahwa nilai universal yang ada dalam HAM itu tidak memiliki keselarasan dan keseragaman dalam prakteknya.

Di Indonesia kasus HAM seringkali terjadi, namun jika dibandingkan dengan pelanggaran-pelanggaran yang ada di luar Indonesia jumlahnya jauh sangat banyak. Kita tentu masih ingat dengan kasus pembantaian besar-besaran terhadap etnis muslim yang terjadi di Bosnia pada tahun 1995 dan di Kosovo pada tahun 1999. Selain itu ada juga peristiwa yang baru-baru saja terjadi di wilayah Timur Tengah dan benua Afrika, sebut saja seperti Suriah yang sampai saat ini masih terjadi tindakan pelanggaran HAM oleh Pemerintahnya. Bahkan saat ini yang sedang terjadi dan kita sama-sama dengar pemberitaannya di media berupa pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Sebenarnya peristiwa yang terjadi di Suriah tidak sama dengan apa yang terjadi di Myanmar, namun pada hakikatnya tetap sama yaitu terjadi pembunuhan ataupun pembantaian secara massal (genocide) dan menimbulkan banyak korban yang berjatuhan dari suatu rezim pemerintahan yang otoriter. Sehingga dapat di katakan bahwa kejadian di Suriah lebih dilatarbelakangi oleh faktor politik yang menyebabkan terjadinya perlawanan antara Pemerintah Suriah dan rakyatnya. Sedangkan peristiwa yang terjadi di Myanmar lebih disebabkan oleh karena latar belakang perbedaan suatu etnis yang hidup di dalamnya. Akibat dari peristiwa tersebut, banyak dari warga Myanmar yang merupakan etnis Muslim Rohingya melarikan diri dari negaranya untuk mencari perlindungan dari bahaya ancaman pembantaian secara massal (ethnic cleansing) yang dilakukan oleh etnis Buddha. Dalam konteks pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar saat ini setidaknya ada beberapa tindakan tegas yang dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia.

Pertama, Indonesia dapat melakukan pendekatan terhadap pemerintah Myanmar, hal ini mengingat bahwa permasalahan mengenai HAM adalah salah satu tujuan utama yang ada di dalam Piagam ASEAN, yaitu “to strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and to promote and protect human rights and fundamental freedoms, with due regard to the rights and responsibilities of the Member States of ASEAN”. Melihat peristiwa seperti ini harusnya Pemerintah Indonesia dapat merespon dan berperan aktif untuk mengambil tindakan, hal tersebut penting karena menyangkut posisi Indonesia sebagai populasi masyarakat muslim terbesar di dunia dan selain itu saat ini Indonesia juga sebagai Ketua ASEAN yang dilihat oleh dunia internasional.

Kedua, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah tegas jika upaya diplomasi dengan Myanmar tidak menemukan titik terang. Pemerintah harus bisa melakukan tindakan penyelamatan atau bantuan kepada etnis Muslim Rohingya, tindakan tersebut berupa pemberian suaka politik kepada etnis muslim Rohingya dalam bentuk Temporary Protection Visa (TPV) yang saat ini berada di Kepulauan Riau, atau bagi etnis Muslim Rohingya yang lain jika nanti terdapat lagi mereka yang memerlukan perlindungan untuk mengungsi ke wilayah Indonesia. Suaka politik menurut hukum internasional adalah pemberian izin tinggal bagi warga negara asing di suatu negara atas dasar kemanusiaan. Isu kemanusiaan di sini sama sekali tidak terkait dengan isu perekonomian seperti warga negara dari suatu negara miskin yang hidup atau bekerja di negara maju guna mendapatkan gaji atau pekerjaan, namun lebih kepada isu politik. Warga negara asing yang diberi suaka biasanya adalah mereka yang dikejar-kejar secara politik oleh penguasa setempat atau sedang menghadapi proses hukum atas dakwaan yang sifatnya politis. Misalnya, pertentangan ideologi peminta suaka dengan pemerintah negaranya atau melakukan penentangan kekuasaan pemerintah yang otoriter.

Pemberian suaka politik merupakan hak dari suatu negara yang memberi suaka, akan tetapi segala sesuatu akan bergantung pada penilaian subjektif dari negara yang akan memberikan suaka. Namun dalam prakteknya pemberian suaka tersebut harus di dasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan oleh negara si pemberi suaka terhadap warga negara asing. Hal yang harus diperhatikan adalah hubungan sensitivitas antar negara, Indonesia harus dapat memastikan bahwa pemberian suaka tersebut jangan sampai dianggap oleh Myanmar sebagai tindakan permusuhan, lalu kedua negara pemberi suaka (Indonesia) harus memiliki bukti yang kuat bahwa warga negara yang akan diberi suaka tersebut memang sedang dikejar-kejar atau dalam keadaan yang memerlukan perlindungan.

Dalam hal ini, jika nanti terdapat langkah-langkah hukum yang akan dilakukan oleh Myanmar terhadap Indonesia akibat ketidaksenangan Pemerintah Myanmar atas pemberian suaka terhadap warga negaranya oleh Indonesia, misalnya dengan Pemerintah Myanmar melakukan persona non gratta (penarikan perwakilan duta besar atau penyusutan jumlah perwakilan diplomatik) di Indonesia atau bahkan bisa terjadi adanya kesepakatan untuk membawa masalah ini Mahkamah Internasional, jika hal tersebut sampai terjadi Indonesia harus berani mengambil langkah ini, Pemerintah Indonesia tidak boleh takut karena perihal pembuktian tersebut akan dibantu oleh berbagai kalangan LSM-LSM kemanusiaan yang ada di Indonesia dan ASEAN. Sekali lagi saat ini Indonesia sebagai masyarakat muslim mayoritas di dunia dan juga sebagai Ketua ASEAN akan dilihat oleh seluruh dunia kapasitasnya, khususnya negara-negara mayoritas Islam yang ada di Timur Tengah dan belahan dunia lainnya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (15 votes, average: 9.27 out of 5)
Loading...
Advokat/Konsultan Hukum. Bekerja di salah satu law firm di Jakarta.

Lihat Juga

Buah Impor

Cina Masih Jadi Sumber Impor Nonmigas Pemerintah

Figure
Organization